Isu merger Flexi - Esia sebetulnya sudah menjadi topik basi, karena isunya sudah terlempar sejak 2008 lalu. Namun belakangan menjadi hangat kembali setelah Meneg BUMN, Dirut Telkom dan Dirut Bakrie Telecom kembali angkat bicara, dan yang paling gres ketika Serikat Karyawan Telkom menggelar aksi demo yang makin memanas. Jika ingin punya masa depan yang lebih cerah, tidak banyak pilihan bagi Flexi, kecuali konsolidasi. Banyak pasangan yang bisa dilamar, dan Esia adalah salah satu yang terbaik. Perkawinan Flexi dan Esia sebaiknya dilakukan segera, agar nasib buruk Flexi tidak terulang kembali.
Tentang Flexi
Flexi mulai turun ke pasar tahun 2003. Pada awal pertumbuhannya Flexi bergerak sangat agresif. Bagaimana tidak, sejak kemunculannya hingga akhir 2005 Flexi telah mencatat jumlah pelanggan sebanyak 4,1 juta, atau 8,0% dari total pelanggan seluler waktu itu yang baru mencapai 51,5 juta. Mengesankan memang, karena pada saat itu Telkomsel baru mengoleksi pelanggan sebanyak 24,2 juta (47,1%), Indosat mengantongi 14,5 juta (28,1%), XL baru 7 juta (13,6%), Fren baru 1,1 juta (2,1%), dan pesaing utamnya Esia hanya membukukan 486 ribu pelanggan (0,9%).
Namun sayang, langkah Flexi yang agresif terhenti, karena tahun 2006 boleh dikata sebagai tahun kelabu bagi Flexi. Bayangkan saja, dalam setahun Flexi hanya mengumpulkan 114 ribu pelanggan, dan hanya membangun 83 BTS baru. Nasib buruk tersebut nampaknya terkait dengan permasalahan Direksi Telkom waktu itu yang banyak dipanggil kejaksanaan karena berbagai kasus, dan bahkan isu di koran menyebutkan, tim direksi kurang kompak. Lebih celaka lagi, di saat Flexi tidur, justru industri seluler mengalami pertumbuhan emas, bahkan Esia membukukan jumlah pelanggan 1,5 juta, tentu jumlah ini cukup impresif bagi pemain baru yang berumur 2 tahun.
Tahun 2007 langkah Flexi belum pulih sepenuhnya, karena masih dibayang-bayangi oleh kewajiban dari Pemerintah untuk migrasi frekuensi dari 1900 ke 800 MHz, khususnya untuk area Jabotabek dan Jabar. Baru mulai 2008 Flexi mulai tancap gas supersonik. Promo-promo besar mulai berseliweran di televisi dan billboard. Luar biasa memang, terbukti di akhir tahun Flexi mencatat penambahan bersih pelanggan baru sebanyak 6,3 juta, sehingga Flexi berhasil membukukan 12,7 juta pelanggan. Tahun 2009 agresifitas Flexi sedikit terganggu karena langkah Direksi Telkom yang melepaskan unit pengelola Flexi sebagai divisi yang mandiri. Alhasil, di akhir tahun Flexi membukukan jumlah pelanggan sebanyak 15,1 juta. Tahun ini, Flexi kembali dibayangi isu merger dan akuisisi. Mampukah Flexi meraih target jumlah pelanggan 18 juta di akhir tahun? Kita lihat saja nanti.
Flexi menutup tahun 2009 dengan pelanggan sejumlah 15,1 juta, meliputi prabayar 14,5 juta dan paska bayar 649 ribu. Jumlah tersebut naik dari angka tahun 2008 sebanyak 12,7 juta dan tahun 2007 sebanyak 6,4 juta. Sesuai release media, saat ini Flexi mempunyai 16,2 juta. Flexi telah menempatkan investasi BTS sampai akhir 2009 sebanyak 5.543 dengan potensi kapasitas 27,6 juta. Jumlah tersebut naik dari tahun 2008 sebanyak 4.054 dan tahun 2007 sebanyak 1.911. Sedangkan jumlah BTS saat ini diperkirakan mencapai 5.600. Mengenai data keuangan Flexi relatif tidak terbuka, karena masih berada di bawah laporan keuangan Telkom.
Tentang Esia
Merk dagang dari grup Bakrie ini mulai masuk pasar pada tahun 2004, meskipun lisensi nasional baru didapat Esia pada pertengahan 2007. Terjun ke lantai bursa pada Febrauri 2006, dengan kode BTel. Selama debutnya di lantai bursa, saham Esia relatif tidak bergerak, angkanya berkutat antara Rp. 150-500, bahkan pada akhir 2008 sempat jatuh ke angka batas bursa Rp. 51, meskipun di awal tahun itu telah melakukan rigths issue sebesar Rp. 3 triliun.
Sejak awal kemunculannya, Esia komitmen pada model bisnis yang mereka sebut budget operator, yang dijabarkan dalam 5 elemen utama yaitu: sederhana dan murah, terjangkau dan memberikan value for money, merek yang dikenal dan dipercaya, komposisi pelanggan yang seimbang, dan terakhir adalah biaya modal dan operasi yang efisien. Dengan model bisnis ini, seluruh strategi Esia dieksekusi dengan efisiensi tinggi.
Sejalan dengan model bisnisnya, Esia mengusung misi untuk menyediakan konektifitas informasi yang berkualitas dengan harga terjangkau. Sebagai bagian dari misi dan model budget operator, Esia menerapkan teknologi CDMA 2000 1x, dengan alokasi frekuensi 800 MHz, persis sama dengan Flexi. Pengembangan alat produksi difokuskan pada area-area 'gemuk'. Produk dikemas dalam konsep sederhana, mudah dan terjangkau.
Esia dikenal sebagai merek yang sangat agresif dan kreatif, berani dalam berbagai inovasi marketing. Di awal kehadirannya, Esia menawarkan konsep baru talktime, sebagai ganti konsep pulsa yang sudah dikenal luas. Selanjutnya Esia menawarkan tarif flat Rp. 50 per menit. Tahun 2006 Esia mendulang sukses besar, setelah melempar handset bundling super murah Rp. 300 ribu, yang mendobrak pasar sekaligus menciptakan persepsi baru, bahwa telepon itu murah dan semua orang bisa bertelepon. Aksinya terus berlanjut dan semakin menggila sampai tahun 2008, dengan paket handset seharga Rp. 199 ribu berbagai pilihan tema seperti ngoceh, hidayah, Imlek, merdeka, slank dan seterusnya. Inovasi berikutnya antara lain tarif SMS Rp. 1 per karakter. Namun sayang, inovasi ini nampaknya disambut dingin-dingin saja oleh pasar.
Di akhir 2009 Esia telah membukukan jumlah pelanggan sebanyak 10,6 juta, tumbuh dari tahun 2008 sebanyak 7,3 juta dan tahun 2007 sebanyak 3,8 juta. Sedangkan saat ini jumlah pelanggan telah mencapai angka 11,1 juta. Pendapatan usaha tahun 2009 sebesar Rp. 3,436 triliun, naik dari tahun 2008 sebesar Rp. 2,805 triliun dan tahun 2007 sebesar Rp. 1,672 triliun. Laba bersih tahun 2009 sebesar Rp. 98 miliar, turun dari tahun 2008 sebesar Rp. 137 miliar dan tahun 2007 sebesar Rp. 144 miliar. Total asset sebesar Rp. 11,426 triliun, naik dari posisi 2008 sebesar Rp. 8,456 triliun, dan 2007 sebesar Rp. 4,664 triliun. Jumlah BTS yang telah terpasang di akhir 2009 sebanyak 3.677, naik dari posisi 2008 sebanyak 2.772, dan tahun 2007 sebanyak 1.200. Jumlah BTS saat ini diperkirakan mencapai 4.000.
Kenapa Perlu Konsolidasi
Operator seluler Indonesia memang harus melakukan konsolidasi. Beberapa alasan yang memaksa proses konsolidasi sebagai berikut. Pertama, jumlah operator terlalu banyak. Sebelas operator merupakan jumlah yang sangat besar dibandingkan negara lain. Thailand, dan India punya 5; Australia dan Filiphina punya 4; Malaysia, Korea dan Cina hanya 3 operator. Kedua, tarif terlalu murah. Persaingan yang maha dahsyat telah terjadi di Indonesia. Salah satu dampak yang langsung dirasakan adalah tarif telepon yang jatuh bebas. Tarif telepon di Indonesia kini telah menjadi salah satu tarif termurah di Asia, relatif sama dengan Hongkong, dan jauh di atas India, Thailand, Malaysia dan Korea. Tarif murah di Indonesia tentunya kurang masuk akal, mengingat saat ini Indonesia masih dikenal sebagai salah satu negara dengan biaya ekonomi tinggi. Tentu saja tarif murah menguntungkan pelanggan, namun sebaliknya tarif murah telah mengakibatkan kesehatan operator pada kondisi memprihatinkan. Oleh karenanya, wajar jika saat ini banyak operator yang belum menikmati keuntungan memadai. Ketiga, market-leader telah menguasai pasar secara mutlak. The big three, Telkomsel, Indosat dan XL menguasai market-share sekitar 78 %, sedangkan 8 operator lainnya hanya kebagian 22 %. Dengan kondisi demikian, tentunya efisiensi usaha menjadi milik market-leader, sedangkan operator kecil yang tidak memperoleh skala ekonomi yang memadai menjadi kepayahan. Jadi, konsolidasi memang menjadi opsi serius bagi para operator kecil.
Analisis terhadap lansekap kompetisi saat ini, jumlah operator ideal adalah 5-7. Dari jumlah ini, 4 sampai 6 adalah operator GSM, sedangkan 1 atau 2 adalah operator CDMA. Smart dan Fren telah mengawali langkah konsolidasi dengan brand baru SmartFren, meskipun baru berbentuk sinergi jaringan dan pemasaran. Kandidat berikutnya adalah Three, Axis, Ceria, Flexi dan Esia. Dengan mengesampingkan kompleksitas proses merger-akuisisi, beberapa alternatif konsolidasi dapat dicoba sebagai berikut: XL bergabung dengan Axis, Indosat bergabung dengan SmartFren dan Esia, Telkomsel bergabung dengan Flexi.
Bagi Flexi, konsolidasi merupakan keharusan. Beberapa alasan yang sangat penting sebagai berikut. Pertama, Market-share Flexi 8%! Kondisi kompetisi terbaru telah menghapus diferensiasi antara GSM dan CDMA. Flexi harus sadar bahwa market-share-nya hanya 8% (dibandingkan dengan total pasar seluler), bukan 56% (dibandingkan dengan pasar CDMA). Dengan market-share yang hanya berkisar 8%, dan coverage area bersifat nasional (tidak fokus), Flexi tidak memperoleh skala ekonomi yang cukup, dan pastinya sulit mencapai efisiensi biaya. Alhasil, sulit bagi Flexi untuk meraih keuntungan yang memadai, baik jangka pendek atau pun jangka panjang.
Kedua, Teknologi CDMA 2000 1x. Meskipun CDMA 2000 1x bisa berkembang menuju EVDO dan seterusnya bisa masuk ke Wimax seri m, namun roadmap teknologi CDMA tidak secerah dan sepopuler GSM, yang saat ini mantap masuk ke lingkungan LTE. Teknologi CDMA juga tidak mendapat dukungan seluas GSM, baik dari vendor handset atau pun switching. Model handset yang saat ini semakin modis dan pintar sulit diikuti oleh CDMA. Beberapa vendor switching juga kabarnya membatasi pengembangan produk. Pelanggan CDMA global tidak naik, justru kecenderungannya turun. Singkat kata, teknologi CDMA akan selalu berada di bawah kelas GSM.
Ketiga, kanal frekuensi. Flexi menempati frekuensi 800 dengan lebar kanal 5 MHz. Berbeda dengan Telkomsel dan Indosat yang menggenggam kanal 40 MHz (2G dan 3G), kanal Flexi yang relatif sempit membuat ekspansi pelanggannya terbatas, kecuali jika mendapat tambahan kanal dari Pemerintah.
Sama seperti Flexi, konsolidasi bagi Esia juga merupakan keharusan. Alasan kedua dan ketiga di atas tetap relevan bagi Esia. Untuk alasan pertama, kondisi Esia lebih buruk lagi. Market-share Esia hanya 5.5%, tentu lebih sulit bagi Esia untuk menghasilkan untung. Buktinya, dari 2004 sampai 2009 Esia hanya mencatat untung bersih berturut-turut -298, -144, 73, 144, 137 dan 98, bahkan semester 1 tahun ini hanya mencatat untung 2,7 miliar rupiah. Esia juga tidak seberuntung Flexi yang mendapat dukungan infrastruktur, SDM dan pengalaman yang kuat dari Telkom. Sedangkan kabar baiknya, biaya operasional Esia lebih efisien, terutama karena infrastruktur hanya difokuskan di lokasi-lokasi gemuk.
Merger Flexi - Esia.
Pilihan pasangan merger-akuisisi memang tidak semudah dikertas, karena masalah ini sangat komplek. Untuk Flexi, selain opsi merger dengan Esia bisa juga masuk ke dalam Telkomsel. Opsi menjual Flexi kepada investor asing bukanlah pilihan bagus, karena tetap saja Flexi tidak mampu memberi keuntungan kepada investor baru, kecuali jika investor tersebut telah merencanakan integrasi bisnis baik vertikal maupun horisontal. Bagi Esia, opsi konsolidasi jauh lebih bebas dan terbuka, namun yang lebih realistis adalah merger dengan Flexi atau masuk ke dalam XL.
