Kontribusi generasi milenial dalam menyebarkan dakwah dan memoderasi kehidupan beragama melalui platform digital semakin penting di tengah era disrupsi.
Oleh: M. Zuhriansah
PENDAHULUAN
Di era modern ini, teknologi terus mengalami perkembangan yang pesat. Gadget dan internet telah menjadi bagian tak terpisahkan bagi generasi milenial. Pada tahun 2017, generasi milenial, yang mencakup individu berusia 17-36 tahun, memainkan peran penting sebagai mahasiswa, pekerja awal, dan orangtua muda. Akses mudah ke media sosial memberikan dampak signifikan terhadap penyebaran berita palsu (hoax) di masyarakat. Hoax mencakup berbagai bidang, mulai dari pendidikan dan kesehatan hingga politik. Ujaran kebencian, baik di dunia nyata maupun virtual, semakin merajalela seiring dengan maraknya hoax, yang pada akhirnya dapat merusak persatuan masyarakat yang dibangun atas dasar gotong-royong. Oleh karena itu, perlu adanya pengkajian ulang dan penerapan berpikir kritis, sebagaimana yang diilhami oleh filsafat yang didasarkan pada hadis Nabi. Pendekatan ini dianggap sebagai solusi yang efektif bagi generasi milenial sebagai benteng pertahanan terhadap godaan efek globalisasi, terutama dalam menanggulangi penyebaran virus hoax yang merajalela. Dengan melakukan pengkajian tersebut, diharapkan generasi milenial dapat berperan aktif dalam menciptakan perdamaian, terutama di Indonesia.
Pilihan untuk menggunakan dakwah digital sebagai upaya meningkatkan pemahaman moderasi beragama telah memberikan dimensi baru dalam dunia dakwah. Keefektifan dan ketersediaan akses yang mudah menjadi justifikasi bagi eksistensi dakwah melalui platform digital. Meskipun demikian, di balik kemudahan yang ditawarkan, terdapat sejumlah kesulitan dan tantangan yang juga perlu dihadapi. Ketidakbijakan dalam pemanfaatan teknologi sering kali menghasilkan dampak serius bagi penggunanya, seperti munculnya intoleransi di antara sesama dan penurunan kesadaran terhadap moderasi beragama. Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi sejauh mana peran generasi milenial dalam mempromosikan moderasi beragama melalui dakwah digital, khususnya dalam meningkatkan pemahaman moderasi di kalangan pemuda. Selain itu, artikel ini juga akan mengulas adab-adab yang perlu diperhatikan dalam berdakwah digital, terutama di tengah era disrupsi saat ini.
Kemajuan dalam teknologi komunikasi telah menghapus batas-batas teritorial dan interaksi fisik, digantikan oleh keterhubungan digital. Perkembangan teknologi juga memberikan kemudahan bagi manusia dalam menjalani kehidupan (Gandur et al., 2020: 41). Meskipun demikian, tidak dapat diabaikan bahwa di balik kemudahan tersebut, terdapat dampak serius pada manusia, terutama generasi muda. Sebagai contoh, penggunaan media sosial yang berlebihan dapat mengakibatkan kecenderungan malas belajar, kurangnya interaksi sosial, serta kurangnya kepekaan terhadap lingkungan sekitar (Yuhandra et al., 2021: 81). Selain itu, perilaku intoleran, individualistis, dan kurang sopan dalam berkomunikasi juga dapat muncul, disebabkan oleh kurangnya adab dan pemahaman yang baik terhadap berinteraksi di media sosial (Arini, 2020: 50). Selain dampak tersebut, media sosial juga memiliki potensi mengganggu moderasi beragama dengan penyebaran konten propaganda dan ujaran kebencian.
