“Lihat, para penumpang. Ada yang memasung kebebasan saya. Saya harus melapor. Saya tertindas. Saya jadi minoritas di sini. Kenapa tak ada yang membela kaum tertindas? Saya harus melapor.”
“Kebebasan macam apa, saudara? Minoritas macam apa?”
Langit mendung. Pemuda itu mulai merapat lagi ke pagar. Orang-orang memberi jalan. Tangannya mencengkeram kuat. Kakinya mulai dinaikkan.
“Hentikan, saudara! Bodoh. Hidupmu masih berguna.”
Pemuda itu tak lagi menghiraukan. Ia hanya membalas, “Semua orang telah berani menginjak-injak kebebasan. Ini ekspresi saya. Ini kebebasan cara berpikir saya. Jadi kalian diam dan sibuklah dengan urusan kalian sendiri!”
“Ini demi kebaikanmu, saudara!” Kumis kapten itu terangkat dan matanya mendelik.
“Aku harus tetap meloncat. Ini soal kebebasan!”
“Tapi air di sana sangat dingin.” Lelaki dekil yang tadi masih bersikukuh pada pendapatnya.
“Dasar bebal!” Kata kapten itu jengkel, “Kalau begitu, meloncatlah! Dan kalian semua, bubar!” Kapten itu lalu mengusir orang-orang yang berkerumun. Pelan-pelan kerumunan itu bubar. Ada yang tetap di dekat pagar, tapi diam-diam memperhatikan pemuda yang akan meloncat itu. Orang-orang menjauh, tapi pandangannya tetap tertuju pada pemuda itu. Termasuk si kapten kapal yang juga tertarik menyaksikan dari kejauhan.
“Saya harus meloncat!” Teriak pemuda itu menyemangati diri. “Tapi saya tak bisa berenang!” Katanya lagi. Orang-orang lalu menyumpah-serapahi. Dasar!
Dingin liar, 08 J. Tsani 1436 H.