KH Ahmad Sahal adalah salah satu pendiri pesantren Gontor bersama dua adiknya: KH Zainudin Fanani dan KH Imam Zarkasyi. Trio ini kemudian dikenal dengan "Trimurti", tiga serangkai yang tak terpisahkan. Sejak wafatnya Kiai Fanani tahun 1960, dua sosok yang tertinggal, Pak Sahal dan Pak Zar bahu-membahu memimpin pondok ini. Selain "Kiai", "Pak" adalah panggilan kehormatan dari para santri untuk mereka. Bagi santri, Kiai adalah orang tua kedua, selain bapak ibu yang telah melahirkan mereka.
Pada hari Kamis, 7 April 1977, kondisi kesehatan makin Kiai Sahal menurun. Ia hanya bisa tergolek lemah di pembaringan. Beliau merasa dirinya berada di penghujung usia dan meyakini akan menemui ajal dengan segera. Maka putra-putrinya yang berada di berbagai daerah dipanggil pulang ke desa Gontor, tak terkecuali Hasan Abdullah Sahal yang waktu itu masih kuliah di Mesir.
Waktu berlalu hingga Jum'at malam, Pak Sahal masih menanti kedatangan Hasan.
"Saya sudah diuluk salam oleh dua sosok putih-putih. Mereka mengajakku, tapi aku belum mau karena masih menunggu Hasan," akunya kepada sanak famili termasuk Kiai Imam Zarkasyi yang duduk mendampingi, seperti yang dikutip dari buku Trimurti: Menelusuri Jejak, Sintesa dan Genealogi Berdirinya Pondok Modern Darussalam Gontor. Sanak famili di sekelilingnya tidak ada yang melihat sosok itu. Bisa jadi itu adalah penampakan dari malaikat yang bertugas untuk menjemput beliau menuju keabadian.
Keesokan sore, beliau kembali kedatangan tamu, "Nah, dua orang tadi sudah datang lagi. Dan aku sudah tidak bisa lagi menolak. Sudahlah, aku akan bersiap-siap."
Karena Hasan belum datang juga, maka beliau mengamanatkan wasiat khusus kepadanya yang ditulis dalam sebuah amplop putih. Tidak ada yang tahu isinya selain Hasan seorang. Pesan personal juga disampaikan secara lisan langsung kepada Kiai Zarkasyi, "Pak Zar, nanti yang mangku masjid, Hasan," ucapnya sambil sedikit berkeringat dan menggumam zikir.
"Ya, ya... baik Pak Sahal," sahut adik sekaligus rekan seperjuangannya itu.
Maka setelah pesan tersampaikan, Kiai Sahal pun wafat pada hari Sabtu, 9 April 1977 meninggalkan pondok, para ustadz dan santri dalam gelayut awan melankolis. Pemuda Hasan datang beberapa hari kemudian. Kedatangannya hanya disambut hampa dan sunyi. Sosok ayahanda sudah bersemayam di alam baka. Sungguh sebuah kesedihan mendalam, namun pemuda Hasan tidak mau larut dalam duka. Semua yang berasal dari Allah akan kembali kepada-Nya.
Aktivitas pondok pun kembali berjalan riuh rendah seperti biasa. Meski ada sesuatu yang hilang, namun roda kehidupan santri tetap berputar. Jika boleh berandai, Kiai Sahal di barzakh pun mungkin tidak senang jika pondok larut dalam kesedihan berlebih karena kematiannya.
Sesuai dengan pesan almarhum ayahnya, Hasan muda (waktu itu belum menjadi kiai) menjadi pembina Mesjid Jami' Gontor sampai sekarang. Kiai Zarkasyi dengan penuh kearifan dan kerendahan hati menjadi makmum di belakang keponakannya setiap shalat Jum'at hingga wafat tahun 1985. Sebuah teladan dakwah bil-hal yang patut dicontoh oleh kita yang masih muda.
Sepeninggal Pak Zar, era baru Gontor generasi kedua dimulai dengan penunjukan KH Abdullah Syukri Zarkasyi, putra Kiai Zarkasyi, KH Hasan Abdullah Sahal dan KH Shoiman sebagai pimpinan pondok. Dua nama pertama, hingga saat ini masih menjadi nakhoda berjalannya pesantren yang telah berusia 94 tahun ini.