Islam didefinisikan sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam, sesuai dengan konsep "rahmatan lil alamin". Rahmatan lil alamin mencerminkan kasih sayang dan karunia Allah SWT yang diberikan kepada seluruh makhluk di alam semesta. Dalam konsep ini, Islam menghormati hak-hak asasi manusia, serta menjaga hak-hak binatang dan tumbuhan. Sebagai konsep dasar dalam agama Islam, rahmatan lil alamin diharapkan dapat mengembalikan keindahan Islam yang mungkin telah redup. Rahmat ini dianggap sebagai milik Allah yang disampaikan melalui Islam untuk dinikmati bersama-sama oleh umat manusia. Oleh karena itu, penyebaran Islam di kalangan umat manusia dianggap penting agar hikmahnya dapat dirasakan bersama. Sebagai seorang Muslim, memiliki ilmu berarti tidak hanya diterapkan dalam kehidupan pribadi, tetapi juga disampaikan kepada orang lain. Konsep ini mencerminkan ajaran hadits yang menyatakan, "Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat" (HR. Bukhari). Sebagai umat Islam yang beriman, kita memiliki kewajiban untuk menyampaikan dakwah, bahkan jika hanya dengan satu ayat saja.
Dakwah mencakup semua kegiatan yang bertujuan untuk mengajak masyarakat menuju kebaikan dan menghindarkan mereka dari perbuatan jahat, baik melalui komunikasi lisan, tulisan, seni lukis, maupun tindakan, dengan menggunakan metode dan media yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Tujuannya adalah untuk mencapai kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Secara sejarah, dapat diidentifikasi bahwa Islamisasi di nusantara terjadi melalui kegiatan dakwah. Tanpa upaya yang dilakukan oleh para pendakwah, kemungkinan besar tidak akan ada penyebaran Islam yang signifikan di Indonesia sebagaimana yang kita saksikan saat ini.
Dakwah Islam menghadapi dua tantangan yang perlu diatasi secara bersamaan. Pertama, tantangan keilmuan dakwah masih belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan hingga saat ini. Ilmu dakwah cenderung stagnan dalam pengembangan keilmuannya. Jika kita merujuk pada dimensi pengembangan keilmuan tersebut melalui karya-karya ilmu dakwah yang mencolok, tampaknya sulit menemukan karya akademis yang luar biasa tentang dakwah. Kedua, masalah atau tantangan dalam praktik dakwah. Dakwah lisan masih mendominasi dalam aktivitas dakwah di Indonesia, dan banyak tokoh yang mengembangkan dakwah lisan ini. Baik itu dalam bentuk kegiatan dakwah maupun sebagai bagian dari acara-acara khusus seperti pernikahan, khitanan, Jumat, dan lain sebagainya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memasuki dunia Islam, terutama setelah abad kesembilan belas, dianggap sebagai awal dari periode modern dalam sejarah Islam. Interaksi dengan dunia Barat membawa ide-ide baru ke dunia Islam, seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan sebagainya. Semua ini menimbulkan tantangan baru, dan pemimpin Islam mulai memikirkan cara mengatasi masalah-masalah baru tersebut. Di dalam Islam, muncul pemikiran dan gerakan untuk menyelaraskan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang dibawa oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan cara ini, pemimpin Islam modern berharap dapat membawa umat Islam keluar dari suasana kemunduran menuju kemajuan.
Dengan kata lain, dakwah di zaman modern memerlukan penyesuaian dalam pelaksanaannya dengan situasi dan kondisi masyarakat modern, termasuk aspek materi, metode, dan media yang digunakan. Agar dakwah mencapai tujuan yang efektif di era milenial, seorang juru dakwah sebaiknya memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, menyampaikan materi atau pesan dakwah yang relevan dan aktual, menggunakan metode yang sesuai dengan kondisi masyarakat modern, dan memanfaatkan media komunikasi yang sesuai dengan perkembangan dan keadaan masyarakat modern yang tengah dihadapi. Kemunculan komunitas dakwah Islam di kalangan generasi milenial juga dapat dianggap sebagai solusi dalam pelaksanaan dakwah. Terlebih lagi jika dipimpin oleh ustad atau ustadzah yang populer di kalangan generasi milenial dan menyampaikan materi yang sesuai dengan fenomena terkini, hal ini dapat menarik minat generasi milenial. Contohnya, keberadaan komunitas kajian Islam menjadi salah satu respons terhadap tantangan yang dihadapi oleh generasi milenial dalam memahami, menerapkan, dan menyampaikan dakwah sesuai dengan kondisi masyarakat dan fenomena yang tengah berlangsung.
PEMBAHASAN
A. Mengenal Generasi Millenial
Istilah "generasi millennial" kini menjadi umum terdengar, diperkenalkan oleh dua ahli sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil Howe dalam beberapa karya mereka. Millennial generation atau generasi Y juga dikenal dengan istilah generation me atau echo boomers. Meskipun secara harfiah tidak ada kriteria demografi yang khusus untuk menentukan kelompok generasi ini, para ahli biasanya mengelompokkannya berdasarkan rentang tahun kelahiran. Generasi Y diidentifikasi sebagai mereka yang lahir antara tahun 1980 hingga 1990, atau awal 2000-an, dan seterusnya. Pada awal 2016, Ericsson merilis 10 Tren Consumer Lab yang didasarkan pada prediksi keinginan konsumen dengan melakukan wawancara kepada 4.000 responden di 24 negara. Dalam laporan tersebut, terdapat perhatian khusus terhadap perilaku generasi millennial. Ericsson mencatat bahwa produk teknologi akan mengikuti gaya hidup mereka, karena perubahan perilaku seiring dengan perkembangan teknologi. Presiden Direktur Ericsson Indonesia, Thomas Jul, menyatakan bahwa produk teknologi baru akan muncul sebagai tanggapan terhadap perubahan teknologi.
Selama tahun ini, beberapa prediksi yang diajukan oleh Ericsson telah terbukti. Salah satunya adalah tren perilaku Streaming Native yang semakin populer. Jumlah remaja yang menggunakan layanan streaming video terus meningkat tanpa hambatan. Ericsson mencatat bahwa pada tahun 2011, hanya sekitar tujuh persen remaja berusia 16 - 19 tahun yang menonton video melalui Youtube. Pada rata-rata, mereka menghabiskan waktu tiga jam sehari di depan layar perangkat mobile. Angka tersebut melonjak menjadi 20 persen empat tahun kemudian, sementara waktu yang dihabiskan untuk menonton streaming meningkat tiga kali lipat. Fakta ini membuktikan bahwa perilaku generasi millennial tidak bisa dipisahkan dari kegiatan menonton video secara daring. Teknologi juga membuat generasi internet mengandalkan media sosial sebagai sumber informasi utama. Saat ini, media sosial telah menjadi platform pelaporan dan sumber berita utama bagi masyarakat. Fenomena ini telah terbukti sepanjang tahun 2016 melalui beberapa peristiwa penting, seperti tindakan teror bom. Masyarakat sepenuhnya mengandalkan media sosial untuk mendapatkan informasi terkini tentang suatu peristiwa. Nielsen Global Survey of E-commerce juga melakukan penelitian mengenai pergeseran perilaku belanja generasi internet. Penelitian ini didasarkan pada penetrasi internet di beberapa negara, dengan melibatkan 30 ribu responden yang memiliki akses internet memadai. Responden berasal dari 60 negara di Asia Pasifik, Eropa, Amerika Latin dan Utara, serta Timur Tengah. Hasil studi menggambarkan bahwa generasi yang akrab dengan internet ini cenderung memilih jalur daring untuk meneliti dan membeli berbagai produk atau jasa dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Nielsen mencatat bahwa pertumbuhan penetrasi perangkat mobile di kota-kota besar Indonesia mencapai 88 persen. Kepemilikan perangkat mobile menjadi salah satu faktor yang paling signifikan dalam membentuk perilaku belanja daring. Berdasarkan riset tersebut, Indonesia menduduki peringkat teratas secara global dalam penggunaan ponsel pintar untuk belanja daring, di mana 61 persen konsumen memilih berbelanja menggunakan ponsel pintar, 38 persen menggunakan tablet atau perangkat mobile lainnya, dan 58 persen lebih memilih menggunakan komputer.
