Tahapan-tahapan seperti ini mencerminkan proses pembentukan kebudayaan yang berkarakterkan "mempertahankan budaya lama yang masih baik dan mengambil budaya baru yang lebih baik." Pengembangan kebudayaan harus didukung oleh individu-individu yang mau mengembangkannya (Tilaar, 2007).
Pendidikan berbasis nilai-nilai budaya ini tidak berangkat dari ruang kosong. Perjalanan sejarah kebudayaan Bugis-Makassar menjadi saksi bisu betapa masyarakat telah menjalani, menghayati, dan mempraktekkan sistem pendidikan berbasis budaya lokal.Â
Wujud konkret produk pendidikan berbasis budaya lokal ini dapat dilihat pada kesenian lokal, tradisi, dan adat-istiadat yang masih dipertahankan dari generasi ke generasi.Â
Proses tranmisi dari generasi ke generasi ini sehingga nilai-nilai budaya tetap bertahan dalam rentangan waktu yang panjang adalah praktek pendidikan yang paling substantif.Â
Karena, kata Jean Peaget, individu akan terus berkembang dari sejak lahir dan terus berkembang, dan pada saat yang sama dunia pendidikan bertanggungjawab mendorongnya ke nilai-nilai budaya (nilai sosial, intelektual, moral).
Informasi yang tidak berbatas (borderless information) dalam situasi yang seperti ini terjadilah proses lintas budaya (trans cultural) serta silang budaya (cross cultural) yang kemudian mempertemukan nilai-nilai budaya yang satu dengan yang lainnya.Â
Pertemuan nilai-nilai budaya, atau disebut kontak budaya (cultural contact), dapat menghasilkan dua kemungkinan; pertama, pertemuan tanpa menghasilkan nilai-nilai baru yang bermakna disebut dengan asimilasi (assimilation), serta kedua, pertemuan yang membuahkan nilai-nilai baru yang bermakna disebut akulturasi (acculturalization).
Baca juga: Pendidikan Era Revolusi Industri 4.0 di Tengah Covid-19
Di dalam konteks kebudayaan nasional, globalisasi itu bukan sesuatu yang menakutkan namun justru membuka peluang untuk menciptakan kemajuan kebudayaan yang positif; meski globalisasi itu sendiri tidak bebas dari unsur-unsur negatif. Untuk mengantisipasi itu bangsa Indonesia memiliki pedoman yang disebut "Teori Trikon", yang terdiri dari tiga komponen sbb: Kontinuitas, melanjutkan budaya para "leluhur" bangsa yang mengandung nilai-nilai positif; Konvergensi, membuka peluang bagi budaya manca untuk berakulturasi dengan budaya Indonesia; dan Konsentrisitas, hasil pertemuan budaya manca dengan budaya Indonesia hendaknya dapat menghasilkan budaya (nilai-nilai) baru yang bermakna (Supriyoko, 2003:5).
Jika kita ingin  memisahkan pendidikan dari kebudayaan merupakan suatu kebijakan yang merusak kebudayaan sendiri, malahan menghianati keberadaan proses pendidikan sebagai proses pembudayaan. Nilai-nilai pendidikan ditransmisikan dengan proses-proses acquiring melalui inquiring. Jadi proses pendidikan bukan terjadi secara pasif atau untuk determined tetapi melalui proses interaktif antara pendidikan dan peserta didik. Proses tersebut memungkinkan terjadinya perkembangan budaya melalui kemampuan-kemampuan kreatif yang memungkinkan terjadinya inovasi dan penemuan-penemuan budaya lainnya, serta asimilasi, akulturasi dan seterusnya.
Pendidikan Era Revolusi Industri