Mohon tunggu...
Muhammad Yulian Mamun
Muhammad Yulian Mamun Mohon Tunggu... Dosen - Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Antasari Banjarmasin

Tinggal di Banjarmasin, alumni KMI 2006. Menulis tentang sejarah, wisata, ekonomi & bisnis, olahraga dan film.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lagu Rinto untuk Pak Sahal

22 April 2020   12:27 Diperbarui: 22 April 2020   12:43 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KH Ahmad Sahal. Sumber: github.io/tribute-gontor

Pagelaran seni akbar "Panggung Gembira" di Pondok Pesanten Gontor Ponorogo berakhir menjelang tengah malam. Para santri pun beranjak ke asrama masing-masing karena besok keabrek kegiatan sudah menunggu. Pesantren ini hampir tidak ada waktu kosong, karena dalam kamus mereka istirahat bukanlah diam tapi pergantian satu pekerjaan ke pekerjaan lain. "Ar rahatu fi tabaduli al a'maal", demikian ujar sebuah perkataan hikmah dari negeri Arab yang menempel di dinding asrama.

Namun sekelompok remaja tanggung masih bergeming di atas panggung. Mereka adalah santri kelas 6 (setingkat kelas 3 SLTA) yang menjadi shohibul hajat, panitia, penyelenggara, event organizer, sekaligus penampil dalam pentas itu. Sudah menjadi tradisi bahwa di akhir acara akan ada evaluasi dan penilaian dari pimpinan pondok terhadap penyelenggaraan acara. Kiai pimpinan pondok di akhir penilaian akan memberikan semacam angka rapor untuk pagelaran ini. Angka 10 adalah nilai paripurna dan jadi idaman.

Jeritan nada gitar, alunan khusyuk seruling atau tabuhan energik rebana bukan hal yang aneh di Pesantren Gontor. Seni adalah salah satu media pendidikan yang diyakini para kiainya dapat membentuk karakter dan akhlak santri. Pagelaran seni selalu diadakan setiap awal tahun ajaran baru untuk mengajarkan kreativitas dan kemandirian. 

Bahkan santri yang memang tidak berbakat seni tetap diikutsertakan dalam pentas, meski 'hanya' berupa peran kecil di panggung ataupun tugas di belakang layar. Mereka bahu-membahu dari fase penggalian dana, penyusunan format acara, pembangunan background yang gigantik, hingga penampilan di depan penonton. Program pembentukan karakter ini sudah ada sejak pesantren berdiri tahun 1926, jauh sebelum jargon pendidikan karakter digaungkan.

Sebelum membacakan hasil penilaian, Kiai Hasan, salah satu pimpinan pondok mengajak para santri kelas 6 bersama menyanyikan lagu "Ayah".

Di mana ... akan kucari
Aku menangis, seorang diri
Hatiku, slalu ingin bertemu
Untukmu, aku bernyanyi

Beberapa detik kor dadakan ini berjalan tanpa musik, seorang santri cepat tanggap bergegas menggapai keyboard buatan Jepang di tengah panggung. Iringan nada pun membersamai lagu yang pertama kali dirilis band The Mercy's tahun 1975 tersebut. Suasana bertambah syahdu hingga sampai ke bait:

Ayah dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi



Rona wajah Kiai Hasan berubah sembab. Tampak ia berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah. Berjuta kenangan tercurah dalam lagu ciptaan maestro pop pentolan The Mercy's Rinto Harahap ini.

Lagu ini seolah membawa memori Kiai Hasan kembali ke masa silam, saat ayahnya, KH Ahmad Sahal berpulang ke hadirat Ilahi. Perpisahan ini semakin sendu karena Kiai Hasan muda tidak bisa menemani ayahandanya di detik-detik terakhir, bahkan tak dapat menyaksikan jenazahnya masuk ke liang lahat.

Amplop Putih

KH Ahmad Sahal adalah salah satu pendiri pesantren Gontor bersama dua adiknya: KH Zainudin Fanani dan KH Imam Zarkasyi. Trio ini kemudian dikenal dengan "Trimurti", tiga serangkai yang tak terpisahkan. Sejak wafatnya Kiai Fanani tahun 1960, dua sosok yang tertinggal, Pak Sahal dan Pak Zar bahu-membahu memimpin pondok ini. Selain "Kiai", "Pak" adalah panggilan kehormatan dari para santri untuk mereka. Bagi santri, Kiai adalah orang tua kedua, selain bapak ibu yang telah melahirkan mereka.

Pada hari Kamis, 7 April 1977, kondisi kesehatan makin Kiai Sahal menurun. Ia hanya bisa tergolek lemah di pembaringan. Beliau merasa dirinya berada di penghujung usia dan meyakini akan menemui ajal dengan segera. Maka putra-putrinya yang berada di berbagai daerah dipanggil pulang ke desa Gontor, tak terkecuali Hasan Abdullah Sahal yang waktu itu masih kuliah di Mesir.

ngopibareng.id | KH Ahmad Sahal & KH Imam Zarkasyi Gontor
ngopibareng.id | KH Ahmad Sahal & KH Imam Zarkasyi Gontor
Waktu berlalu hingga Jum'at malam, Pak Sahal masih menanti kedatangan Hasan.

"Saya sudah diuluk salam oleh dua sosok putih-putih. Mereka mengajakku, tapi aku belum mau karena masih menunggu Hasan," akunya kepada sanak famili termasuk Kiai Imam Zarkasyi yang duduk mendampingi, seperti yang dikutip dari buku Trimurti: Menelusuri Jejak, Sintesa dan Genealogi Berdirinya Pondok Modern Darussalam Gontor. Sanak famili di sekelilingnya tidak ada yang melihat sosok itu. Bisa jadi itu adalah penampakan dari malaikat yang bertugas untuk menjemput beliau menuju keabadian.

Keesokan sore, beliau kembali kedatangan tamu, "Nah, dua orang tadi sudah datang lagi. Dan aku sudah tidak bisa lagi menolak. Sudahlah, aku akan bersiap-siap."

Karena Hasan belum datang juga, maka beliau mengamanatkan wasiat khusus kepadanya yang ditulis dalam sebuah amplop putih. Tidak ada yang tahu isinya selain Hasan seorang. Pesan personal juga disampaikan secara lisan langsung kepada Kiai Zarkasyi, "Pak Zar, nanti yang mangku masjid, Hasan," ucapnya sambil sedikit berkeringat dan menggumam zikir.

"Ya, ya... baik Pak Sahal," sahut adik sekaligus rekan seperjuangannya itu.

Maka setelah pesan tersampaikan, Kiai Sahal pun wafat pada hari Sabtu, 9 April 1977 meninggalkan pondok, para ustadz dan santri dalam gelayut awan melankolis. Pemuda Hasan datang beberapa hari kemudian. Kedatangannya hanya disambut hampa dan sunyi. Sosok ayahanda sudah bersemayam di alam baka. Sungguh sebuah kesedihan mendalam, namun pemuda Hasan tidak mau larut dalam duka. Semua yang berasal dari Allah akan kembali kepada-Nya.

Aktivitas pondok pun kembali berjalan riuh rendah seperti biasa. Meski ada sesuatu yang hilang, namun roda kehidupan santri tetap berputar. Jika boleh berandai, Kiai Sahal di barzakh pun mungkin tidak senang jika pondok larut dalam kesedihan berlebih karena kematiannya.

Sesuai dengan pesan almarhum ayahnya, Hasan muda (waktu itu belum menjadi kiai) menjadi pembina Mesjid Jami' Gontor sampai sekarang. Kiai Zarkasyi dengan penuh kearifan dan kerendahan hati menjadi makmum di belakang keponakannya setiap shalat Jum'at hingga wafat tahun 1985. Sebuah teladan dakwah bil-hal yang patut dicontoh oleh kita yang masih muda.

Sepeninggal Pak Zar, era baru Gontor generasi kedua dimulai dengan penunjukan KH Abdullah Syukri Zarkasyi, putra Kiai Zarkasyi, KH Hasan Abdullah Sahal dan KH Shoiman sebagai pimpinan pondok. Dua nama pertama, hingga saat ini masih menjadi nakhoda berjalannya pesantren yang telah berusia 94 tahun ini.

***

Cover dvd The Mercy's. Sumber: .tokopedia.com/cantika07
Cover dvd The Mercy's. Sumber: .tokopedia.com/cantika07
Sebuah lagu dapat memiliki kekuatan yang dahsyat bagi jiwa manusia. Hal ini karena musik adalah wujud ekspresi perasaan seseorang yang tertuang dalam jalinan nada yang bisa menyentuh emosi dan kesadaran. 

Sebuah lagu dapat membuat orang gembira, tertawa, menangis dan merenung, sesuai misi yang dibawanya. Lagu "Ayah" ini memang memiliki tempat khusus di benak pecinta musik Indonesia. Temanya dekat dengan kehidupan kita semua, membuatnya tetap eksis selama beberapa dekade, meski setiap generasi memiliki selera musiknya sendiri-sendiri.

Khusus bagi Kiai Hasan, lagu ini bukanlah pembawa pilu. Ia adalah obat kerinduan dan pengingat pada para pendahulu. Seakan ia ingin mengirim pesan kepada para leluhur di alam sana: "the show always go on". Estafet perjuangan kalian tetap kami teruskan. Cita mulia itu harus tetap dijunjung dan diperjuangkan, meski zaman makin tak karuan.

Catatan penulis:

Ditulis untuk memperingati hari wafatnya KH Ahmad Sahal, salah satu pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, 9 April 1977. Pada bulan ini sebenarnya juga merupakan tanggal wafatnya KH Imam Zarkasyi (30 April 1985). Untuk kisah KH Zarkasyi, insya Allah akan disampaikan di lain kesempatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun