"Ada yang harus saya ceritakan pada anda.." katanya.
Dia pun berdiri, memintaku untuk mengikutinya masuk ke dalam kamar mayat yang berada di belakang kami. Mau-tidak mau aku pun mengikutinya masuk. Di dalam, kami berdiri di hadapan sesosok mayat yang tertutup kain putih dan terbaring kaku di atas kasur. Membuat rasa takut dan bingung bercampur menjadi satu.
"Dulu saya mengalami hal yang sedang anda alami sekarang.." katanya tiba-tiba kepadaku.
Karena masih dalam kebingungan, aku tak membalas ucapannya, melainkan hanya menunggu ia berbicara kembali.
Dia pun melanjutkan, "menjadi seorang yang terus-menerus diandalkan memang terkadang terasa tidak enak.. saat itu, pikiran untuk lepas dari semua itu, saya rasa merupakan pemikiran terbaik yang saya miliki.."
Di tengah rasa kebingungan, aku pun mulai memahami maksudnya. Rasa takut yang sempat aku rasakan tadi, mendadak hilang.
"Percayalah... Pemikiran itu ternyata sama sekali bukan pemikiran yang baik.." katanya lagi. "Aku menyadarinya ketika pada akhirnya aku terpuruk jatuh, menjadi seorang yang sama sekali tidak dapat diandalkan lagi.. Sampai akhir hidup saya..."
Setelah sepenuhnya memahami maksud pria ini, perlahan-lahan perasaan takut mulai muncul kembali. Ini bukan perasaan takut yang sama dengan saat aku bertemu dengan orang ini. Kehadirannya membuatku memahami suatu hal dan hal itulah yang membuatku takut.
"Jangan sampai, Â di suatu waktu nanti, saya menjadi cerminan bagi anda..." katanya kemudian.
Itulah yang kupahami.. Perasaan takut pun bercampur dengan perasaan bersalah. Sekali lagi, terbayang raut muka ayahku yang terlihat begitu kecewa sore itu. Terbayang juga kata-kataku yang setelah kupikir-pikir, cukup kasar untuk membuat orang terluka hatinya.
Di tengah renunganku, pria ini kembali berkata, "setelah pertemuan ini jadilah selalu orang yang dapat diandalkan.."