Mohon tunggu...
M Zuhriansah
M Zuhriansah Mohon Tunggu... Guru - Teacher

"Semua orang akan mati kecuali karyanya, maka tulislah sesuatu yang akan membahagiakan dirimu di akhirat kelak". - Ali bin Abi Thalib

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kontribusi Generasi Millenial: "Dakwah dan Moderasi Beragama di Era Digital"

6 Januari 2024   16:18 Diperbarui: 6 Januari 2024   23:14 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: social-media-modern

PEMBAHASAN

A. Mengenal Generasi Millenial

Istilah "generasi millennial" kini menjadi umum terdengar, diperkenalkan oleh dua ahli sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil Howe dalam beberapa karya mereka. Millennial generation atau generasi Y juga dikenal dengan istilah generation me atau echo boomers. Meskipun secara harfiah tidak ada kriteria demografi yang khusus untuk menentukan kelompok generasi ini, para ahli biasanya mengelompokkannya berdasarkan rentang tahun kelahiran. Generasi Y diidentifikasi sebagai mereka yang lahir antara tahun 1980 hingga 1990, atau awal 2000-an, dan seterusnya. Pada awal 2016, Ericsson merilis 10 Tren Consumer Lab yang didasarkan pada prediksi keinginan konsumen dengan melakukan wawancara kepada 4.000 responden di 24 negara. Dalam laporan tersebut, terdapat perhatian khusus terhadap perilaku generasi millennial. Ericsson mencatat bahwa produk teknologi akan mengikuti gaya hidup mereka, karena perubahan perilaku seiring dengan perkembangan teknologi. Presiden Direktur Ericsson Indonesia, Thomas Jul, menyatakan bahwa produk teknologi baru akan muncul sebagai tanggapan terhadap perubahan teknologi.

Selama tahun ini, beberapa prediksi yang diajukan oleh Ericsson telah terbukti. Salah satunya adalah tren perilaku Streaming Native yang semakin populer. Jumlah remaja yang menggunakan layanan streaming video terus meningkat tanpa hambatan. Ericsson mencatat bahwa pada tahun 2011, hanya sekitar tujuh persen remaja berusia 16 - 19 tahun yang menonton video melalui Youtube. Pada rata-rata, mereka menghabiskan waktu tiga jam sehari di depan layar perangkat mobile. Angka tersebut melonjak menjadi 20 persen empat tahun kemudian, sementara waktu yang dihabiskan untuk menonton streaming meningkat tiga kali lipat. Fakta ini membuktikan bahwa perilaku generasi millennial tidak bisa dipisahkan dari kegiatan menonton video secara daring. Teknologi juga membuat generasi internet mengandalkan media sosial sebagai sumber informasi utama. Saat ini, media sosial telah menjadi platform pelaporan dan sumber berita utama bagi masyarakat. Fenomena ini telah terbukti sepanjang tahun 2016 melalui beberapa peristiwa penting, seperti tindakan teror bom. Masyarakat sepenuhnya mengandalkan media sosial untuk mendapatkan informasi terkini tentang suatu peristiwa. Nielsen Global Survey of E-commerce juga melakukan penelitian mengenai pergeseran perilaku belanja generasi internet. Penelitian ini didasarkan pada penetrasi internet di beberapa negara, dengan melibatkan 30 ribu responden yang memiliki akses internet memadai. Responden berasal dari 60 negara di Asia Pasifik, Eropa, Amerika Latin dan Utara, serta Timur Tengah. Hasil studi menggambarkan bahwa generasi yang akrab dengan internet ini cenderung memilih jalur daring untuk meneliti dan membeli berbagai produk atau jasa dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Nielsen mencatat bahwa pertumbuhan penetrasi perangkat mobile di kota-kota besar Indonesia mencapai 88 persen. Kepemilikan perangkat mobile menjadi salah satu faktor yang paling signifikan dalam membentuk perilaku belanja daring. Berdasarkan riset tersebut, Indonesia menduduki peringkat teratas secara global dalam penggunaan ponsel pintar untuk belanja daring, di mana 61 persen konsumen memilih berbelanja menggunakan ponsel pintar, 38 persen menggunakan tablet atau perangkat mobile lainnya, dan 58 persen lebih memilih menggunakan komputer.

B. Pemanfaatan dakwah digital sebagai alat untuk meningkatkan pemahaman moderasi beragama di era disrupsi.

Generasi muda yang tumbuh di era di mana teknologi dan internet merajai membuat pemerintah dan paradigma agama kehilangan kendali penuh dalam mengatur pemikiran masyarakat. Hal ini disebabkan kemampuan seseorang untuk dengan cepat dan mudah mengakses informasi dan pengetahuan melalui mesin pencari atau media sosial. Menariknya, di banyak negara, populasi non-agamis tidak menurun, malah atheisme terus berkembang pesat di seluruh dunia. Negara-negara dengan paham komunis dan liberal yang dikenal dengan ateisme tampak menunjukkan gaya hidup hedonis dan melegalkan hal-hal yang dilarang oleh agama. Sebagai contoh, di Arab Saudi, sekitar 5% penduduk mengklaim sebagai atheis atau menolak ide-ide ketuhanan, persentasenya setara dengan jumlah penganut Atheis di Amerika Serikat. Khofifah Indar Parawansa, Ketua Umum PP Muslimat NU, menyatakan bahwa peningkatan ateisme di negara-negara Timur Tengah disebabkan oleh radikalisme, ekstremisme, dan terorisme yang menyimpang dari ajaran agama. Sementara itu, agama pada hakikatnya mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan perdamaian (Rasyid, 2016). Oleh karena itu, penting bagi generasi muda untuk memahami dan menerapkan makna agama dengan benar.

Selanjutnya, menerapkan nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bertujuan untuk menciptakan suasana aman dan damai sesuai dengan konsep agama Rahmatan Lil Alamin, yang mengedepankan pemberian manfaat dan kasih sayang kepada alam, membuka ruang kebebasan berpendapat, serta mengenal dan menghargai keragaman. Menurut Habib Muhsin, dakwah adalah proses penyampaian informasi tentang ajaran Islam dengan tujuan mengubah sikap dan perilaku seseorang agar lebih positif. Dimensi perubahan menuju kemajuan atau positif dianggap sebagai karakteristik dasar yang seharusnya menjadi pedoman dalam kajian dakwah (Rosyidi, 2015). Jika pada masa lalu dakwah dilakukan dengan cara sederhana seperti mendatangi rumah ke rumah untuk memberikan materi pendidikan Islam, saat ini aktivitas dakwah dilakukan dengan berbagai metode, strategi, dan media yang lebih bervariasi. Dengan perkembangan dan kecanggihan alat serta media komunikasi, konten dakwah generasi muda saat ini harus memiliki banyak unsur virtual.

Generasi muda yang sangat bergantung pada teknologi dan secara masif menggunakan perangkat seperti laptop, iPad, smartphone, dan TV setiap harinya membuat media sosial menjadi bagian yang sangat vital dalam aspek koneksi sosial mereka. Mereka lebih sering menghabiskan waktu bersama perangkat teknologi digital dan berbagai aplikasi daripada bersama teman atau anggota keluarga. Hal ini menjadi peluang yang dimanfaatkan oleh beberapa komunitas atau kelompok keagamaan untuk menyebarkan dakwah melalui media sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram, atau Telegram. Dakwah akan menjadi lebih menarik jika dilakukan melalui media sosial, tetapi tetap mengikuti konsep Islam Rahmatan Lil Alamin. Selain media sosial, meningkatnya popularitas hiburan dengan unsur keagamaan, seperti sinetron Islami, film Islami, musik Islami, dan novel Islami, telah menyebabkan pesan dan dakwah berkembang dengan cepat dan dinamis. Contohnya, munculnya grup musik Bimbo pada tahun 1980-an dan boomingnya film-film seperti Ayat-Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, Mencari Hilal, 99 Cahaya di Langit Eropa, hingga Surga yang Tak Dirindukan. Selain itu, beberapa kyai atau dai yang memiliki pemahaman teknologi tinggi seperti K.H. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) menjadi sosok yang sangat digemari saat ini karena kontennya selalu disajikan dengan ringan.

