Tuhan menjawab doa kami yang tengah cemas menunggu pengumuman masuk perguruan tinggi negeri waktu itu. Bagaikan angin yang datang berhembus mengurai kekeringan. Ketegangan yang sedari tadi memenuhi udara rumah kami pun seketika terusir oleh hadirnya rasa syukur. Saat itu saya memeluk ibu menangis terharu dan di situ saya melihat ayah sujud tersungkur—jarang saya melihat beliau meneteskan air mata. Alhamdulillah diterima, begitu pikir saya.
Libur yang sangat panjang pun tiba. Inilah libur terlama sepajang saya hidup. Sebelum saya beranjak ke Yogyakarta dan tidak pulang untuk waktu yang lama, saya pun berniat menghabiskan waktu bersama beberapa teman seperjuangan. Mulai saat itu, sering sekali kami membuat janji dan pergi bersama.
Tidak terasa waktu libur berjalan begitu cepat. Rasanya daun yang jatuh ke tanah karena angin pun belum sampai, namun kedamaian ini telah usai. Sadar akan hal itu, saya memacu diri saya untuk lebih sering bertemu dengan mereka, teman seperjuangan saya, sebelum akhirnya kami berada di jalan masing-masing. Dua minggu lagi, pikir saya. Dalam dua minggu tersebut, saya pun menghabiskan waktu bersama teman-teman seolah-olah kami tidak akan bertemu kembali untuk selama-lamanya. Pulang larut pun menjadi sebuah rutinitas pada saat itu.
Suatu sore ketika saya hendak pulang ke rumah. Waktu menunjukan pukul lima, dan angkot yang saya naiki belum juga berangkat. Saya duduk di kursi kecil dekat pintu. Tidak sampai semenit saya melamun, perhatian saya tertuju pada seorang wanita yang hendak menyebrang jalan. Wanita itu membawa banyak sekali bungkusan.
Wanita itu menaiki tangga pintu angkot, duduk di dekat pintu—berhadapan dengan saya—dan menaruh bungkusan-bungkusannya itu di lantai angkot. Saat itulah saya merasa sedikit terganggu. Karena tidak mungkin bagi saya membiarkan wanita yang tengah kerepotan menjaga bawaannya untuk turun memberi jalan bagi penumpang yang turun, maka setiap kali ada penumpang turun, saya—yang juga duduk di dekat pintu—harus mengalah untuk turun memberi jalan bagi penumpang tersebut, kemudian naik kembali.
Untungnya itu tidak berlangsung lama, karena sebentar saja, angkot yang saya naiki sudah berada di depan komplek tempat saya tinggal. Saya turun, memberikan beberapa lembar uang pada supir dan kendaraan itu pun berlalu. Saya merasa lega, karena akhirnya saya bisa turun. Tidak terbayang berapa lama lagi saya harus menggerutu dalam hati karena bungkusan-bungkusan yang menghalangi jalan itu.
Saya sampai di rumah pukul enam sore, bertepatan dengan waktu maghrib. Di rumah saya hanya mendapati ayah dan dua adik saya yang tengah duduk-duduk menikmati acara televisi di sore hari. Saya lihat-lihat, ibu saya belum datang. Memang ibu saya seringkali menjadi orang rumah terakhir yang mencapai rumah—jika saya pulang awal. Waktu menunjukan pukul delapan, ibu saya pulang membawa beberapa makanan untuk kami makan bersama. Rasa letih yang menguasai diri membuat saya terlelap lebih dahulu, dan bangun malam hari karena lapar, untuk memakan makanan yang sejak pukul delapan tadi sudah ada di meja makan.
Keesokan harinya, seluruh orang rumah sudah pergi pagi-pagi. Tinggalah saya di rumah. Beberapa kali memeriksa ponsel, akhirnya muncul juga pesan dari salah satu teman SMA saya,
“Jam 9 ada acara? Mau nemenin gak?”
Setelah mengetahui tujuannya, saya pun menyanggupi.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Setelah shalat isya, saya pun berpamitan. Di tempat yang sama, di dalam angkot yang tengah menunggu penumpang, wanita itu terlihat kembali. Setelah saya perhatikan ternyata ada beberapa orang dalam angkot yang juga terlihat terganggu kenyamanannya akan kehadiran wanita tersebut. Bungkusan yang dibawanya terlalu banyak, pikir saya.