B. Pemanfaatan dakwah digital sebagai alat untuk meningkatkan pemahaman moderasi beragama di era disrupsi.
Generasi muda yang tumbuh di era di mana teknologi dan internet merajai membuat pemerintah dan paradigma agama kehilangan kendali penuh dalam mengatur pemikiran masyarakat. Hal ini disebabkan kemampuan seseorang untuk dengan cepat dan mudah mengakses informasi dan pengetahuan melalui mesin pencari atau media sosial. Menariknya, di banyak negara, populasi non-agamis tidak menurun, malah atheisme terus berkembang pesat di seluruh dunia. Negara-negara dengan paham komunis dan liberal yang dikenal dengan ateisme tampak menunjukkan gaya hidup hedonis dan melegalkan hal-hal yang dilarang oleh agama. Sebagai contoh, di Arab Saudi, sekitar 5% penduduk mengklaim sebagai atheis atau menolak ide-ide ketuhanan, persentasenya setara dengan jumlah penganut Atheis di Amerika Serikat. Khofifah Indar Parawansa, Ketua Umum PP Muslimat NU, menyatakan bahwa peningkatan ateisme di negara-negara Timur Tengah disebabkan oleh radikalisme, ekstremisme, dan terorisme yang menyimpang dari ajaran agama. Sementara itu, agama pada hakikatnya mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan perdamaian (Rasyid, 2016). Oleh karena itu, penting bagi generasi muda untuk memahami dan menerapkan makna agama dengan benar.
Selanjutnya, menerapkan nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bertujuan untuk menciptakan suasana aman dan damai sesuai dengan konsep agama Rahmatan Lil Alamin, yang mengedepankan pemberian manfaat dan kasih sayang kepada alam, membuka ruang kebebasan berpendapat, serta mengenal dan menghargai keragaman. Menurut Habib Muhsin, dakwah adalah proses penyampaian informasi tentang ajaran Islam dengan tujuan mengubah sikap dan perilaku seseorang agar lebih positif. Dimensi perubahan menuju kemajuan atau positif dianggap sebagai karakteristik dasar yang seharusnya menjadi pedoman dalam kajian dakwah (Rosyidi, 2015). Jika pada masa lalu dakwah dilakukan dengan cara sederhana seperti mendatangi rumah ke rumah untuk memberikan materi pendidikan Islam, saat ini aktivitas dakwah dilakukan dengan berbagai metode, strategi, dan media yang lebih bervariasi. Dengan perkembangan dan kecanggihan alat serta media komunikasi, konten dakwah generasi muda saat ini harus memiliki banyak unsur virtual.
Generasi muda yang sangat bergantung pada teknologi dan secara masif menggunakan perangkat seperti laptop, iPad, smartphone, dan TV setiap harinya membuat media sosial menjadi bagian yang sangat vital dalam aspek koneksi sosial mereka. Mereka lebih sering menghabiskan waktu bersama perangkat teknologi digital dan berbagai aplikasi daripada bersama teman atau anggota keluarga. Hal ini menjadi peluang yang dimanfaatkan oleh beberapa komunitas atau kelompok keagamaan untuk menyebarkan dakwah melalui media sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram, atau Telegram. Dakwah akan menjadi lebih menarik jika dilakukan melalui media sosial, tetapi tetap mengikuti konsep Islam Rahmatan Lil Alamin. Selain media sosial, meningkatnya popularitas hiburan dengan unsur keagamaan, seperti sinetron Islami, film Islami, musik Islami, dan novel Islami, telah menyebabkan pesan dan dakwah berkembang dengan cepat dan dinamis. Contohnya, munculnya grup musik Bimbo pada tahun 1980-an dan boomingnya film-film seperti Ayat-Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, Mencari Hilal, 99 Cahaya di Langit Eropa, hingga Surga yang Tak Dirindukan. Selain itu, beberapa kyai atau dai yang memiliki pemahaman teknologi tinggi seperti K.H. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) menjadi sosok yang sangat digemari saat ini karena kontennya selalu disajikan dengan ringan.
Kemajuan teknologi diharapkan tidak mengakibatkan perpecahan dan ketidaksetaraan dalam masyarakat, karena telah terjadi banyak penindasan di berbagai bidang seperti politik, ekonomi, dan sosial keagamaan. Teknologi informasi juga mendorong kelompok garis keras untuk memperluas jaringan guna memobilisasi individu-individu untuk melakukan kejahatan, baik secara online maupun offline. Selain itu, diperlukan metode penyampaian materi yang memasuki psikologi individu, seperti mereduksi kata-kata dari sebuah film yang sedang viral. Seiring dengan perkembangan dakwah yang kini dilakukan dengan metode pendekatan ceramah atau tablig, komunikasi dua arah, atau pengajian taklim, menjadi lebih interaktif. Konten dakwah generasi muda juga perlu memiliki unsur virtual yang lebih banyak, seperti quote, meme, skrip komik, infografis, dan video sesuai dengan tren vlog. Saat ini, media sosial lebih banyak digunakan oleh pengguna muda untuk menonton video daripada bersosialisasi, sehingga peluang bagi portal media Islam untuk menyajikan dakwah dalam bentuk yang menarik semakin besar. Konten-konten dakwah kreatif dan kekinian yang disampaikan melalui media digital dikenal sebagai dakwah digital.
