Keluarga yang memiliki makam tersebut memberikan imbalan kepada mereka untuk berteduh di pekuburan itu. Bukan hanya berteduh, bahkan sampai beranak pinak hingga beberapa generasi.
Pertengahan Januari lalu, Al Ahram Weekly—koran mingguan berbahasa Inggris terbitan Kairo—pernah membahas fenomena ini. Wartawati Dina Rashid menyambangi para tuna wisma di kawasan pamakaman Al Ghafir, Al Mugawrin, Sayyidah Aisyah dan Ain Al Shira.
Mereka menuturkan bahwa sebenarnya mereka ingin hidup normal layaknya orang kebanyakan. Apalah daya, kerasnya kehidupan mengungkung mereka di sini. Stereotip yang berkembang di masyarakat luas juga menganggap mereka sebagai sampah masyarakat. Pemerintah kota Kairo juga berencana menggusur kawasan tersebut dalam rangka pengaturan kembali tata kota Kairo yang memang semrawut. Di mana-mana, nasib orang pinggiran selalu terabaikan. Wallahu’alam.
O, iya…. Sampai sekarang, setiap Ramadhan datang Muhib selalu menyambut dengan suka cita.
“Saya selalu berharap bisa ikut perang lagi bersama laskar berkuda Mamluk, walau hanya dalam tidur. Tapi sayangnya meski udah tidur seharian di Masjid, gak pernah mimpi lagi…” Mujib hanya bisa mengangkat kedua bahunya.
Kamis, 30 September 2010. Di tengah badai debu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H