Keragaman budaya telah mempengaruhi bangsa ini dalam memahami pentingnya budaya bahari. Budaya bahari hendaknya dipahami sebagai cara atau pola pikir sekelompok masyarakat yang menetap di wilayah pesisir dengan memiliki cara pandang tertentu tentang religi (pandangan hidup), bahasa, seni, mata pencaharian, organisasi, pengetahuan dan teknologi.Â
Melalui analogi dari tujuh unsur budaya, ketujuh unsur tersebut diarahkan pada pemberdayaan dan sumber daya kelautan untuk pertumbuhan dan dinamika masyarakat yang menetap di wilayah perairan, pesisir.Â
Bagi masyarakat pesisir, sikap hidup dasar masyarakat tersebut adalah memiliki atau menganggap bahwa laut merupakan sumber daya untuk kelangsungan, pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karenanya, masyarakat pesisir di wilayah Indonesia memiliki cara pandang tertentu terhadap sumber daya laut dan persepsi kelautan.Â
Melalui latar belakang budaya yang dimiliki oleh masyarakat pesisir, muncul suatu tradisi untuk menghormati kekuatan sumber daya laut. Tradisi tesebut lazimnya diwujudkan melalui ritual, yang bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur karena alam melalui sumber daya laut telah memberikan kelimpahan serta rejeki dalam kelangsungan hidup mereka.
Orang Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis, Makassar dan Mandar, sejak dahulu kala dikenal sebagai pelaut dengan etos bahari yang tinggi.Â
Masyarakat nelayan suku Bugis-Makassar telah mengembangkan kemampuannya menjadi masyarakat nelayan yang tertata pada suatu sistem sosial kemasyarakatan dengan orientasi kebudayaan kepada laut sebagai sarana dalam rangka aktivitas kehidupan mereka maupun dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan laut yang tergambar dalam kehidupan masyarakatnya yang mampu mengembangkan kemampuan dalam bidang pelayaran penangkapan ikan, teknologi pelayaran, usaha perdagangan dan aturan-aturan hukum dibidang perdagangan.Â
Nelayan merupakan salah satu komunitas di Sulawesi Selatan yang kondisi realitasnya sampai saat ini mengelola, memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hayati laut berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya melalui pegunaan teknologi cara (soft ware technology) maupun teknologi alat (hard ware technology) yang bersifat partisipatif, assosiatif, analogik dan orientif yang melembaga serta dipertahankan melalui pengendalian sosial (social control) oleh setiap warganya.
Oraganisasi nelayan Bugis dan Makassar dikenal dengan istilah punggawa-sawi. Punggawa adalah mereka yang memiliki modal (perahu dan alat tangkap), pengetahuan dan kekuasaan. Sedangkan sawi adalah mereka (nelayan) yang tidak memiliki apa-apa, kecuali tenaga.Â
Berdasarkan statusnya, punggawa terdiri atas dua macam, yaitu punggawa posasi (pemimpin di laut) dan punggawa pottana (pemimpin di darat) atau biasa disebut pappalele.Â
Punggawa posasi atau dalam komunitas nelayan lebih populer disebut punggawa saja, adalah pemimpin dalam kegiatan operasional penangkapan ikan di laut. Ada kalanya punggawa posasi tidak memiliki perahu dan alat tangkap, sehingga mereka menggunakan perahu dan alat tangkap dari pappalele, sedangkan punggawa pottana (pappalele) adalah pemilik modal, baik berupa peralatan (termasuk perahu) maupun finansial (biaya operasional pengkapan).Â
Dalam kedudukannya sebagi pemimpin dan pemilik modal, punggawa pottana tidak langsung dalam kegiatan operasional penangkapan ikan. Akan tetapi dia mengangkat punggawa posasi (yang tidak mempunyai perahu) untuk memimpin kegiatan operasional penangkapan ikan di luat.Â
Pekerjaan sehari-hari punggwa pottana adalah memasarkan hasil tangkapan nelayan, sehingga punggawa pottana lebih populer disebut pappalele dalam komunitas nelayan.Â
Pappalele berasal dari kata lele yang berarti pindah dan mappalele berarti meindahkan. Jadi arti harfiah pappalele adalah orang yang meindahkan ikan dari tangan nelayan ke tangan pedagang pengecer atau konsumen.Â
Propesi pappalele umumnya dilakukan oleh istri nelayan atau orang diluar anggota kerabat. Ada dua jenis pappalele, yaitu pappalele yang terikat dengan punggawa posasi dan pappalele yang tidak terikat (bebas dan mandiri).Â
Organisasi punggawa-sawi tidak hanya dikenal dalam kegiatan nelayan pancing dan nelayan pappukaq, tetapi hampir seluruh bentuk aktivitas penangkapan yang dilakukan oleh nelayan, misalnya nelayan paqgae, nelayan pappukaq, nelayan panjala, nelayan paroppo dan sebagainya.Â
Oragnisasi punggawa-sawi yang ada pada setiap bentuk aktivitas penangkapan pada prinsipnya sama, bedanya biasanya terletak pada pappalelenya. Oleh karena khusus pada nelayan pancing yang menangkap ikan tuna atau ikan karang pada umumnya merupakan komoditas ekspor, sehingga pappalelenya merupakan pemodal besar. Biasanya dia yang menanggung biaya operasional penangkapan, kaadang kala pula dia sebagai pemilik perahu dan alat tangkap. Berbeda dengan nelayan panjala yang hasil tangkapannya rata-rata merupakan konsumsi lokal, sehingga pappalelenya rata-rata dari istri punggawa posasi itu sendiri.
Untuk suksesnya kegiatan organisasi penangkapan ikan, anggota (sawi) yang direkrut oleh punggawa pada umumnya memiliki hubungan kekerabatan dengan punggawa itu sendiri. Misalnya anak, kemenakan, ipar, menantu, dan sebagainya. Kalau hal itu tidak ada, maka baru mencari di luar kerabat.seperti tetangga atau orang lain dalam kampung itu sendiri. Demikian pula dengan pappalele, biasanya lebih cenderung menjalin hubungan organisasi kenelayanan dengan punggawa bila memiliki hubungan kekerabatan.Â
Prioritas untuk merekrut anggota kerabat dimaksudkan adalah untuk memberi pekerjaan agar anggota kerabatnya tersebut mempunyai penghidupan ekonomi untuk keluarganya.Â
Semua sawi dalam organisasi kenelayanan, baik nelayan pancing maupun nelayan pappukaq tampaknya tidak mengenal spesialisasi pekerjaan dan senioritas, sehingga sawi dinyatakan sama statusnya, baik yang berusia muda maupun yang berusia tua. Demikian pula pendapatan dan imbalan yang mereka terima atas satus dan pekerjaannya juga sama.
Hubungan emosional antara punggawa dan sejumlah sawi tidak hanya didasarkan pada hubungan-hubungan fungsional berdasarkan pekerjaan, tetapi juga berkaitan dengan hubungan sosial. Interaksi sosial yang intens dan cukup kuat diantara mereka (punggawa-sawi) , apalagi ada hubungan kekerabatan di antara mereka.Â
Kegiatan pekerjaan senantiasa dilakukan secara kolektif melalui gotong royong disertai dengan canda dan tawa. Sifat individu dan perasaan untuk "menang sendiri" hendaknya dibuang jauh-jauh karena akan mengganggu keharmonisan dalam perahu. Tolong menolong, bantu membantu dan kerja sama dalam kegiatan penangkapan sudah menjadi hal biasa danrutin dilakukan.Â
Hal ini terbawa pula pada kehidupan sosial diantara keluarga-keluarga mereka di darat. Artinya hubungan punggawa-sawi ini tidak hanya berkaitan dengan urusan pribadi mereka dalam kegiatan penangkapan ikan berlanjut pula pada hubungan-hubungan sosial di darat, bukan hanya pada personal punggawa dan para sawi, tetapi melibatkan seluruh keluarga mereka. Hubungan sosial yang tampak atas keterlibatan keluarga-keluarga mereka akan terlihat bila mana di antara mereka ada yang melakukan hajatan, seperti perkawinan, kelahiran bayi, kematian dan sebagainya.
Kelembagaan punggawa-sawi dalam masayarkat nelayan, kelompok kerja biasanya sekaligus berperan mengatur berbagai kegiatan, baik dalam proses-prose produksi, distribusi maupun konsumsi.Â
Dalam masyarakat nelayan Bugis, Makassar dan Bajo dari Sulawesi Selatan misalnya, kelompok punggawa --sawi yang disamping mengtur pembagian dan menyerap tenaga kerja, juga sekaligus berperan sebagai lembaga perolehan modal (menyerupai fungsi koperasi), sebagai pasar, penyelesaian urusan utang piutang, menetapkan aturan bagi hasil, dan bahkan berperan sebagai wadah sosialisasi kelompok dan jaminan-jaminan sosial ekonomi nelayan.
Catatan: Materi perkuliahan Antr
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H