Internet memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat masa kini. Kemajuan teknologi telah mengakibatkan peningkatan pada aspek sosial, termasuk dalam proses dakwah digital yang dilakukan melalui platform digital yang menyampaikan pesan baik secara verbal maupun non-verbal. Pesan dapat memiliki tiga sifat, yaitu informatif, persuasif, dan koersif. Sifat informatif hanya memberikan informasi, sementara pesan persuasif mencoba membujuk untuk menggugah pemahaman dan kesadaran seseorang, dan pesan koersif berisikan perintah, aturan, anjuran, instruksi, dan sejenisnya (Sutrisno, 2020, p. 72). Untuk memastikan agar pesan dapat diterima dan dipahami dengan baik, seorang pendakwah harus memiliki kemampuan mengelola komunikasi dakwah secara efektif (Helmy & Ayuni, 2019: 24).
Hasil survei nasional PPIM UIN Jakarta pada tahun 2017 menunjukkan bahwa internet berpengaruh besar terhadap peningkatan intoleransi pada generasi millennial atau generasi Z. Siswa dan mahasiswa yang tidak memiliki akses internet cenderung memiliki sikap moderat jika dibandingkan dengan mereka yang memiliki akses internet. Meskipun mayoritas siswa/mahasiswa memiliki akses internet, yaitu sebanyak 84,94%, sekitar 15,06% siswa/mahasiswa tidak memiliki akses internet. Terlihat bahwa generasi millennial lebih mengandalkan dunia maya sebagai sumber pembelajaran agama, dengan 54,37% siswa dan mahasiswa memperoleh pengetahuan tentang agama dari internet, baik melalui media sosial, blog, maupun situs web (RI, 2019, p. 90). Berdasarkan survei tersebut, dapat dipahami bahwa penyebaran ujaran kebencian dan hoaks memiliki dampak yang tidak hanya terbatas pada tindakan pidana, tetapi juga dapat merusak struktur masyarakat, khususnya dalam konteks moderasi beragama. Oleh karena itu, para pemuda sebagai pendakwah diharapkan memiliki kemampuan untuk merancang konten dakwah yang menarik, inovatif, dan kreatif, sambil tetap mematuhi prinsip-prinsip dalam bermedia sosial. Salah satu prinsip tersebut adalah kehati-hatian saat menerima informasi, dengan melakukan pemeriksaan terhadap sumber, kebenaran, waktu, dan lokasi (Qustulani et al., 2019, p. 175). Langkah-langkah tersebut dianggap sangat penting sebagai tindakan antisipatif terhadap penyebaran informasi ujaran kebencian dan hoaks.
Dakwah merupakan upaya untuk meningkatkan peradaban baru bagi manusia. Ketika kita melihat media sosial saat ini, banyak berita yang keabsahannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Lebih parahnya lagi, orang-orang yang tidak menyaring informasi tersebut secara langsung menyebarkannya dan menjadi konsumsi oleh banyak orang. Oleh karena itu, penting untuk mencari solusi terhadap permasalahan ini, terutama dalam konteks keagamaan.
Peran pemuda dalam menyampaikan dakwah melalui platform digital sangat efektif dalam meminimalisir penyebaran berita yang tidak jelas keabsahannya. Oleh karena itu, pemuda perlu dilatih dan dibimbing dalam pembuatan konten dakwah digital. Pentingnya peran teknologi ini sebelumnya telah diramalkan oleh Herbert Marshall McLuhan pada tahun 1962, yang menyatakan bahwa ketergantungan pada elektronik akan membentuk suatu tatanan hidup baru yang mengabaikan aspek sosial lainnya, seperti politik, budaya, geografis, dan komunikasi (Ummah, 2020: 55). Oleh karena itu, munculnya internet telah membuat kehidupan keagamaan bergantung pada internet.
