Mohon tunggu...
N Mursidi
N Mursidi Mohon Tunggu... profesional -

tidak siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Penulis Tangguh dan Penjual Sapi

30 Agustus 2016   00:01 Diperbarui: 30 Agustus 2016   00:50 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penulis --sejati-- kerapkali diuji dua hal: kemiskinan dan pengkhianatan. Soal kemiskinan, aku akan bercerita di hari yang lain. Sebab, cerita itu bisa panjang --berseri, mirip cerita bersambung (cerbung) atau bahkan bisa jadi buku cerita yang berjilid-jilid. Tapi, karena panjang aku yakin kayaknya tidak ada yang sanggup membaca tuntas. Masih untung jika ada yang mau baca, walau sedikit, bagaimana jika tidak? Wah, aku bisa rugi dua kali. Sudah capek menulis, tak dapat uang lagi. Jadi, siang ini aku memutuskan untuk menulis cerita "penulis yang diuji pengkhianatan".

Cerita ini aku dapatkan dari seorang teman. Temanku itu dapat cerita tersebut dari temannya. Temannya itu dapat dari temannya lagi. Temannya lagi dapat dari temannya lagi, hingga total ada sembilan perawi. Saat mendengar "cerita" ini, aku pun tidak begitu saja percaya. Aku lalu melakukan penelusuran, dan ternyata cerita ini valid dan bisa dipercaya.

Teman-teman yang kenal dekat dengan penulis satu ini menyebutnya penulis lucu. Sebagian lagi menyebutnya penulis yang kurang cerdas. Tapi bagiku, penulis ini tergolong tangguh dan mungkin layak dinobatkan sebagai penulis jujur. Soal pendapatku yang bisa beda dengan yang lain ini (kenapa aku menyebutnya penulis tangguh dan jujur), kalian akan mendapat jawabannya nanti di akhir cerita. Jadi, mohon sabar!

Dari cerita yang aku gali, penulis ini sudah menekuni dunia tulis-menulis selama sepuluh tahun. Dia menulis cerpen di koran, kadang menulis opini, kadang jika ada tawaran proyek dari departeman atau kementerian, dia diajak oleh temen-temennya --semata-mata bukan karena layak dipilih, tapi karena kasihan saja. Tapi tulisan yang dihasilkan, kerap kali kurang memuaskan oleh temen-temennya. 

Akhirnya, salah satu temannya harus kerja 2 kali --mengedit habis-habisan, atau bahkan membongkar ulang. Reputasi kepenulisan penulis ini di media (rubrik cerpen dan opini) pun, cukup menyedihkan. Dari sepuluh cerpen yang ditulis, biasanya hanya satu atau dua yang dimuat. Itu pun di koran kecil atau lokal. setali tiga uang dengan opini yang ditulis.

Sebagian besar temannya pernah menasehati, atau lebih tepatnya meledek. "Sudahlah berhenti saja jadi penulis, mending jualan gorengan. Itu lebih praktis dan menguntungkan!"

Tapi, penulis itu diam. Dia pergi tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Tentu, teman-temannya kaget, dan merasa ucapan itu menyakiti hatinya. Setengah jam kemudian, lucunya dia datang membawa bungkusan plastik. Teman-temannya kaget, lebih kaget lagi saat bungkusan itu dibuka, ternyata isinya gorengan (ada tempe, tela, pisang goreng dan lain-lain). Sontak, gorengan itu pun diserbu. Dalam sekejab, gorengan itu habis.

"Apa yang tersisa dari gorengan ini?" tiba-tiba penulis itu melontarkan secuil pertanyaan yang membuat temannya hanya bisa melongo. Tak menjawab apa pun, karena habis. Ludes. Tak tersisa. "Paling-paling hanya bisa mengganjal perut kalian satu, atau dua jam. Setelah itu, kalian pergi ke toilet dan buang hajat. Hilang apa yang sudah kalian makan. Jadi, kalian ini ingin aku membuat karya yang tak meninggalkan kesan dan kenangan?"

Semua diam. Peristiwa itu seharusnya membuat teman-temannya sadar, bahwa penulis ini memang gigih dan tak patah arang walau dia belum menjadi penulis terkenal. Tapi, sejak peristiwa itu, teman-temannya menjuluki penulis satu ini penulis lucu.

