Mohon tunggu...
Afifah Mazaya
Afifah Mazaya Mohon Tunggu... Koki - Blogger

Environmental enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Well-Behaved" Bukan Soal Kasta

13 Januari 2020   23:55 Diperbarui: 15 Januari 2020   02:00 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Apa perkataan dosen yang masih kalian ingat sampai sekarang?"

Hari ini, Twitter booming dengan nostalgia masa kuliah. Mengenang perkataan dosen.

Aku juga mempunyai ingatan mengenai perkataan dosen yang masih terngiang, tapi bukan dari dosen favoritku. Perkataan dosen favoritku justru nggak ada yang betul-betul terngiang. Hanya saja, ketika mengingat beliau, otakku seperti memutar video tanpa suara. Penuh kenangan dalam ketenangan.

Aku masih ingat ketika aku hendak meminta tanda beliau. Saat itu, musim pembagian rapor. Anak beliau pun demikian. Karena itu, aku diminta datang ke sekolah anak beliau. 

Setelah aku sampai, ternyata beliau nggak bisa keluar. Pembagian rapornya pakai sistem apalah yang nggak memungkinkan beliau keluar. Aku pun menunggu di depan sekolah. 

Memakai seragam+atribut dari tempat kuliah yang biasa saja. Di depan sekolah terkenal yang lulusannya banyak masuk perguruan tinggi yang "wah". Rasanya campur aduk.

Kalau dosen lain yang meminta menunggu dalam keadaan seperti itu, mungkin perasaanku nggak akan campur aduk. Perasaanku mungkin cuma 1: kesal.

Namun, karena beliau yang meminta, entah kenapa masih ada rasa senang. 

Aku bahkan kepikiran mungkin aku akan kena marah dosen lain setelah itu, tapi yah, tetap saja aku masih bisa kalem menunggu dosen favoritku itu.

Begitu beliau datang, rasanya mungkin seperti melihat pujaan hati. Aku belum tahu rasanya melihat pujaan hati seperti apa, sih, tapi sepertinya begitu.

Beliau memang dosen paling lembut. Dan, justru karena kelembutannya membuatku ingin taat aturan. 

Soal atribut, misalnya. Aku bisa saja nggak memakai atribut ketika datang ke sekolah itu. Toh, di luar kampus. Tapi aku justru ingin menunjukkan yang terbaik. 

Dan, bukan aku saja yang merasa beliau baik banget. Setidaknya, teman-teman seangkatanku berpendapat demikian.

Saking baiknya, ketika ada kabar adik tingkat dikeluarkan dari kelas beliau, kami cukup heran.

Dalam pandangan kami, beliau adalah dosen terakhir yang akan mengeluarkan mahasiswa dari kelas. 

Hal yang terpikirkan olehku adalah mahasiswa itu melakukan hal yang benar-benar di luar toleransi. Entah apa.

Seseorang yang biasa lembut tiba-tiba bersikap sebaliknya, tergolong sesuatu yang ... mengerikan, 'kan?

Sebelumnya, memang sudah muncul desas-desus soal manner. Jurusanku memang agak disiplin soal manner. Bukan "agak", sih. Memang keharusan.

Lalu, terkait angkatan tertentu, muncul isu hahwa mereka agak bikin mengehela nafas.

Sekarang, mengingat hal itu lagi, lalu melihat perilaku orang-orang yang maunya "santai saja", "nggak usah formal banget", "jangan kaku bangetlah", mungkin akan banyak yang dikeluarkan dari kelas kalau dunia ini adalau kampus jurusanku. Bahkan dari kelas dosen favoritku.

Memang selow santai konon bisa meleburkan jarak, tapi nggak begitu juga konsepnya. 

Sepertinya, PR banget urusan adat kebiasaan ini.

Contoh yang paling banyak mungkin urusan mengirim e-mail. Formal dan nonformal masih banyak yang bias. 

Jiwa SKSD juga aku rasa perlu pertimbangan ulang. Penggunaan kata "kamu" mungkin tampak bisa membuat hubungan formal menjadi lebih santai. Namun, nggak semua orang mau di-"kamu-kamu"-kan.

Sopan santun kadang-kadang dinilai sebagai pengekang. Menurutku, sopan santun termasuk common sense. Perilaku baik nggak ada hubungannya dengan pengekangan. 

Well-behavior bisa menjadi timbal balik baik juga bagi diri sendiri.

Contohnya dosenku itu. Dosen yang baik banget. Saking baiknya, bikin nyaman semua mahasiswa. Kalau mahasiswa angkatanku nggak ada yang pernah bermasalah dengan beliau, aku rasa itu karena memang ingin menghargai beliau. Bukan karena takut seperti akibat dari ruling by fear. 

Pun, aku yang hatinya belum bersih-bersih banget ini, sama sekali nggak kepikiran mengata-ngatai beliau walau sudah diminta menunggu sambil panas-panasan di depan sekolah terkenal. Kalau orang lain yang meminta menunggu, entahlah.

Hal-hal semacam cara bersikap mungkin perlu dibiasakan dari rumah, ya. Yang pertama, melalui contoh, tentunya.

Tapi, kalaupun di rumah bebas, tetap saja perlu ada saatnya muncul reminder untuk well-behaved. Supaya ingat bahwa di luar sana manusia beragam. Jadi, semua orang perlu perlakuan setara. Setara yang bagaimana? Setara yang baik.

Misal, di rumahku. Mungkin orang bisa terkejut mendengar cara kami memanggil masing-masing. Tapi, selalu ada reminder untuk nggak berbuat aneh-aneh. Sounding yang sering itu hasilnya tampak ketika di luar rumah. Dan, karena dilakukan bukan ala diktator, jadi menerapkannya pun terasa biasa saja seperti hal umum.

Walau begitu, mungkin ada saatnya kami agak absurd di luar. Kalau kejadian seperti itu, tolong diingatkan, ya.

Di era rebahan, mungkin makin banyak yang ingin serba santai. Termasuk cara berperilaku terhadap orang lain. 

Namun, bersikap sopan bukan berarti nggak santai. Bukan juga jiwa kompeni. 

Sikap sopan justru bisa meleburkan jarak. Karena, kita nggak bisa langsung mengenal masing-masing orang. Kita juga nggak tahu apa yang dialami orang itu. Kalau dibahas, ini bisa makin panjang.

Yang pasti, well-behaved adalah bentuk penghargaan terhadap diri sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun