Mohon tunggu...
Nindy Prisma
Nindy Prisma Mohon Tunggu... Buruh - buruh di balik kubikel dan penikmat pertandingan olahraga

...Real Eyes Realize Real Lies...

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Amongrogo dan Geliat Voli Yogyakarta

6 Mei 2018   23:50 Diperbarui: 7 Mei 2018   01:13 1165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Grand Final Proliga 2018 di GOR Amongrogo| Dokumentasi PBVSI

Yogyakarta, 27 Mei 2006, waktu menunjukan pukul 05.55 WIB ketika gempa berkekuatan 5,9 skala Richter menguncang kota pelajar itu. Gempa berskala besar yang diikuti oleh gempa susulan lainnya mengakibatkan gedung-gedung di pusat kota mengalami kerusakan parah.

Salah satu gedung yang turut hancur adalah Gedung Olahraga Amongrogo. Atap gedung yang menjadi langganan pelaksanaan event olahraga itu roboh dan hanya menyisakan tembok di sisi gedung.

Butuh waktu yang cukup lama untuk menyembuhkan trauma dan mengembalikan kembali geliat kehidupan di Yogyakarta seperti sedia kala. Namun, perlahan tapi pasti suasana Yogya yang sempat mencekam pasca gempa berangsur pulih dan kembali hangat, suasana yang selalu memanggil orang untuk kembali mengunjunginya.

Pembangunan infastruktur yang hancur berjalan seiring dengan membaiknya kehidupan masyarakat. Termasuk kembali berdirinya GOR Amongrogo yang pembangunannya selesai pada 2011.

GOR Amongrogo yang hancur karena gempa| Sumber: bakul-abab.blogspot.com
GOR Amongrogo yang hancur karena gempa| Sumber: bakul-abab.blogspot.com
Masih segar dalam ingatan saya, kala itu awal Februari 2011 ketika saya menerima jadwal kompetisi Proliga, senyum sumringah terurai begitu saja dibibir saya ketika mendapati nama GOR Amongrogo tertera menjadi salah satu tempat pelaksanaan Proliga 2011. Waktu itu hanya satu yang saya pikirkan, saya harus berangkat ke Yogya.

Seminggu sebelum berangkat, sempet cerita ke Bapak kalau mau pulang ke Yogya sekaligus nonton Proliga. Bapak saya yang sepertinya sudah hafal betul tabiat anaknya yang suka pergi dari rumah cuma buat nonton voli hanya tanya yang kali ini mainnya di GOR apa. Waktu saya jawab di Amongrogo, bapak hanya mengomentari singkat, "Loh udah jadi GOR-nya? Mau nginep di mana kamu? Di rumah Bulek saja, dekat dari Amongrogo, tinggal jalan kaki."

Dan ternyata memang benar, rumah Bulek yang Bapak maksud -- yang ternyata adalah saudara jauh Bapak yang baru saya ketahui itu---benar-benar dekat dari GOR Amongrogo dan Stadion Mandala Krida, ya kalau jalan kaki paling hanya sekitar 5-7 menit.

Sempat kepikiran juga seh, ini kok rasanya seperti semesta mendukung perjalanan pulang kampung sekaligus nonton voli saya kali ini. Buktinya semua seperti serba dipermudah, dapat izin dari orangtua mudah plus ditambahin ongkos, plus lagi tidak perlu mikir harus menginap di mana dan ke GOR naik apa (maklum zaman itu ojek online kan belum ada, baru ada TransJogja).

Penampakan GOR Amongrogo dari luar| Dokumentasi: Instagram Anita Lontoh @anitalontoh
Penampakan GOR Amongrogo dari luar| Dokumentasi: Instagram Anita Lontoh @anitalontoh
Proliga 2011 kalau tidak salah ingat jadi event pertama yang digelar di Amongrogo sejak dibuka kembali. Duh masih ingat waktu pertama kali masuk ke dalam GOR hidung langsung disambut dengan bau cat khas gedung baru, lantai keramik yang masih kinclong, toilet yang bersi dan sudut-sudut bangunan yang juga rapi (belum banyak sampah atau coretan waktu itu).

Sempat terkesima juga ketika melihat seluruh bagian GOR termasuk lapangan dan kursi penonton dengan cat warna-warni dan lebar. Belum lagi pencahayaan yang juga tak kalah ok. Yah namanya juga gedung baru, semuanya tentu serba ok kece badai.

Tapi, yah tidak ada yang sempurna ya didunia ini, walaupun tergolong gedung baru ada satu kekurangan Amongrogo yang sampai sekarang belum juga membaik, yaitu soal pendingin ruangan. Amongrogo seperti tidak dibekali dengan pendingin ruangan yang mumpuni sehingga jika suhu udara di luar panas akan berimbas pula pada suhu didalam GOR, apalagi jika penontonya full. Beuh berasa lagi ada di sauna.

Yogyakarta dan Voli, Dua Hal yang Tak Terpisahkan

Cabang olahraga bola voli sangat populer di Yogyakarta, saking populernya turnamen voli antarkampung yang digelar di Yogya pasti selalu ramai.