Dia pernah sekali menulis buku. Tapi semua penerbit yang disodori naskahnya, menolak dengan "kasar". Tanpa basa-basi. Akhirnya, untuk menghibur diri, dia menerbitkan buku secara indie --dijual ke teman-temannya, juga orang lain lewat facebook dan twitter. Lagi-lagi, teman-temannya membeli lantaran kasihan, bukan karena buku itu bagus. Tapi, dia tidak pernah berhenti belajar menulis. 

Hingga suatu hari, dia mendapatkan tawaran menulis buku biografi seorang tokoh. Dia pun menerima tawaran itu lantaran proyek itu kelak diharapkan bisa menjadi jembatan yang mengantarkannya jadi terkenal. Tetapi tragis, tawaran itu tak ada kelanjutannya. Padahal, dia dijanjikan akan dikasih uang lelah 15 juta.

Dia merasa dikhianti. Tapi, hal itu tak membuatnya patah hati. Dia justru menaikkan tarifnya. Sekarang jika ada orang yang minta menulis buku biografi, aku akan pasang tarif 30 juta. Itu keputusan yang ia ikrarkan. Tak selang lama, ada tawaran menulis buku biografi seorang pengusaha. Tapi tragisnya, kembali dikhiati. Tak ada kelanjutannya. Uang 30 juta itupun tinggal kenangan. Tapi bukan penulis tangguh jika ia menyerah. Dia justru menaikkan tarif jasa penulisan menjadi 60 juta. Jadi setiap kali dia dikhianati ia menaikkan dua kali lipatnya. Dia dikhianati lagi, kemudian menaikkan tarif menulis buku biografi yang digarap menjadi 120 juta.

Saat aku mendengar cerita ini, aku geleng-geleng kepala. Dia ini benar-benar penulis tangguh dan jujur. Kisah penulis ini mengingatkanku pada sebuah kisah pada zaman Nabi Musa tentang seorang pemuda jujur yang menjual sapi. Satu hari, ibu dari pemuda itu meminta anaknya menjual sapi dengan harga 3 dinar. Tapi, di pasar sapi itu malah ditawar 6 dinar. Anak itu tak mau melepas walau harganya 2 kali lipat lebih mahal. Dia pulang. Esoknya, ibunya meminta lagi sapi tersebut dijual. Tapi kali ini dengan harga 6 dinar. Tapi di pasar, sapi itu ditawar 2 kali lipat lebih mahal; 12 dinar. Pemuda itu tidak melepas karena dia mematuhi pesan sang ibu; untuk menjual 6 dinar.

Harga sapi itu terus naik, hingga kemudian diputuskan akan dijual jika ada orang yang menawar sepadan dengan kepingan dinar (emas) yang memenuhi kulit sapi tersebut. Itulah buah manis dari kisah pemuda yang jujur dan berbakti kepada ibunya. Ia akhirnya mendapatkan harga jual sapi sepadan kepingan dinar yang memenuhi kulit sapi.

Apakah di akhir cerita, penulis yang tangguh itu akan mengalami nasib mujur sebagaimana kisah penjual sapi pada zaman Nabi Musa -seperti kisah di atas? Sudah lama, aku tak mendengar kabar tentang penulis tangguh satu ini. Jadi aku mencari tahu dengan berbagai cara dan akhirnya mendapatkan kabar tentang nasib penulis tangguh tersebut.

Jujur, ingin rasanya aku menceritakan "kisah akhir" dari perjuangan penulis tangguh tersebut. Tapi, saat aku berjuang mau melanjutkan cerita tentang nasib penulis tangguh satu ini tiba-tiba perutku terasa melilit-lilit. Seperti ada jari-jemari dari sepasang tangan yang merayap pelan, menggaruk-garuk ususku. Aku melongok jam dinding. Pukul 15.00. Pantes saja, perut-ku keroncongan. Aku baru sadar, jika dari tadi pagi aku belum sarapan.

Jadi maaf.... karena lapar aku mau keluar dulu untuk makan. Kebetulan, di dekat kantor kelurahan Halim Perdanakusuma, ada warung pecel (Jawa Timur) yang enak. Aku ingin pergi ke sana, makan dulu, mengisi perutku. SOal cerita akhir dari penulis satu ini bisa aku lanjutkan nanti, atau besok jika aku tak sibuk ya! Mohon sabar! Soalnya, setelah makan nanti, aku langsung ke Pasar Kramat Jati untuk mengurus produksi baju. Hidup ini indah untuk menikmati cerita yang bisa membuat hari esok masih memiliki harapan. Selamat makan siang, dan aku sarapan dulu.

Cililitan, 31/07/2016

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun