Aku menangkap ucapannya, hanya saja perasaanku yang sedang kacau ini membuatku kehabisan kata-kata.
"Kalau anda tidak bisa berlaku demikian, maka lebih baik anda gantikan saya berbaring di sini.." katanya sembari menunjuk mayat yang tertutup kain putih itu. "Tidak akan ada yang akan mengandalkan anda. Anda akan lepas dari segala posisi yang menurut anda melelahkan. Terbaring dan kaku.."
Aku tercengang mendengarnya. Namun sekali lagi, aku kehabisan kata-kata. Hanya saja, berkali-kali aku meminta maaf atas segala perlakuanku.
Tiba-tiba aku terbangun, adzan shubuh membangunkanku. Ternyata aku sudah kembali berada di kursi, dan bukan di dalam kamar mayat. Kulihat pintu kamar mayat tertutup rapat. Aku berdiri dan mencoba membukanya, ternyata dalam keadaan tidak terkunci. Aku pun beranjak pergi menuju musholla seolah tak terjadi apa-apa. Di tengah dzikirku, aku mendengar suara langkah seseorang berlari-lari dan berhenti di depan pintu musholla. Orang itu diam cukup lama sampai akhirnya aku berdiri dan berbalik badan. Orang itu adalah ayahku yang berdiri sambil menggenggam sebungkus kopi.
"Perasaan bapak gaenak, jadi bapak kesini setelah menitipkan adik ke tetangga.." katanya dengan raut wajah  yang penuh syukur karena tidak ada hal buruk menimpa anaknya. "Di pos ada air hangat, kita bisa menyeduh kopi.. Udaranya dingin" dia pun tersenyum.
Aku berjalan pelan menghampirinya, mencium tangannya, kemudian memeluknya. Satu hal yang tak pernah kusadari, ternyata selama ini kami saling mengandalkan. Dan aku rasa itulah yang terpenting.
-TAMAT-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H