Perkembangan bola voli di Yogya sendiri terbilang berjalan cukup baik, hal tersebut dibuktikan dengan terbentuknya klub-klub voli seperti Yogya Yuso, Yuso Sleman, Baja 78 dan Ganevo dll. Dari klub-klub voli itulah lahir para pemain yang beberapa di antaranya berhasil menembus persaingan voli nasional.

Yogya Yuso menjadi salah satu klub dengan sejarah dan raihan prestasi yang tak main-main di level nasional. Tercatat 4 kali juara di Liga Voli Divisi Utama dan selalu ikut serta dalam ajang kompetisi kasta tertinggi voli tanah air, Proliga hingga tahun 2012 meski belum pernah meraih gelar juara.

Soal menelurkan bibit pemain yang menjadi penggawa tim nasional, Yuso juga tak kalah, nama-nama seperti M. Zainuddin, Antho Bertiyawan, Oki Setia Primadi, hingga Ramzil Huda pernah menjadi pemain asal Yuso yang pernah berseragam tim nasional. Bahkan kini salah satu legenda hidup Yuso, Andri Widiatmoko dipercaya untuk menjadi asisten pelatih tim nasional putra di Asian Games 2018.

Tak hanya Yogya Yuso saja yang sukses membina pemain hingga mampu menembus level nasional. Klub voli Ganevo juga tak mau kalah, jika Yogya Yuso fokus pada pembinaan pemain di voli indoor, berbeda dengan Ganevo yang justru sukses mengembleng pemain voli pantai.

Sebut saja nama Koko Prasetyo Darkuncoro, peraih medali perak Asian Games 2002 dan empat emas SEA Games pada 2003, 2007, 2009 dan 2011 ini merupakan pemain jebolan Ganevo.

Selain itu masih ada nama-nama lainnya seperti Dian Putra Santosa hingga ke era Ade Candra Darmawan dan Gilang Ramadan kini menjadi tulang punggung tim nasional voli pantai yang berhasil membawa Indonesia tak hanya berprestasi di Asia Tenggara tapi juga Asia.

Begitu kuatnya keterkaitan sejarah voli nasional dengan Yogyakarta maka tak mengherankan jika cabor tersebut begitu populer dan dicintai. Hal tersebut terbukti dengan selalu penuhnya GOR Amongrogo ketika diberi mandat untuk menjadi salah satu venue pertandingan.

Tahun 2017 lalu dan April 2018 saya selalu menyempatkan diri pergi ke Yogyakarta saat Grand Final Proliga digelar. Dan antusiasme yang luar biasa selalu saya temui tiap kali berada di sana.

Antusiasme itulah yang mungkin menjadi alasan kenapa PBVSI selalu memberikan kesempatan Amongrogo menjadi tuan rumah Proliga bahkan dua tahun belakangan menjadi tempat digelarnya Grand Final Proliga.  

Antrean tiket Grand Final Proliga di Amongrogo| Dokumentasi pribadi
Antrean tiket Grand Final Proliga di Amongrogo| Dokumentasi pribadi
Bayangkan saja, volimania Yogyakarta rela antre sejak subuh hanya untuk mendapatkan tiket Grand Final yang langsung ludes hanya 2 jam setelah loket dibuka dan menyisakan kekecewaan dari ratusan volimania lainnya yang tak kebagian tiket. Kapasitas Amongrogo yang mampu menampung 6000 penonton selalu penuh dan riuh dengan sorak sorai supporter masing-masing tim.

Suasana pertandingan yang nyaris selalu membuat saya tak berhenti berdecak kagum. Yogyakarta, voli dan Amongrogo seolah memang ditakdirkan untuk saling melengkapi.

2019 Akankah Kembali ke Amongrogo?

Sebelum menjadikan Amongrogo sebagai tuan rumah partai puncak Proliga, PBVSI selalu memilih Istora Senayan sebagai area tempur terakhir para tim terkuat. Alasan mengapa dua tahun belakangan Grand Final dipindah ke Amongrogo adalah karena penutupan komplek Gelora Bung Karno Senayan untuk renovasi jelang Asian Games.

Tapi tahun ini komplek GBK dan sarana olahraga didalamnya kembali dibuka seiring dengan selesainya renovasi. Apakah ini suatu pertanda akan kembalinya Grand Final Proliga ke Istora Senayan?

Suasana Grand Final Proliga 2018 di Amongrogo pada 15 April 2018| Dokumentasi pribadi
Suasana Grand Final Proliga 2018 di Amongrogo pada 15 April 2018| Dokumentasi pribadi
Jawabannya, bisa jadi iya dan bisa jadi tidak. Menilik kapasitas gedung, Istora Senayan yang punya kapasitas 7000 penonton tentu saja lebih unggul dibandingkan dengan Amongrogo. Tapi soal antusiasme, Yogyakarta tentu punya nilai plus tersendiri.

Jika harus memilih, saya tidak keberatan jika harus mengeluarkan uang sedikit lebih banyak demi lagi dan lagi kembali ke Amongrogo serta menjadi bagian dari ribuan volimania Yogyakarta yang tak pernah kehabisan tenaga dan energi positif untuk voli Indonesia.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun