Dia merasa dikhianti. Tapi, hal itu tak membuatnya patah hati. Dia justru menaikkan tarifnya. Sekarang jika ada orang yang minta menulis buku biografi, aku akan pasang tarif 30 juta. Itu keputusan yang ia ikrarkan. Tak selang lama, ada tawaran menulis buku biografi seorang pengusaha. Tapi tragisnya, kembali dikhiati. Tak ada kelanjutannya. Uang 30 juta itupun tinggal kenangan. Tapi bukan penulis tangguh jika ia menyerah. Dia justru menaikkan tarif jasa penulisan menjadi 60 juta. Jadi setiap kali dia dikhianati ia menaikkan dua kali lipatnya. Dia dikhianati lagi, kemudian menaikkan tarif menulis buku biografi yang digarap menjadi 120 juta.
Saat aku mendengar cerita ini, aku geleng-geleng kepala. Dia ini benar-benar penulis tangguh dan jujur. Kisah penulis ini mengingatkanku pada sebuah kisah pada zaman Nabi Musa tentang seorang pemuda jujur yang menjual sapi. Satu hari, ibu dari pemuda itu meminta anaknya menjual sapi dengan harga 3 dinar. Tapi, di pasar sapi itu malah ditawar 6 dinar. Anak itu tak mau melepas walau harganya 2 kali lipat lebih mahal. Dia pulang. Esoknya, ibunya meminta lagi sapi tersebut dijual. Tapi kali ini dengan harga 6 dinar. Tapi di pasar, sapi itu ditawar 2 kali lipat lebih mahal; 12 dinar. Pemuda itu tidak melepas karena dia mematuhi pesan sang ibu; untuk menjual 6 dinar.
Harga sapi itu terus naik, hingga kemudian diputuskan akan dijual jika ada orang yang menawar sepadan dengan kepingan dinar (emas) yang memenuhi kulit sapi tersebut. Itulah buah manis dari kisah pemuda yang jujur dan berbakti kepada ibunya. Ia akhirnya mendapatkan harga jual sapi sepadan kepingan dinar yang memenuhi kulit sapi.
Apakah di akhir cerita, penulis yang tangguh itu akan mengalami nasib mujur sebagaimana kisah penjual sapi pada zaman Nabi Musa -seperti kisah di atas? Sudah lama, aku tak mendengar kabar tentang penulis tangguh satu ini. Jadi aku mencari tahu dengan berbagai cara dan akhirnya mendapatkan kabar tentang nasib penulis tangguh tersebut.
Jujur, ingin rasanya aku menceritakan "kisah akhir" dari perjuangan penulis tangguh tersebut. Tapi, saat aku berjuang mau melanjutkan cerita tentang nasib penulis tangguh satu ini tiba-tiba perutku terasa melilit-lilit. Seperti ada jari-jemari dari sepasang tangan yang merayap pelan, menggaruk-garuk ususku. Aku melongok jam dinding. Pukul 15.00. Pantes saja, perut-ku keroncongan. Aku baru sadar, jika dari tadi pagi aku belum sarapan.
Jadi maaf.... karena lapar aku mau keluar dulu untuk makan. Kebetulan, di dekat kantor kelurahan Halim Perdanakusuma, ada warung pecel (Jawa Timur) yang enak. Aku ingin pergi ke sana, makan dulu, mengisi perutku. SOal cerita akhir dari penulis satu ini bisa aku lanjutkan nanti, atau besok jika aku tak sibuk ya! Mohon sabar! Soalnya, setelah makan nanti, aku langsung ke Pasar Kramat Jati untuk mengurus produksi baju. Hidup ini indah untuk menikmati cerita yang bisa membuat hari esok masih memiliki harapan. Selamat makan siang, dan aku sarapan dulu.
Cililitan, 31/07/2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H