Meskipun bukan pilihan terbaik, merger Flexi dengan Esia merupakan pilihan yang sangat baik, paling tidak karena beberapa pertimbangan berikut. Pertama, keduanya memiliki basis teknologi yang sama, yaitu CDMA dengan dudukan frekuensi 800. Dengan kesamaan ini, jaringan Flexi dan Esia dapat diintegrasikan secara maksimal, sekaligus memegang lisensi kanal frekuensi yang lebih lebar. Kedua, peningkatan market-share. Merger keduanya manghasilkan jumlah pelanggan sekitar 28 juta. Angka ini akan mendekati XL dan Indosat yang semuanya di bawah 40 juta, dengan demikian kompetisi baru akan menjadi seru diantara ketiga operator. Ketiga, sinergi sumber daya yang positif. Telkom sebagai perusahaan induk Flexi telah dikenal memiliki kekuatan infrastruktur, SDM dan pengalaman. Sebaliknya, Esia dikenal dengan efisiensi yang tinggi, inovasi, dan kelincahan marketing. Mitra dealer Flexi pada umumnya pengusaha kuat, sebaliknya mitra dealer Esia pada umumnya kelas menengah dan kecil. Sinergi dan integrasi hal-hal tersebut dipastikan memberi kekuatan yang luar biasa.
Setiap proses merger-akuisisi selalu menimbulkan pro-kotra, positif-negatif. Begitu juga rencana merger Flexi dengan Esia, disamping hal-hal positif di atas, rencana tersebut juga berdampak hal-hal negatif yang harus diantisipasi atau diselesaikan, antara lain sebagai berikut. Pertama, resistensi karyawan. Salah satu media nasional telah mengumumkan Telkom sebagai perusahaan idaman tahun 2009. Tentu saja hal ini menimbulkan kebanggaan bagi seluruh karyawan Telkom. Penghargaan ini juga mengisyaratkan karyawan Telkom telah mencapai kesejahteraan yang didambakan banyak orang. Dengan posisi yang tinggi semacam ini, tentu sangat berat bagi mereka jika bergabung dengan Esia. Untuk itu, panitia merger harus mampu menawarkan formula yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Kedua, posisi tawar. Flexi memiliki pelanggan sebanyak 16.2 juta, sementara Esia 11.1 juta. Esia leading di Jabotabek dan Jabar, sementara Flexi leading di area lainnya. Sejauh ini keduanya menjadi rival terdekat dan bertempur keras di lapangan. Esia dimiliki konglomerat grup Bakrie yang perkasa, sementara Flexi dimiliki grup Telkom yang kuat di industri. Dengan kondisi demikian, posisi tawar keduanya relatif sepadan, sehingga proses negosiasi menjadi seru.
Ketiga, menghadapi isu praktek monopoli, persaingan tidak sehat, dan korupsi (PP no.57/2010, UU No.5/99 Pasal 28 & 29). Isu ini telah dimunculkan oleh BRTI, Mastel dan KPPU. Meskipun cenderung prematur dan kurang esensial, namun isu tersebut perlu disikapi. Isu monopoli dan persaingan tidak sehat sulit dibuktikan, karena pasar seluler telah menyatu dan tidak lagi tersegmentasi berdasarkan teknologi GSM dan CDMA, seperti awalnya. Dengan demikian merger Flexi dengan Esia hanya menghasilkan market-share gabungan berkisar 13.5 %. Isu korupsi juga lemah, karena sejauh ini Telkom telah mengakuisisi banyak perusahaan kecil, dan juga melepas penyertaan saham pada berbagai perusahaan.
Jangan Tunda
Analisis di atas menunjukkan bahwa merger Flexi dan Esia akan memberi harapan baru bagi pertumbuhan 'Flesia' di masa mendatang, apa pun model integrasinya, baik share swap, merger atau akuisisi. Dari ketiga hambatan di atas, hanya kesatu dan kedua yang memerlukan cukup waktu untuk penyelesaian, sedangkan isu monopoli dan korupsi dapat segera selesai. Bagi Pemerintah dan BRTI, merger ini merupakan langkah positif, karena mengarah kepada konsolidasi untuk menciptakan iklim investasi industri telco yang lebih kondusif.
Dengan alasan tersebut, alangkah baiknya jika proses merger Flexi dengan Esia dapat segera dituntaskan, dan jangan ditunda-tunda. Proses merger yang terlalu lama dapat menimbulkan beberapa hal negatif, antara lain: keresahan karyawan yang makin memuncak; investasi alat produksi yang tertunda; kekuatan kompetisi makin melemah; market-share keduanya semakin ditinggal oleh XL dan Indosat. Semoga hal ini tidak terjadi lagi, karena kondisi yang hampir serupa telah dialami Flexi di tahun 2006 (www.myusuf298.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H