Area pemakaman ini berawal pada saat para sufi menyepi di daerah ini. Mereka mendirikan tempat khusus yang disebut khanqah untuk melakukan ritual tasawuf. Kondisi yang senyap dan sepi, amat pas bagi para imam sufi untuk mengasingkan diri, jauh dari hingar-bingar dunia. Hingga beberapa raja dan petinggi Mamalik pun dikebumikan di sini.
Dari Budak Menjadi Raja
Dinasti Mamalik atau Mamluk adalah salah satu kekuatan Islam pada masa keemasannya. Mereka sebenarnya adalah para budak dari Laut Hitam, Asia Tengah dan Kaukasus (Mamluk secara bahasa artinya “yang dimiliki”). Setelah memeluk Islam, mereka menjalani pendidikan militer, terutama kemahiran berkuda. Mereka mulai digunakan pada era Abbasiyah di Baghdad sebagai tentara. Begitu pula pada dinasti-dinasti lainnya seperti Fathimiyah di Mesir dan Turki Utsmani.
Dalam era perang Salib pada masa Shalahuddin Al Ayyubi, para Mamluk ini semakin mendapat tempat dalam kancah politik dan pemerintahan. Di antaranya ada yang menduduki kursi panglima pasukan, petinggi militer hingga perdana menteri. Puncaknya pada tahun 1250, Izzuddin Aybak, seorang atabik (panglima) Mamluk naik tahta sebagai sultan dan memulai era dinasti Mamalik di Mesir. Dinasti Ayyubiyah akhirnya tamat. Periode Mamluk bertahan hingga 1517 sebelum kekuasaan di Mesir berpindah kepada Turki Utsmani.
Ada sebuah budaya unik di kalangan para Mamluk. Tradisi bersaing terpupuk dengan baik. Sebab siapa yang berprestasi, karirnya akan terus menanjak dan tidak mustahil mencapai posisi terhormat seperti Aybak.
Masa Mamalik dikenal dengan kemajuan di bidang militer dan arsitektur. Pasukan berkuda Mamluk amat disegani. Mamluk juga memiliki pasukan artileri baik senjata ringan berupa panah maupun ketapel raksasa. Mereka banyak berperan pada periode kritis dalam sejarah Islam. Ketika itu, ancaman bukan hanya datang dari invasi Mongol, tapi juga dari pasukan salib yang bergerak dari Eropa menuju Yerussalem.
Suasana the City of the Dead,
Keangkeran yang Telah Hilang
Selain makam Sultan Barquq, raja Mamluk yang bersemayam di kawasan ini antara lain Sultan Barsbay dan Qaytbay. Kalau melihat kubah-kubah indah, jangan sangka banyak masjid di sana. Kubah-kubah itu merupakan pertanda bahwa di bawahnya ada makam. Komplek Sultan Qalawun di distrik Gamaliya, dekat pasar Khan Khalili bisa dijadikan contoh. Karena memang, pemakaian kubah pada era Mamluk lazimnya diperuntukkan untuk kubur.
Sejauh mata memandang hanya ada petak-petak kubus berwarna coklat. Membentang dari Asrama Bu’uts hingga Imam Syafi’i. Tidak heran karena masyarakat Mesir juga menjadikan daerah ini sebagai area pemakaman keluarga turun temurun. Biasanya di pintu terukir nama keluarga yang memiliki makam tersebut.
Kalau malam tiba, buang jauh-jauh bayangan angker komplek pemakaman seperti yang kita dapatkan di tanah air. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari menerobos jemuran pakaian. Gemerlap lampu kelap-kelip di sana-sini. Ini bukan ulah dedemit atau arwah-arwah penasaran. Himpitan ekonomi dan keadaan memaksa sebagian orang tinggal di antara mayat-mayat. Ya, pekuburan keluarga yang berkotak-kotak itu ditinggali manusia.