Mohon tunggu...
M. Zulficar Mochtar
M. Zulficar Mochtar Mohon Tunggu...

Dilahirkan di Makassar 22 Juli 1971. Merampungkan pendidikan program study Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK) di Universitas Hasanuddin dan Kebijakan Lingkungan di Cardiff University - UK dan bergelut intensif dengan berbagai isu kelautan. Saat ini menjadi penggiat LSM Lokal Kelautan, Destructive Fishing Watch (DFW) dan Indonesia Maritime Institute (IMI)

Selanjutnya

Tutup

Money

Negara Gagap Maritim

31 Mei 2011   05:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:02 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Lupakan sejenak kebanggaan bahwa Indonesia itu negara kepulauan terbesar di dunia. Mari abaikan dulu lagu epik 'nenek moyangku seorang pelaut' yang selalu digambarkan tangguh mengarungi samudera. Dalam empat dekade terakhir, ternyata kita tidak banyak berbuat di lautan. Pembangunan kelautan seolah hanya menjadi beban. Pemerintah sangat gagap dan bekerja tidak tuntas justru ketika berurusan dengan isu-isu kelautan. Alih-alih memanfaatkan sumberdaya melimpah secara baik, pengelolaan justru carut-marut dan menyisakan persoalan di sana-sini. Kekayaan kelautan, seolah menjadi kutukan bagi masyarakat pesisir dan kepulauan.

Ironi Negara Kepulauan

Terletak di posisi strategis, perairan Indonesia menjadi salah satu jalur terpadat pelayaran niaga dunia. Selat Malaka misalnya, menjadi tempat lalu lalang 50 ribuan kapal setiap tahun. Sayangnya, kapal-kapal tersebut malah lebih senang singgah di Singapura karena fasilitas pelabuhan dan sistem pengelolaannya yang modern. Sementara Indonesia, justru lebih tertarik membangun jembatan Selat Sunda, misalnya, dengan biaya ratusan trilyun, ketimbang membangun pelabuhan modern. Tidak itu saja, usaha pelayaran niaga yang ada di Indonesia, mayoritas dikuasai oleh pihak asing. Hanya segelintir yang dimiliki warga negara Indonesia.

Demikian pula dengan berbagai jasa kelautan yang ada. Meski memiliki tidak kurang lebih 15.000 orang penyelam lokal, ternyata kegiatan jasa bawah laut dan selam komersial, misalnya pengelasan bawah laut, pemipaan, pemasangan kabel, inspeksi, penanganan muatan kapal tenggelam, dan sebagainya, hampir seluruhnya didominasi oleh asing. Resort-resort penyelaman dan wisata juga lebih banyak dikelola pihak luar negeri, yang kadang menjadikan resortnya seperti ruang privat.

Bagaimana masyarakat kepulauan? Kantung-kantung kemiskinan Indonesia, justru terdapat banyak wilayah di pesisir dan kepulauan. Lebih dari 90% nelayan Indonesia hanya memiliki perahu dengan motor tempel atau malah tak bermotor sama sekali. Di sisi lain, mereka terus terimbas dengan berbagai kebijakan dan perencanaan yang tidak sensitif. Akibatnya, di kepulauan tidak banyak akses permodalan infrastruktur dan fasilitas yang tersedia. Harga-harga yang berlaku di kepulauan, baik BBM, bahan makanan dan sembako dan akses lainnya, jauh lebih mahal dibanding yang tersedia di perkotaan. Langganan cuaca dan gelombang buruk yang tidak diantisipasi dengan sistem yang baik membuat lonceng kematian nelayan terus berdentang dengan masa depan yang sulit dikatakan cerah.

Dunia perikanan pun kacau balau. Ribuan kapal asing dari 10 negara terus menyerbu Indonesia setiap tahun dan melakukan praktek perikanan ilegal (illegal fishing) tanpa mampu dicegah. Overfishing sudah terjadi di mana-mana. Kerugian akibat praktek perikanan ilegal tersebut diperkirakan tidak kurang dari 30 trilyun rupiah setiap tahun. Pihak TNI AL maupun Ditjen Pengawasan di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memang mengklaim menangkap sekitar 300-an kapal setiap tahun, namun jumlah tersebut seolah menggarami lautan. Apalagi dalam prakteknya, meski ditangkap, kadang kapal-kapal tersebut tidak diproses melalui pengadilan dan tidak ada penyelesaian tuntas. Tidak jarang malah dilepaskan. Di sisi lain, Indonesia justru semakin terdesak dan terjebak untuk melakukan impor ikan dalam jumlah besar, yang sumbernya disinyalir, justru ditangkap dari perairan Indonesia.