Di era ini, segala akses dapat diperoleh atau dijangkau dengan cepat. Oleh karena itu, dalam penggunaan media sosial yang cepat dijangkau, pendakwah saat ini sangat efektif menggunakan media sosial untuk menyampaikan dakwahnya. Saat ini, perlu menggunakan sarana media untuk menyampaikan dakwah, karena selama ini yang digunakan hanya dakwah bil kitabah atau bil qalam (Wibowo, 2019: 342). Oleh karena itu, untuk meminimalisir penyimpangan keagamaan, diperlukan dakwah yang sepenuhnya memahami nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karena itu, penting untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang peran penting media dalam menyampaikan dakwah tersebut (Hamdi, 2020:345). Dengan melihat perkembangan yang terus meningkat, penggunaan internet dan media untuk menyebarkan dakwah menjadi sangat efektif dan menguntungkan bagi banyak orang (Wibowo, 2019: 348).
Pentingnya peran media menuntut pembinaan bagi para pemuda agar menjadi bagian dari moderasi beragama di media sosial. Pendakwah harus memanfaatkan media secara strategis dalam menyampaikan pesan dakwah yang lebih terpercaya, karena media, yang biasanya dianggap sebagai alat informasi, perlu diubah menjadi wadah yang mampu membawa perubahan positif pada masyarakat secara luas (Sutrisno, 2020: 60). Saat ini, banyak berita yang sampai kepada masyarakat bersifat provokatif dengan isu-isu yang melibatkan suku, agama, ras, dan antar golongan, sehingga meningkatkan potensi konflik di masyarakat. Hal ini terjadi karena media tidak lagi dapat terkontrol, dan informasi yang tidak jelas sumbernya merajalela. Peran generasi milenial sangat penting dalam menciptakan konten dakwah, terutama karena mereka sangat akrab dengan media dan internet (Kurnia, 2020). Keterlibatan mereka sangat penting, terutama dalam menghadapi tantangan moderasi beragama yang menjadi kunci untuk menciptakan toleransi dan kerukunan di masyarakat. Oleh karena itu, peran media dan partisipasi aktif masyarakat, terutama pemuda, dalam menyediakan informasi sangat krusial dalam menjaga persatuan umat (Sutrisno, 2020: 20). Mengingat banyaknya kasus keagamaan yang terjadi akibat pemahaman media yang kurang tepat, pendakwah di media sosial perlu memahami dinamika ruang publik di era digital (Ni'amah & Putri, 2019: 267). Saat ini, moderasi beragama sangat diperlukan untuk menghadapi ancaman kelompok ekstremisme, radikalisme, dan ujaran kebencian yang dapat menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat. Dalam konteks perkembangan teknologi, dakwah melalui media sosial menjadi suatu kegiatan yang terus dilakukan, dan media sosial menjadi platform utama untuk mewujudkan moderasi beragama (Novia & Wasehudin, 2020: 100).
Islam yang bersifat moderat perlu didorong melalui kampanye di media sosial untuk mempertahankan keseimbangan dan keadilan dalam pelaksanaan dakwah. Islam juga sebaiknya berfungsi sebagai penengah dalam menangani semua permasalahan keagamaan. Potensi dakwah digital sangat besar dalam menciptakan perubahan dan pemahaman keagamaan di kalangan masyarakat. Melalui dakwah digital, Islam dapat menembus batasan ruang dan waktu dengan cepat, dan setiap tahunnya terjadi peningkatan pengguna, menjadikan media sosial sebagai platform yang sangat efektif untuk dakwah. Ulama dan para dai dapat aktif berpartisipasi dalam menyampaikan materi dakwah digital, dan yang terpenting, dakwah digital dapat menjangkau semua lapisan masyarakat (Ummah, 2020: 62). Dalam konteks dakwah digital sebagai bagian dari upaya moderasi beragama, variasi pendekatan dakwah menjadi lebih beragam, didukung oleh kemajuan teknologi yang sangat pesat.