Kemajuan teknologi diharapkan tidak mengakibatkan perpecahan dan ketidaksetaraan dalam masyarakat, karena telah terjadi banyak penindasan di berbagai bidang seperti politik, ekonomi, dan sosial keagamaan. Teknologi informasi juga mendorong kelompok garis keras untuk memperluas jaringan guna memobilisasi individu-individu untuk melakukan kejahatan, baik secara online maupun offline. Selain itu, diperlukan metode penyampaian materi yang memasuki psikologi individu, seperti mereduksi kata-kata dari sebuah film yang sedang viral. Seiring dengan perkembangan dakwah yang kini dilakukan dengan metode pendekatan ceramah atau tablig, komunikasi dua arah, atau pengajian taklim, menjadi lebih interaktif. Konten dakwah generasi muda juga perlu memiliki unsur virtual yang lebih banyak, seperti quote, meme, skrip komik, infografis, dan video sesuai dengan tren vlog. Saat ini, media sosial lebih banyak digunakan oleh pengguna muda untuk menonton video daripada bersosialisasi, sehingga peluang bagi portal media Islam untuk menyajikan dakwah dalam bentuk yang menarik semakin besar. Konten-konten dakwah kreatif dan kekinian yang disampaikan melalui media digital dikenal sebagai dakwah digital.

Internet memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat masa kini. Kemajuan teknologi telah mengakibatkan peningkatan pada aspek sosial, termasuk dalam proses dakwah digital yang dilakukan melalui platform digital yang menyampaikan pesan baik secara verbal maupun non-verbal. Pesan dapat memiliki tiga sifat, yaitu informatif, persuasif, dan koersif. Sifat informatif hanya memberikan informasi, sementara pesan persuasif mencoba membujuk untuk menggugah pemahaman dan kesadaran seseorang, dan pesan koersif berisikan perintah, aturan, anjuran, instruksi, dan sejenisnya (Sutrisno, 2020, p. 72). Untuk memastikan agar pesan dapat diterima dan dipahami dengan baik, seorang pendakwah harus memiliki kemampuan mengelola komunikasi dakwah secara efektif (Helmy & Ayuni, 2019: 24).

Hasil survei nasional PPIM UIN Jakarta pada tahun 2017 menunjukkan bahwa internet berpengaruh besar terhadap peningkatan intoleransi pada generasi millennial atau generasi Z. Siswa dan mahasiswa yang tidak memiliki akses internet cenderung memiliki sikap moderat jika dibandingkan dengan mereka yang memiliki akses internet. Meskipun mayoritas siswa/mahasiswa memiliki akses internet, yaitu sebanyak 84,94%, sekitar 15,06% siswa/mahasiswa tidak memiliki akses internet. Terlihat bahwa generasi millennial lebih mengandalkan dunia maya sebagai sumber pembelajaran agama, dengan 54,37% siswa dan mahasiswa memperoleh pengetahuan tentang agama dari internet, baik melalui media sosial, blog, maupun situs web (RI, 2019, p. 90). Berdasarkan survei tersebut, dapat dipahami bahwa penyebaran ujaran kebencian dan hoaks memiliki dampak yang tidak hanya terbatas pada tindakan pidana, tetapi juga dapat merusak struktur masyarakat, khususnya dalam konteks moderasi beragama. Oleh karena itu, para pemuda sebagai pendakwah diharapkan memiliki kemampuan untuk merancang konten dakwah yang menarik, inovatif, dan kreatif, sambil tetap mematuhi prinsip-prinsip dalam bermedia sosial. Salah satu prinsip tersebut adalah kehati-hatian saat menerima informasi, dengan melakukan pemeriksaan terhadap sumber, kebenaran, waktu, dan lokasi (Qustulani et al., 2019, p. 175). Langkah-langkah tersebut dianggap sangat penting sebagai tindakan antisipatif terhadap penyebaran informasi ujaran kebencian dan hoaks.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun