Musim terus berganti, panas . . . hujan . . . angin . . . mengiringi jalannya hari. Sama halnya siang yang berganti malam, detik demi detik berganti jam dan begitulah seterusnya. Namun tidak dengan cinta Mita terhadap keluarga satu-satunya yang ia miliki Rasminah atau yang kerap disapa Mbok Rasmi.
Pagi ini cuaca terlihat mendung, nampak sosok wajah berada di depan jendala usang di dalam sebuah gubuk tua. Dengan posisi tubuh yang duduk menyender dikursi, kedua tangan bengkok, jemari tidak beraturan, dan mulut yang tak tertutup rapi. Ia mengamati orang-orang yang sedang beraktivitas di luar.Â
Ya, ia adalah mbok rasmi, nenek mita yang cacat akibat kecelakaan yang dialami di masa lalu. Kecelakaan yang terjadi 6 tahun lalu itu saat mita umur 14 tahun yang mengakibatkan syarafnya mati, hingga ia tidak dapat berbicara dan tubuhnya lumpuh.
Tak lama pintu kamar mandi terbuka dan mita terlihat sedang bersiap untuk bekerja. 5 tahun sudah ita mulai bekerja untuk mempertahankan hidup dan membiayai berobat mbok rasmi, karena mita tidak memiliki siapa-siapa kecuali mbok rasmi. Sering kali mita menceritakan kisah Ibu Kartini sebagai idolanya sebelum berngkat kerja kepada neneknya. "Nek, mita berangkat kerja dulu ya...", ucap mita sembari membawa mbok rasmi ke tempat tidur dan meminumkan segelas teh hangat kepadanya.
Mita: "Nanti jam istirahat mita balik ke rumah bawa makan siang untuk nenek."
Setelah mencium tangan neneknya mita bergegas keluar dari rumah dan berangkat kerja.
Dengan penuh kasih sayang mita merawat mbok rasmi selama ini, mulai dari menyuapi makan, memberikan minum, memandikan, sampai menggantikan baju terus ia lakukan.
Waktu menunjukkan pukul 12 siang, mita kembali ke rumah bersama teman dekatnya dara.
Mita: "Nenek... mita pulang, makan dulu ya nek."
Begitu telatennya mita merawat neneknya, ia menyuapinya makan sesendok demi sesendok. Tak ayal dara begitu terharu melihat pemandangan indah itu.
Selesai sudah jam istirahat, tandanya mita harus kembali ke tempat kerjanya. Sembari berjalan menuju ke tempat kerja mita, dara bercerita kepada mita. "Aku begitu terharu melihatmu dengan nenekmu ta' ", ucap dara melirik kagum ke arah mita.
Dara: "Ohya ta', sejak kapan kamu hanya tinggal bersama dengan nenekmu?"
Mita: "sejak dulu ra'. Dulu... pasca aku saat kecil. Aku, ayah, ibu, dan nenek tinggal bersama. Tapi ayah dan ibuku meninggal saat aku berumur kurang lebih 7 tahun, waktu itulah hanya nenek keluarga yang aku punya. Pada saat usiaku 14 tahun, nenek mengalami kecelakaan yang membuatnya seperti ini, untuk itu aku merawat nenek sampai sekarang."
Dara nampak sangat terharu mendengar cerita mita. Memang terkadang kita dipaksa berkompromi dengan keadaan dan menenggelamkan rasa keangkuhan. Namun semua terasa ringan manakala semua dilandasi dengan ketulusan.
Hari pun berganti, kini pagi siap menyapa kembali. Sejak subuh tadi mita terlihat sibuk mengerjakan pekerjaan rumah, sampai sekarang menunjukkan pukul 7 pagi. Mita terlihat kelelahan, ketika ia duduk di kursi depan rumah tiba-tiba ia dikejutkan dengan sosok yang ia lihat.Â
Sosok wanita cantik tengah berjalan kearahnya. Dengan memakai kebaya dan kain putih wanita itu nampak sangat bercahaya. "Ne... ne... nenek", ucap mita terbata-bata. Mita tertegun dan tak percaya melihat neneknya tiba-tiba normal dan bisa berjalan. Neneknya nampak sangat cantik seperti muda kembali.Â
Mita sama sekali tidak percaya dengan apa yang ia lihat, dia hanya terdiam dan tertegun. Neneknya berhenti tepat di depan mita, dengan mata yang sangat jernih ia tersenyum dan mengusap, membelai rambut mita. Neneknya, mbok rasmi memberikan selembar kertas kepada mita dan kemudian berjalan masuk ke kamar rumah. Mita terdiam beberapa menit, dan tanpa menghiraukan kertas pemberian neneknya mita berlari menuju kamar.
Namun ia mendapati neneknya sudah terbujur kaku meninggal dalam kondisi tetap cacat. Sontak tangisan mita pecah, mita memeluk, menggoyang-goyangkan tubuh neneknya, berharap neneknya dapat terbangun.
3 hari telah berlalu, mita masih nampak sedih atas kepergian neneknya. Waktu seperti dipaksa untuk berlalu dan hanya menyisakan masa lalu.Â
Seketika mita teringat dengan selembar kertas pemberian neneknya. Ia pun berharap itu bukan sebuah khayalan atau mimpi, dan terbukti mita menemukan kertas itu. Dengan menangis tersedu ia membacanya.
Surat Nenek:
"Cucuku sayang... Mita Tyas Ibas.. nenek sangat menyayangimu. Ketulusan adalah namamu. Sering kau menceritakan kisah Ibu Kartini sebagai pahlawan perempuan Indonesia untuk nenekmu ini, bagi nenek kaulah pahlawan yang sebenarnya.
Kini nenek pergi untuk berkumpul dengan ayah dan ibumu, nenek juga segera akan bertemu Tuhan. Maka akan nenek mohonkan surga untukmu"
Berderai air mata mita membacanya, mita tersadar... Bagaimana neneknya menulis ini dengan keadaan lumpuh seperti itu???
Kertas surat itu adalah kertas cinta yang tertulis dengan pena kasih sayang, dan tangan-tangan ketulusanlah yang menggerakkannya.
Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H