Sementara bahasa Arab, menurut hemat saya, jika sebelum diserap ke dalam bahasa Madura telah terserap ke dalam bahasa Indonesia, maka hukum ‘mutilasi’ W berlaku. Kata waktu, wakil dan wali, misalnya.
Beda jika bahasa Arab diserap langsung ke dalam bahasa Madura tanpa melalui penyerapan bahasa Indonesia, maka huruf W tetap dibiarkan eksistensinya. Untuk sekedar mengambil contoh, misalnya kata wudhu’ yang tetap dituturkan menjadi wudhu’, bukan budhu’.
Untuk segala keunikan ini, tidak tepat jika penggantian W menjadi B tersebut dijadikan sebagai cemoohan bahwa bahasa Madura ghe-oghe—seperti yang didugakan oleh seorang penyanyi dan hingga kini masih melekat di benak. Sebab bagaimanapun, ini adalah bentuk kebebasan cara penuturan. Bukankah karena hal ini pula, bahasa Inggris juga terbagi dalam American Style dan British Style. Sebab—selain bukan tatacara penuturan al-Quran yang sudah ditetapkan dalam ilmu Tajwid dan menuntut lidah kita untuk sama—dalam menyerap, kita tak perlu mengacu logat seperti bagaimana orang lain menuturkan bahasa mereka, apalagi sama persis.
Apakah kita akan mengatakan bahasa Melayu ghe-oghe karena mereka sering mengganti huruf A menjadi E? Saya menjadi Saye, Kita menjadi Kite dan seabrek kosa kata lainnya yang berbeda cara tutur dengan bahasa Indonesia. Tentu tidak, bukan?
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H