Mohon tunggu...
Nindy Prisma
Nindy Prisma Mohon Tunggu... Buruh - buruh di balik kubikel dan penikmat pertandingan olahraga

...Real Eyes Realize Real Lies...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Waktu Hujan Turun (2)

15 April 2015   16:41 Diperbarui: 10 September 2015   10:51 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1429090774423307523

 

“Dir... Dirga... Dirga Rajasa~~.” Seorang pemuda dengan malas membalikkan tubuhnya kearah suara yang sejak tadi berulang kali menyebutkan namanya. Dilepaskannya earphone yang menghiasi telinganya saat seorang gadis si pemilik suara tadi setengah berlari menuju ke arahnya.

“Kau itu tuli?? Ah pantas saja.” ucapnya saat melihat earphone yang masih menggalung dileher namja itu.

“Ada apa?” tanya Dirga begitu dingin.

“Tidak ada apa-apa hanya ingin memanggilmu saja.”

“Ish kau itu, apa memanggil dan meneriakan namaku sudah menjadi kebiasaanmu sekarang hah?” protesnya memukul pelan kening gadis itu.

“Hehehe, pulang bersama?” tawar gadis itu dan kini keduanya kembali melangkahkan kaki bersamaan. Tidak ada perbincangan antara keduanya, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk berhenti disebuah taman tak jauh dari kediaman keduannya.

“Ini.” ujar gadis itu membuka pembicaraan. Ada raut bingung yang jelas terpancar dari wajah Dirga ketika dilihatnya gadis itu mengarahkan sebuah kotak yang baru saja dia keluarkan dari dalam tas.

“Hadiahmu.” Masih dalam kebingungan Dirga hanya memandang bergantian wajah gadis itu dan kotak yang dipegangnya. Tangan gadis itu kembali terulur, mengarahkan kotak itu mendekat pada dada Dirga yang dengan enggan bergerak meraih hadiah itu.

“Kudengar kau baru saja menolak ajakan kencan dari Enggar.”

“Yak, bagaimana kau tahu.” protes Dirga pada gadis itu yang lagi-lagi hanya berbalas dengan senyuman.

“Kau lupa kalau mata dan telingaku ada dimana-mana. Huh kau itu terlalu sombong Dirga Rajasa, menolak ajakan kencan dari seorang Putri Sekolah. Coba pikir berapa banyak pemuda yang bermimpi bisa berkencan dengannya dan kau malah MENOLAKNYA.. Dirga bodoh.” Gadis itu melayangkan pukulan pelan ke arah lengan Dirga.

“Ish sakit~. Menolak atau menerima itu hakku, kan aku yang diajak kencan kenapa jadi kau yang protes hah? Lagipula...”

“Lagipula apa?”

Dirga terdiam saat kini kedua mata itu menatap lurus kearahnya. “Lagipula, satu-satunya gadis yang ingin kuajak kencan sudah ada disini, jadi untuk apa membuat janji dengan gadis lain.”

Ada senyum yang perlahan terurai dari bibir mungil gadis itu. Senyum termanis dan tercantik yang selalu membuat Dirga tidak ingin beranjak. Senyum yang kini menular dan membuat kedua sisi bibir Dirga juga ikut tertarik untuk membalasnya.

“Eh, gerimis..” ujar gadis itu saat merasakan sebuah bulir air jatuh di punggung tangannya. Keduanya menatap ke atas secara bersamaan, pada langit yang perlahan makin banyak menurunkan bulir-bulir air.

“Ayo pulang.” Dirga menarik tangan gadis itu untuk bangkit dan bergegas.

“Tunggu sebentar.”

“Kau bisa sakit.” paksa Dirga kembali menarik pergelangan gadis itu.

“Gerimis ini tidak akan menjadi hujan lebat, percayalah hanya sebentar, hmm.” Gadis itu mengangguk dan tersenyum tipis, berusaha menyakinkan Dirga atas apa yang baru saja dikataannya. Dirga menyerah, dia membuka jaket berhoodie yang dia kenakan dan memakaikannya ke bahu Raisa. Mata Raisa mengerjap beberapa kali saat kini tangannya sudah berada dalam gengaman Dirga, berusaha menjalarkan kehangatan dari dinginya angin yang ikut datang bersama gerimis .