Sebagai sebuah bangsa dengan masyarakat yang beragam, kita sering kali menyaksikan terjadinya gesekan sosial akibat perbedaan pandangan terkait masalah keagamaan. Keadaan ini bisa mengancam suasana rukun dan damai yang kita harapkan bersama. Contohnya, terdapat ketegangan antara umat beragama dengan pandangan keagamaannya yang berbenturan dengan ritual budaya lokal, seperti sedekah laut, festival kebudayaan, atau upacara budaya lainnya (Putra, 2020). Di waktu lain, masyarakat bisa terlibat dalam penolakan pembangunan rumah ibadah di suatu daerah, meskipun syarat dan ketentuannya sudah memenuhi standar. Konflik muncul karena mayoritas penduduk setempat tidak setuju, menyebabkan pertengkaran. Semua ini adalah fakta yang kita hadapi, karena keragaman pemahaman umat beragama di Indonesia sungguh sangat besar. Sama sekali tidak mungkin atau sangat sulit untuk menyatukan pandangan keagamaan umat beragama di Indonesia. Ditambah lagi, klaim beragam terhadap kebenaran tafsir agama dapat menciptakan konflik dan gesekan. Oleh karena itu, pentingnya moderasi dalam beragama tidak bisa diabaikan. Moderasi beragama bertujuan untuk menciptakan kedamaian dan toleransi tanpa memandang perbedaan ras, suku, dan agama. Namun, keberagaman ini dapat menjadi tantangan tersendiri, yakni dapat memunculkan konflik, terutama dalam konteks perbedaan agama (Amirudin et al., 2021). Semua ini terjadi sebagai dampak dari sikap egois dan ketidakmauan untuk belajar serta memahami perbedaan satu sama lain. Dengan kata lain, kurangnya pemahaman terhadap konsep moderasi beragama.
Moderasi beragama, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah "wasath" atau "wasathiyah", memiliki makna yang setara dengan "tawassuth" (tengah-tengah), "i'tidal" (adil), dan "tawazun" (berimbang). Oleh karena itu, moderasi beragama diartikan sebagai pandangan hidup dan perilaku yang tidak berlebihan (RI, 2019, 17). Dari definisinya, dapat dipahami bahwa moderasi beragama menjadi kunci untuk mencapai kehidupan yang rukun dan toleran dalam masyarakat. Sebagai generasi penerus agama dan bangsa, peran pemuda menjadi sangat penting dalam menyebarkan konsep moderasi beragama, contohnya melalui penyebaran pemahaman tersebut dalam konten-konten dakwah secara digital.
KESIMPULAN
Keakraban generasi muda dengan media sosial memberikan peluang besar bagi para pendakwah, terutama dari kalangan pemuda, untuk menyebarkan konten dakwah secara digital. Hal ini memberikan dukungan signifikan dalam penekanan mengenai pentingnya moderasi beragama guna mencegah konflik yang mungkin timbul dalam masyarakat yang beragam.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, dakwah di era milenial harus disesuaikan dengan materi, metode, dan media yang sesuai dengan kondisi masyarakat milenial sebagai objek dakwah. Situasi dan kondisi yang terjadi di era milenial mungkin berbeda dengan era sebelumnya, terutama di era klasik.
Kedua, pendekatan dakwah tidak lagi cukup dengan metode konvensional. Dakwah perlu disampaikan secara optimal melalui media sosial karena generasi milenial lebih cenderung menggunakan aplikasi interaktif, seperti WhatsApp, Instagram, dan Twitter. Oleh karena itu, para da'i disarankan untuk memanfaatkan media sosial sebaik mungkin untuk mencapai audiens yang lebih luas, sehingga pesan dakwah dapat tersampaikan secara lebih efektif.
Ketiga, dakwah juga perlu disampaikan dengan cara yang menarik, seperti meme, quote, video, dan vlog yang mengandung konten yang ringan. Penggunaan materi dakwah yang sedang tren atau viral dapat meningkatkan ketertarikan generasi milenial, sehingga mereka tidak merasa bosan dengan dakwah yang disampaikan. Metode penyampaian dakwah perlu memperhatikan psikologi generasi milenial, termasuk penggunaan bahasa yang sesuai dengan gaya dan bahasa yang mereka gunakan. Terakhir, dengan pertumbuhan pesat metode penyampaian dakwah, penting untuk menanamkan pemahaman agama sebagai pegangan, pedoman hidup, dan peraturan yang mengatur perilaku manusia agar tidak menyebabkan kekacauan. Media sosial juga harus menyajikan konten-konten yang santun dan toleran sesuai dengan konsep Islam Rahmatan Lil Alamin, yang disampaikan dengan cara yang sederhana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H