Ragam pola bantuan dan dukungan yang diberikan oleh pemerintah khusus untuk nelayan cukup banyak. Mulai dari subsidi BBM yang diberikan kepada kapal-kapal dibawah 30 GT. Dengan kuota sekitar 2,1 juta per liter setiap tahun, harusnya bisa mengurangi beban nelayan.
Sudah lebih satu dekade program ini dijalankan. Bantuan kapal, perahu, alat tangkap, asuransi, setiap tahun rutin diberikan. Sayangnya jumlahnya sangat terbatas. Bantuan berbagai jenis pelatihan dan pengembangan kapasitas, juga intensif dilakukan, terhadap berbagai hal untuk menutupi masalah yang dihadapi nelayan.
Untuk pembiayaan, selain disediakan KUR nelayan dari berbagai perbankan, juga ada program LPUMK di KKP yang ditujukan khusus nelayan dengan bunga rendah. Nelayan bisa mengakses pinjaman dengan bunga dibawah 6%. Demikian pula kredit yang skalanya lebih besar juga terbuka.
Sayangnya, berbagai bantuan tersebut, juga masih sering dikeluhkan tidak tepat sasaran. Alih-alih mendapatkan BBM dengan harga subsidi, banyak nelayan memperoleh dengan harga yang jauh lebih tingg, bahkan tidak kebagian. Apalagi tidak banyak SPBU bersedia mengaokomodir nelayan kecil yang membawa jirigen. Sementara SPBN khusus nelayan terbatas jumlahnya. Sebagian juga tidak beroperasi.
Hal ini diperparah karena nelayan sering mengabaikan pendataan atau system administrasi, sehingga sering terpental ketika ingin mengakses berbagai bantuan atau dukungan yang disiapkan pemerintah. Sementara perbankan, sangat berhati—hati ketika memberikan pinjaman kepada nelayan.
Begitu juga dengan berbagai akses fasilitas dan infrastruktur lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, komunikasi, dan layanan lain. Nelayan kecil, perlu effort dan biaya lebih besar dibanding masyarakat umum ketika akan mengaksesnya. Karena lokasi dan ketersediaan fasilitas dan infrastruktur tersebut, tidak selengkap dan bonafid seperti di perkotaan.
Walhasil, program-program yang disiapkan pemerintah dan berbagai pihak, tidak cukup jadi pengungkit kesejahteraan nelayan. Proporsinya selain sangat terbatas, juga tidak tepat sasaran dan tidak terdistribusi merata. Sehingga nelayan tetap harus bertarung setiap hari.
Bias Suara Nelayan
Kepentingan nelayan sudah karib disuarakan banyak pihak. Apalagi dalam momentum-momentum politik. Sayangnya organisasi dan pengorganisasian nelayan yang serius masih sangat jarang. Bahkan organisasi nelayan seringkali lebih banyak diisi bukan nelayan kecil. Banyak pengusaha, politisi atau yang bukan nelayan yang menjadi pengurus organisasi-organisasi nelayan. Bukan suara nelayan, apalagi nelayan kecil yang mewakili wajah organisasi-organisasi nelayan. Nelayannya, sering tidak hadir dalam berbagai forum-forum yang membicarakan kepentingan mereka.
Maka jangan heran, meski maksudnya baik, suara suara nelayan seringkali tidak betul-betul terwakili. Kebijakan yang sudah menghadirkan ‘nelayan’ belum tentu merepresentasikan kebutuhan nelayan.
Diatasnamakan dan diwakili, belum tentu kebutuhan dan perspektifnya terwakili dengan baik dalam kebijakan dan proses-proses keputusan. Suara nelayan yang bias ini menjadi trigger yang juga memicu bias data, bias kebijakan, dan program, di berbagai tingkatan. Akibatnya mudah diduga, hak-hak dan kepentingan nelayan secara keseluruhan sering tidak terwakili dengan baik.