Mohon tunggu...
Muhammad Yulian Mamun
Muhammad Yulian Mamun Mohon Tunggu... Dosen - Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Antasari Banjarmasin

Tinggal di Banjarmasin, alumni KMI 2006. Menulis tentang sejarah, wisata, ekonomi & bisnis, olahraga dan film.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Inspirasi Jeroan dari Tokoh Bangsa

24 Februari 2018   20:13 Diperbarui: 25 Februari 2018   10:55 1867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gus Dur. Foto: Merdeka.com

Louis Baudoin tidak merasa canggung berada di antara para pemuda-pemudi kulit hitam. Dia tampak menikmati joget dan bercengkerama meski sosoknya yang berkulit putih terlihat aneh dan jadi minoritas di ruangan itu. Momen itu terjadi sekitar tahun 1965 saat krisis rasial warna kulit masih melanda masyarakat Amerika Serikat. Krisis rasial ini memang makin memudar seiring gencarnya tuntutan hak asasi manusia dan persamaan status di era modern.

Baudoin ikut nongkrong bersama kawan-kawannya yang mayoritas kulit hitam merayakan keberhasilan tim basket kampusnya di kejuaraan nasional NCAA. Sosok berkacamata itu melahap sepiring makanan dengan nikmat. Dalam benaknya ia sendiri tidak tahu apa yang sedang disantapnya. Mungkin ini adalah salah satu makanan khas kelompok Afrika-Amerika, yang jelas rasanya begitu lezat dan belum pernah dirasakannya selama ini.

Saat memasuki suapan terakhir, tiba-tiba raut wajahnya berubah hambar saat temannya sesama anggota tim basket berseru sambil terbahak, "Tahu gak, apa yang kamu makan? Itu terbuat dari usus babi!"

Adegan dalam film Glory Road (2006) itu membuat saya baru tahu bahwa di Amerika yang sekarang terbilang negara maju makan jeroan hewan bukan sesuatu yang lazim. Saya tidak membicarakan babi yang memang haram dikonsumsi oleh muslim seperti saya. Andai usus babi yang jadi bahan utama sepiring kuliner bernama chitterlings itu diganti usus sapi, tetap saja Baudoin akan kaget.

Adegan Baudoin makan ada di menit 1:16.

Pasti Baudoin akan lebih terkejut kalau ia datang ke Indonesia. Di negara kita bukan hanya usus, tapi hampir semua bagian tubuh hewan selain daging bisa jadi makanan enak. Secara harfiah, jeroan artinya isi perut hewan. Namun istilah ini bisa digunakan juga untuk organ yang ada di bagian tubuh lain seperti kepala, kaki hingga rongga dada.

Setiap bangsa memiliki tradisi tersendiri terkait konsumsi jeroan ini. Meski ada anggapan bahwa jeroan memiliki kandungan gizi yang buruk, tidak semua memandang jeroan nirmanfaat. Misalnya ada tradisi usus sebagai pembungkus makanan seperti sosis di Barat dan mumbar di Timur Tengah. Kultur kuliner di Asia dan Afrika cukup akrab dengan jeroan. Namun sepertinya bangsa kita adalah salah satu dari kalangan yang mengangkat harkat martabat jeroan mendekati status daging pada umumnya.

Kita ambil contoh seekor ayam, bagian tubuhnya bisa disulap jadi makanan. Dari ujung kepala, leher, usus, hati, ampela hingga ceker. Yang paling fenomenal---bagi bangsa asing---mungkin adalah segumpal daging berlemak tempat tumbuh ekor di bagian pantat alias brutu dalam bahasa Jawa. Begitu pula hewan lain seperti sapi. Semakin ekstrim organ tubuhnya, semakin enak. Otak, lidah, moncong (cingur), paru, lambung (babat), usus (iso), ekor (buntut), hingga daging kenyal transparan di bagian kaki (kikil) adalah kudapan yang menggugah selera.

Mentalitas memanfaatkan jeroan inilah tanpa sadar yang membentuk pribadi Indonesia yang kreatif dan tangguh bertahan di tengah kerasnya hidup. Kiai Mas Mansoer dan Kiai Abdurrahman Wahid, dua tokoh nasional kebanggaan Indonesia adalah contoh bagaimana jeroan menolong hidup mereka saat belajar di luar negeri.

Limbah restoran favorit Mas Mansoer

Pahlawan nasional ini berangkat ke Mesir dari Mekkah pada medio 1910an. Saat itu bersamaan dengan krisis politik yang berlangsung di wilayah Hijaz, Arab Saudi. Krisis politik membuat banyak para pelajar asing yang menuntut ilmu di Mekkah pulang ke negaranya.

Kiai Mas Mansoer duduk di tengah. Foto: pwmu.co
Kiai Mas Mansoer duduk di tengah. Foto: pwmu.co
Alih-alih pulang ke Indonesia, Mansoer justru memilih melanjutkan pendidikan ke Mesir. Sayangnya ia tidak mendapat izin dari KH. Mas Achmad Marzoeq, ayahnya. Kesultanan Mesir ketika itu memang berada di bawah kendali Inggris. Tidak heran nilai-nilai Barat yang sekuler banyak memengaruhi kondisi sosial masyarakat. KH Marzoeq khawatir putranya tidak serius belajar dan hanya ingin pelesir dan bersenang-senang. Pada masa itu citra Mesir memang tidak sereligius Kota Mekkah dan Madinah yang jadi pusat pendidikan Islam. Padahal di Ibu Kota Mesir, Kairo terdapat Universitas Al Azhar yang menelurkan para ulama hebat.

Tekadnya sudah bulat untuk berangkat menyeberangi Laut Merah ke Mesir. Keberangkatan pelabuhan Jeddah berlanjut ke Kota Suez dan diteruskan hingga tibalah ia di Kairo. Tanpa restu berarti tidak ada uang saku dari tanah air. Mansoer pun hidup prihatin dan sederhana. Biaya hidup dan kuliah ia dapatkan dari bekerja paruh waktu di sela-sela waktu belajar.

Suatu hari ia melihat jeroan kambing yang dibuang di salah satu restoran kota Kairo. Di negara Arab, hanya beberapa bagian jeroan yang biasa dimakan seperti hati. Usus dan organ lain tidak lazim jadi konsumsi. Maka ia memberanikan diri untuk meminta sisa perut kambing itu ke pengurus restoran. Meski sempat bingung, restoran pun memberikannya ke Mansoer muda. Malah, pihak restoran senang karena tidak perlu repot mengurusi pembuangan limbah hewan itu. Akhirnya secara rutin Mansoer menerima limbah penuh berkah tersebut dan memasaknya untuk kebutuhan hidup.

Pulanglah ia ke tanah air pada 1915 dan menjadi salah satu tokoh pergerakan kemerdekaan nasional. Ia aktif di Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Perannya makin penting saat pendudukan Jepang hingga proklamasi kemerdekaan ketika menjadi salah satu dari Empat Serangkai bersama Sukarno, M. Hatta dan Ki Hadjar Dewantara.

Gus Dur dan 20 anjing piaraannya

Presiden Indonesia ke-4 ini memang gudang cerita yang tidak pernah habis. Kiai Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur tidak puas akan sistem pendidikan di Mesir saat ia duduk di tahun pertama Universitas Al Azhar. Singkat cerita ia berganti haluan ke Universitas Baghdad, Irak pada akhir 1960-an dan mendapat beasiswa di sana.

Gus Dur. Foto: Merdeka.com
Gus Dur. Foto: Merdeka.com
Selama tinggal di Irak, ia mengontrak sebuah rumah untuk ditinggali bersama para mahasiswa Indonesia lainnya. Total ada 20 orang termasuk Gus Dur yang tinggal seatap dan untuk memenuhi biaya sewa dan makan mereka mengumpulkan iuran. Setiap orang mendapat giliran masak setiap 20 hari sekali, sesuai jumlah penghuni rumah. Jadwal memasak Gus Dur adalah hari yang ditunggu-tunggu kawan-kawannya karena selalu ada menu istimewa yaitu gulai kepala ikan.

Hasil bergaul dengan mahasiswa dan penduduk setempat, Gus Dur tahu bahwa masyarakat Irak tidak doyan kepala ikan. Sisa kepala ikan menjadi limbah yang tidak berguna dan dibuang begitu saja di pasar.

Maka seperti Mas Mansoer yang meminta jeroan kambing kepada pengelola rumah makan untuk dijadikan lauk, begitu pula Gus Dur. Pemilik toko ikan pun heran melihat orang asing meminta kepala ikan dengan jumlah yang banyak, 20 buah.

"Saya kasih gratis, tapi buat apa sih kepala ikan sebanyak itu?"

"Untuk kasih makan anjing peliharaan saya," jawab Gus Dur.

"Memang ada berapa ekor?"

"Anjing saya ada 20 ekor," ujar Gus Dur. Dalam hati sebenarnya ia merujuk pada jumlah penghuni kontrakan.

Gus Dur pun senang bisa mengantongi 20 bahan makanan gratis. Sebelum Gus Dur beranjak pulang, pemilik toko berpesan, "Besok-besok kalau butuh datang saja ke mari," katanya.

Begitulah, gulai kepala ikan ala Gus Dur adalah makanan favorit di kontrakan sederhana itu. Sebelum "resep rahasia kepala ikan" akhirnya terbongkar, para sahabat Gus Dur mengira bahwa ia adalah anak orang kaya. Harga ikan memang terhitung tinggi untuk ukuran kantong mahasiswa.

Cerita Gus Dur dan 20 anjingnya ini menjadi salah satu kisah lucu yang sering dituturkan dalam beberapa buku/tulisan mengenai putra dari KH Wahid Hasyim itu.

***

Demikian kisah inspiratif sekaligus jenaka dari para guru bangsa kita. Selain pelajaran tentang kreativitas berpikir dalam menghadapi kesulitan hidup, kisah mereka dan jeroan merupakan bukti bahwa semua ciptaan Tuhan di alam ini tidak ada yang sia-sia.

Dan hikmah terpenting adalah: Siapa tahu karena rajin makan soto babat atau kripik ceker anda bisa ketularan berkahnya, jadi tokoh nasional atau bahkan jadi presiden!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun