[caption id="attachment_178314" align="alignleft" width="100" caption=""][/caption]Namun saya malah tak menemukan peristiwa ini saat wisuda S1 dulu. Padahal wisudawan S2 yang menangis tak hanya Bapak itu, tapi saya juga melihat pada seorang Ibu. Dia menunduk terus menahan tangis.
Oleh: Mochamad Yusuf*
Saat wisuda, terdengar isak tangis dari deretan bangku wisudawan. Istri dan Zidan, anak saya, yang duduk di deretan bangku undangan mencari-cari siapa gerangan yang menangis itu. Ternyata seorang Bapak menundukkan kepalanya, terus terisak-isak selama acara wisuda.
Bapak ini kemungkinan adalah guru, karena dia menempuh magister pendidikan. Dan kebanyakan memang sudah tua. Saya jarang menemukan mahasiswa pasca pendidikan yang muda. Muda artinya umurnya di bawah 30 tahun, dan untuk tua sebaliknya. Mungkin kebetulan, saya tak bertemu.
Agak aneh juga peristiwa ini. Mengapa Bapak itu menangis? Apakah dia begitu bersyukur karena akhirnya dia mencapai gelar master? Atau tak ada keluarga yang mendampinginya? Atau orang tua atau seseorang yang telah mendukung dan mendorongnya pencapaian gelar master selama ini, justru malah tak hadir mendampingi? Atau jangan-jangan menangis, karena berpikir bagaimana membayar hutang biaya pendidikannya ini? (Hehehe. Pertanyaan yang terakhir sangat ngawur).
Ya, saya merasa aneh. Karena saya pikir pencapaian gelar S2 tak seberat saat pencapai gelar S1. Menangis syukur tak seharusnya dilakukan saat wisuda S2. Tapi justru seharusnya di wisuda S1.
Namun saya malah tak menemukan peristiwa ini saat wisuda S1 dulu. Padahal wisudawan S2 yang menangis tak hanya Bapak itu, tapi saya juga melihat pada seorang Ibu. Bahkan saat ke panggung menerima tanda lulus dan inisiasi pemindahan tali toga oleh Rektor sepertinya tak dihiraukan. Dia menunduk terus samnbil menahan tangis.
Selain peristiwa wisudawan menangis, ada peristiwa lain yang membedakan wisuda S1 dan S2 saya, yakni siapa yang mendampingi saya saat wisuda.
Bila saat wisuda S1 saya didampingi keluarga secara lengkap. Ada Bapak, Ibu dan kedua adikku. Berlima dan ditemani teman yang mengabadikan momen istimewa itu, kita berdesakan di Angguna, mobil angkutan umum, yang dikemudikan Bapak. Berangkat persiapan cukup dan perasaan ceria.
Lain saat wisuda S2 ini. Saya hanya berempat: saya sendiri, istri dan kedua anakku. Ibu yang sebenarnya sudah saya beritahu lama, ternyata di saat-saat terakhir tak bisa mendampingi. Sedang Bapak sudah lama meninggal. Adik? Semuanya sudah berkeluarga. Tentu repot kalau mau ikut, karena pasti anak-anaknya akan ikut juga.
Berempat kita menaiki mobil sedan mewah meski tahun lama. Sudah pesertanya sedikit dan kecil-kecilnya, di dalam mobil sangat lapang. Meski begitu, suasananya tak seceria sewaktu berimpitan di Angguna dulu. Karena, ya namanya anak-anak, berangkat harus ribut sana-ribut sini. Juga harus tergesa-gesa berangkat ke hotel tempatnya wisuda. Ribet dulu pokoknya.
Dalam perjalanan menuju ke tempat wisuda, saya tersenyum-senyum sendiri. Ternyata kendaraan tak mempengaruhi suasana. Rasanya lebih ceria saat naik Angguna dulu.
Mungkin itu, karena pencapaian gelar sarjana pertama bagi saya. Juga pertama bagi keluarga (yang kemudian adik juga mengikuti jadi sarjana). Dan tentu saja kebanggaan bagi Bapak, bahwa meski hanya sopir angkutan umum tapi ternyata berhasil menyekolahkan sampai ke tingkat tinggi.
Meski begitu, saya bersyukur karena saya bisa mengalami peristiwa sama (wisuda) namun dengan nuansa yang berbeda. Entah, nanti kalau saya bisa wisuda lagi (mimpi kalee), apakah ada cerita lain.. [PURI, 21/3/2012 siang]
~~~
Tulisan iseng ini hanya memperingati, ternyata saya bisa melewati juga keprihatinan babak II ini. Tujuan tulisan ini untuk memberi semangat anak-anak saya untuk selalu belajar. Semoga kelak Zidan dan Zelda membaca tulisan ini. Tulisan-tulisan tentang ini bisa anda ikuti di serial ‘Master of Facebook’.
~~~
*Mochamad Yusuf adalah magister komunikasi yang meneliti tentang Facebook. Karenanya dijuluki temannya sebagai Master of Facebook. Dia adalah online analyst, pembicara publik, host radio, pengajar sekaligus praktisi TI. Aktif menulis dan beberapa bukunya telah terbit. Anda dapat mengikuti aktivitasnya di personal websitenya, http://yusuf.web.id atau di Facebooknya, http://facebook.com/mcd.yusuf.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H