***

“Dirga... Dirga Rajasa.”

Dirga menoleh, menghadap pada pemilik suara yang seakan tidak pernah puas memanggilnya.

“Apa sudah kau pikirkan?”

“Pikirkan apa?” jawabnya singkat, kembali mengalihkan padangannya pada hujan yang kini membasahi kota.

“Soal permintaanku untuk... berpisah.” Begitu lirih Raisa mengucapkan penggalan kata terakhir. Kedua bola matanya tidak bisa berpaling dari tubuh namja dihadapannya. Mata Dirga terpejam, rahangnya mengeras dan kedua tangannya mengepal didalam saku celananya.

“Aku tidak pernah mendengar permintaan itu, jadi anggap saja aku tidak pernah memikirkannya.” jawab Dirga begitu dingin, sedingin tetesan air hujan yang menerpa wajahnya saat dia menyandarkan kepalanya didekat jendela yang sedikit terbuka.

“Aku hanya tidak ingin ini lebih menyakitimu.”

“Berpisah atau tidak kau tetap akan meninggalkanku bukan.. Jadi apa bedanya?”

“Dirga.”

“Jika kau tidak ingin aku melakukan ini untukmu, setidaknya biarkan aku melakukan ini untuk diriku sendiri.”

Bulir airmata itu akhirnya terjatuh tepat di punggung tangan Raisa.

“Maafkan aku.” Lirihnya berusaha menahan laju airmatanya. Sementara Dirga hanya bisa menghela napas dan kembali membuka matanya.

“Tidak perlu meminta maaf karena tidak ada yang salah disini.. Kemarilah, kau tidak ingin melewatkan hujan ini bukan.” Dirga bergerak mendekati Raisa, membantu gadis itu bangkit dan membimbingnya ke arah jendela tempat mereka selalu menikmati hujan bersama.

“Apakah yang seperti ini akan berlangsung lama?” tanya Dirga saat kini tubuhnya menenggelamkan tubuh Raisa dalam pelukannya, berusaha menghantarkan kehangatan satu sama lain.

“Cukup lama, mungkin hingga kita lelah berpelukan.”

“Hmmm, berarti akan lama sekali, karena kupastikan aku akan memelukmu sepanjang malam.” Raisa mengangkat kepalanya agar bisa menatap wajah Dirga yang memeluknya. Senyum tipis itu kembali terurai bersamaan dengan pelukan  mereka yang semakin mengerat.

“Janji akan datang dan menemuiku disaat hujan turun seperti ini.” pinta Dirga

“Janji, asalkan kau tidak mengeluh karena hujan akan membuatmu basah.”

“Aku janji.”

***

“Kopinya Mas.” Seorang pelayan meletakan secangkir kopi diatas meja. Pemuda itu menoleh, tersenyum seraya mengucapkan terima kasih.

“Maaf.. tapi sepertinya hujan akan turun apa tidak sebaiknya Mas pindah ke dalam saja?” tawar pelayan itu lagi saat kini pemuda bernama Dirga itu tengah menyesap kopi yang masih mengeluarkan uap panas.

“Tidak apa-apa, saya disini saja.. Terima kasih.”

Dirga memainkan jarinya diatas tepian cangkir kopinya saat perlahan gerimis mulai turun membasahi tiap sudut kota yang tidak terlindungi. Matanya kini memandangi sekitarnya, berusaha menikmati hujan dengan caranya sendiri. Ini tidak sama rasanya seperti yang pernah dia rasakan saat menikmati hujan bersama gadis yang dicintainya.

Dulu aku tidak pernah mengerti mengapa kau begitu menyukai hujan Raisa... tapi sekarang kutemukan alasan itu...

Hujan adalah cara langit berkomunikasi dengan bumi... Saat bulir air hujan turun disaat itu juga langit menyampai rasa cinta yang mendalam pada bumi.

Kau datang bersamaan dengan hujan.. dan sesuai dengan keinginanmu aku mengantarkan kepergianmu juga dengan hujan...

Tetaplah seperti ini... Tetap datang padaku saat hujan turun... Agar aku selalu bisa merasakan cintamu lewat tetesan hujan dan hembusan angin yang selalu menyertainya...

 

 

 

Ilustrasi: wallpaper-kid.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun