Maka hemat kami, sah-sah saja dan baik sekali Presiden memberi sumbangan, meringankan beban ibu pedagang warteg tersebut namun sebaiknya Presiden harus tetap menjadi negarawan bukan relawan, penyelesai masalah, mengayomi dan menjadi penengah bagi semua kepentingan. Hal yang sama juga kita harapkan bagi publik netizen agar lebih arif melihat masalah ini.
Tanpa toleransi, sikap berkorban untuk kepentingan bersama maka sulit sekali bangsa yang bernama Indonesia ini didirikan dan dipertahankan. Bahkan dalam sejarah, umat Islam secara umum sudah menunjukan pengorbanan besar itu dengan ikhlas membiarkan sila pertama "Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" karena pertimbangan kemajemukan di ubah menjadi "Ketuhanan yang maha esa" sebab itu kami sepakat dengan Cak Nur, bahwa sikap tersebut justru kemenangan bagi umat Islam karena mereka mampu tetap bertauhid sekaligus menjadi negarawan, toleran dan mengedepankan persatuan dalam kemajemukan.
Kelima, Sebagai penutup. Reaksi netizen tak berhenti dengan keceman dan membuat meme yang kesannya memojokan dan bahkan ditarik keranah politis. Upaya lain netizen dengan menggalang dana dari masyarakat. Terakhir berhasil terkumpul Rp 265.534.758 dan kabarnya sudah diberikan kepada bu Eni si penjual warteg itu. Ditambah bantuan Presiden lewat utusannya memberikan Rp 10 juta. Ini bukan jumlah yang kecil, dibandingkan penghasilan seorang penjual nasi sekelas warteg.
Mungkin memang sudah rejeki bu Eni, bak durian runtuh dibulan ramadan. Kita tidak perlu iri. Namun pertanyaannya adalah bagaimana dengan pedagang lain yang juga barang dagangannya disita? Di lain tempat mungkin? Apakah mereka lantas mendapatkan bantuan juga? Baik dari Netizen maupun Presiden? Apakah justru aksi penggalangan dana ini malah kontraproduktif? Lagi pula biar bagaimanpun, terlepas eksekusi Perda tersebut dinilai berbagai pihak bermasalah dan kaku.
Namun harus dengan jujur kita katankan, Ibu Eni sudah melanggar Perda tersebut karena berjualan makanan pada saing hari, tentu melalui mekanisme yang ada Satpol PP hanya menjalankan tugas dilapangan.
Dan harus mengambil tindakan. Alih-alih bu Eni bukan mendapatkan hukuman, malah diberikan bantuan dengan jumlah yang besar. Secara pribadi kami menyebutnya bukan bantuan tetapi hadiah karena jumlahnya yang besar, tidak sebanding dengan kerugian yang diderita akibat penyitaan tersebut. Meskipun berita terakhir yang kami peroleh, uang tidak diberikan semua ke bu Eni karena alasan tertentu dan termasuk menjawab pertanyaan diatas, sebagian akan dibagikan kepada penjual lainnya meski jumlahnya tidak sebesar bu Eni.
Namun bagi kami tetap saja hal ini memiliki kemiripan dengan pristiwa penghina Pancasila kemudian diangkat jadi duta Pancasila. Orang yang melanggar peraturan lalu lintas kemudian memerahi Polantas ketika hendak ditilang malah dijadikan duta anti narkoba. Meskipun perumpamaan kemiripan diatas tidak sepenuhnya sama karena bisa jadi banyak masyarakat yang menyumbang itu tulus, sekedar hanya ingin meringankan beban bu Eni.
Kini isu mulai bergulir keranah berbau SARA. Entah kelompok mana yang memulai. Yang pasti dari pantauan kami kelompok yang merasa terpojok akan reaksi netizen tersebut, menduga hal ini bagian dari upaya delegitimasi dan pelemahan Perda yang berbasis agama atau Syaria. Belum lagi kelompok netizen yang mainstrem dengan calon kandidat DKI Jakarta menjadikan kejadian ini sebagai pembahasan atau katakanlah isu kampanye, sehingga menambah panasnya pristiwa ini, coba ditarik-tarik pihak tertentu keranah politik dan ujung-ujungnya SARA.
Menurut kami ini sangat mengkhawatirkan dan kontraproduktif dengan nilai toleren dan kemajemukan kita. Dan kemudian saat yang bersamaan dihubungkan pula dengan beberapa Perda Syari'a dibeberapa daerah "diduga" telah dicabut Presiden karena alasan bertentangan dengan peraturan diatasnya dan kalau ini benar, hal ini menguatkan dugaan diatas. Berbagai spekulasi kemudian muncul belakangan ini.
Diduga semua ini by design atau sudah diatur, ada hidden agenda. Kami juga menyadarinya, resah kalau-kalau itu benar adanya maka sekali lagi kami berani bertaruh dalangnya adalah kelompok sekuler. Bukan kelompok agama manapun.
Melainkan kelompok yang memiliki sejumlah project sekularisasi kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Musuh semua agama. Kelompok yang ingin menghilangkan peran agama dalam kehidupan sosial dan memenjarakan agama tersebut sebatas ditempat-tempat ibadah saja, dalam wilayah privat semata. Harus disadari hal ini bagian dari strategi mencabik-cabik persatuan umat beragama di Indonesia, permulaan dari apa yang disebut perang proxy (proxy war). Ini perang ideologi dan budaya.