Indonesia juga begitu abai dalam menuntaskan garis perbatasan dengan 10 negara tetangga. Jangan heran, berbagai friksi atau insiden terus terjadi di perbatasan, dimana Indonesia yang selalu 'tersudut' dan seolah berada di pihak yang bersalah. Insiden perbatasan dengan Malaysia, misalnya, akan terus berulang seperti film, hanya dengan versi yang berubah-ubah, namun tidak pernah diselesaikan tuntas. Ketiadaan garis batas yang akurat memberikan implikasi bagi kerawanan kedaulatan Indonesia. Lepasnya Sipadan-Ligitan beberapa tahun lalu, menunjukkan lemahnya diplomasi dan kapasitas Indonesia terhadap sumberdayanya.

Dalam hal pulau-pulau kecil, meski memiliki 13.448 pulau, dan menjadi jumlah yang terbesar yang dimiliki sebuah negara di dunia, pemerintah masih jauh dari kapabel dalam mengelolanya. Berbagai prediksi menyebutkan bahwa tahun 2030 sekitar 2000 pulau Indonesia akan tenggelam akibat perubahan iklim, namun sampai saat ini Indonesia belum punya suatu strategi dan rencana detail untuk mengantisipasinya. Waktu terus berjalan, namun tidak banyak aksi yang dilakukan.

Tidak itu saja, ancaman bencana pesisir, baik gempa, tsunami, banjir --- terus mengancam serius. Indonesia berada tepat diwilayah pertemuan tiga buah lempeng sehingga dikenal dengan kawasan 'ring of fire' dan jalur gempa yang signifikan. Namun, Indonesia jauh dari punya strategi yang mapan untuk melakukan antisipasi dan kesiapsiagaan di pesisir kepulauan. Model penanganan berbagai bencana di pesisir, misalnya di Mentawai dan Wasior, menunjukkan betapa lemahnya kapasitas kesiapsiagaan dan penanganan bencana di pesisir atau kepulauan.

Perspektif serba Ikan

Masalah mendasar sehingga Indonesia sangat gagap ketika berhadapan dengan isu kelautan adalah paradigma dan cara berpikir yang serba daratan. Formulasi kebijakan, anggaran, perencanaan pembangunan dalam semua aspek selalu gagal menempatkan kelautan dan masyarakat kepulauan sebagai domain penting. Urusan kelautan selalu dipandang identik dengan hanya urusan dan produksi perikanan.

Tidak heran, meski saat ini terdapat tidak kurang dari 70-an perguruan tinggi yang mengembangkan kelautan dan perikanan, kurikulumnya masih didominasi urusan perikanan. Tidak banyak perbedaan antara bidang kelautan dan perikanan. Bahkan di KKP sendiri, pada level eselon I yang mengurusi masalah teknis, tupoksi mayoritas berbicara pada produksi perikanan dalam berbagai dimensinya. Ada yang mengurusi perikanan budidaya, tangkap, maupun pemasaran, dan menyisakan hanya satu ditjen yang mengelola aspek non-ikan. Akibatnya, Menteri KKP, terjebak dalam perspektif mengejar produksi perikanan sebagai fokus. Suatu visi yang sulit dicapai, dan sekaligus sukses menenggelamkan berbagai potensi pembangunan kelautan lainnya, disamping tentu saja tidak akan banyak menolong proses evolusi Indonesia menjadi negara maritim. Kalau menterinya berpikir 'hanya ikan', jangan harap mampu menularkan dan membangun proyeksi negara maritim dengan baik. Berbagai persoalan kelautan yang disebutkan di atas, hanya akan direspon seadanya.

Skenario evolusi negara Maritim

Dari waktu ke waktu persoalan kelautan semakin kompleks dengan potensi implikasi semakin besar. Indonesia bisa saja melanjutkan rezim 'hanya' ikan dalam memandang kelautan. Namun konsekuensinya, perubahan iklim, antisipasi bencana, kemiskinan kepulauan, persoalan dan insiden perbatasan, perikanan ilegal --- akan terus memakan korban yang lebih besar, menyebabkan kerugian yang makin signifikan, dan mengancam kedaulatan Indonesia. Persoalan kapasitas dan paradigma yang bias yang sangat kental, tidak mungkin dihindari hanya dengan menunjukkan produksi perikanan semata. Untuk itu, langkah dan proyeksi minimalis dan berbau ikan yang dilakukan oleh KKP selama ini, perlu diakhiri dengan mulai serius membangun fondasi negara maritim.

Untuk itu, membangun negara maritim perlu diformulasi secara evolutif dan mengenali perkembangan pemahaman dan kapasitas. Dibutuhkan suatu skenario realistis yang mampu memadukan ribuan perspektif negara maritim dari berbagai pihak secara konsisten ke dalam bentuk perencanaan dan aksi yang kongkret. Tahapan menuju ke sana perlu dipersiapkan. Dua puluh lima tahun kedepan mungkin cukup realistis bagi Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri dan berdaulat, kalau ada konsistensi gerakan maupun harmonisasi visi dan tahapan yang kuat. Namun fondasinya harus dibangun dari sekarang. Kalau tidak, Indonesia akan makin terbiasa menjadi pecundang di lautan.

Note : Opini ini sudah dimuat di Indonesia Maritime Magazine Edisi 8/Tahun I/Mei 2011

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun