[caption caption="Makam Riyanto"][/caption]
TUBUH Riyanto seorang muslim taat itu terpental, berhamburan terkoyak akibat letupan teror bom yang terjadi di Gereja Eban Haezer Kota Mojokerto yang sedang beribadah di malam natal.
Berdasarkan laporan dari lapangan, sisa-sisa tubuh pria anggota Banser NU (Barisan Serbaguna Nahdatul Ulama) yang berpartisipasi mengamankan malam Natal itu, baru ditemukan beberapa jam setelah kejadian, sekitar 100 meter dari pusat letupan. Jari dan wajahnya hancur, Ia pun mati seketika menjadi martir harga sebuah toleransi.
Kejadiannya bermula, pada pukul 20.30 seorang jemaat menaruh curiga pada sebuah bingkisan yang tergeletak tak bertuan di depan pintu masuk gereja.
Riyanto seorang pria yang lahir 25 tahun silam tepatnya 23 November 1975, coba memberanikan diri membuka bingkisan dengan kantong plastik hitam itu di hadapan petugas pengamanan gereja, termasuk seorang polisi.
Setelah membuka isi bingkisan dimaksud tampak menjulur sepasang kabel yang tiba-tiba muncul percikan api. Anak dari pasangan suami-istri Sukarmin dan Katinem itu, langsung berteriak sigap.
“Tiaraaaapp!” pekiknya
Sontak terjadi kepanikan jama'at berlarian setelah sebelumnya sempat khusyuk beribadah melantunkan senandung doa misa di malam Natal.
Bukan malah melarikan diri dari posisi tas yang dicurigai berisi bom itu, Riyanto justru bergegas mengamankannya, untuk dilemparkan ke tempat yang lebih jauh dari jemaat. Namun seketika bom meledak dalam pelukan Riyanto sebelum sempat di lempar.
Setidaknya dua hal yang bisa kita petik dari kisah heroik Riayanto yang terjadi pada malam Natal tepatnya 24 Desember 2000 dimaksud di atas.
PERTAMA. Betapa mahalnya kemajemukan sebagai modal bangsa. Aksi heroik Riyanto menunjukkan kesadaran tak terbantahkan akan hal itu, sehingga ia mencoba menggagalkan kelompok yang coba mengoyaknya meskipun nyawa taruhannya.