Setiap proses merger-akuisisi selalu menimbulkan pro-kotra, positif-negatif. Begitu juga rencana merger Flexi dengan Esia, disamping hal-hal positif di atas, rencana tersebut juga berdampak hal-hal negatif yang harus diantisipasi atau diselesaikan, antara lain sebagai berikut. Pertama, resistensi karyawan. Salah satu media nasional telah mengumumkan Telkom sebagai perusahaan idaman tahun 2009. Tentu saja hal ini menimbulkan kebanggaan bagi seluruh karyawan Telkom. Penghargaan ini juga mengisyaratkan karyawan Telkom telah mencapai kesejahteraan yang didambakan banyak orang. Dengan posisi yang tinggi semacam ini, tentu sangat berat bagi mereka jika bergabung dengan Esia. Untuk itu, panitia merger harus mampu menawarkan formula yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Kedua, posisi tawar. Flexi memiliki pelanggan sebanyak 16.2 juta, sementara Esia 11.1 juta. Esia leading di Jabotabek dan Jabar, sementara Flexi leading di area lainnya. Sejauh ini keduanya menjadi rival terdekat dan bertempur keras di lapangan. Esia dimiliki konglomerat grup Bakrie yang perkasa, sementara Flexi dimiliki grup Telkom yang kuat di industri. Dengan kondisi demikian, posisi tawar keduanya relatif sepadan, sehingga proses negosiasi menjadi seru.
Ketiga, menghadapi isu praktek monopoli, persaingan tidak sehat, dan korupsi (PP no.57/2010, UU No.5/99 Pasal 28 & 29). Isu ini telah dimunculkan oleh BRTI, Mastel dan KPPU. Meskipun cenderung prematur dan kurang esensial, namun isu tersebut perlu disikapi. Isu monopoli dan persaingan tidak sehat sulit dibuktikan, karena pasar seluler telah menyatu dan tidak lagi tersegmentasi berdasarkan teknologi GSM dan CDMA, seperti awalnya. Dengan demikian merger Flexi dengan Esia hanya menghasilkan market-share gabungan berkisar 13.5 %. Isu korupsi juga lemah, karena sejauh ini Telkom telah mengakuisisi banyak perusahaan kecil, dan juga melepas penyertaan saham pada berbagai perusahaan.
Jangan Tunda
Analisis di atas menunjukkan bahwa merger Flexi dan Esia akan memberi harapan baru bagi pertumbuhan 'Flesia' di masa mendatang, apa pun model integrasinya, baik share swap, merger atau akuisisi. Dari ketiga hambatan di atas, hanya kesatu dan kedua yang memerlukan cukup waktu untuk penyelesaian, sedangkan isu monopoli dan korupsi dapat segera selesai. Bagi Pemerintah dan BRTI, merger ini merupakan langkah positif, karena mengarah kepada konsolidasi untuk menciptakan iklim investasi industri telco yang lebih kondusif.
Dengan alasan tersebut, alangkah baiknya jika proses merger Flexi dengan Esia dapat segera dituntaskan, dan jangan ditunda-tunda. Proses merger yang terlalu lama dapat menimbulkan beberapa hal negatif, antara lain: keresahan karyawan yang makin memuncak; investasi alat produksi yang tertunda; kekuatan kompetisi makin melemah; market-share keduanya semakin ditinggal oleh XL dan Indosat. Semoga hal ini tidak terjadi lagi, karena kondisi yang hampir serupa telah dialami Flexi di tahun 2006 (www.myusuf298.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H