Mohon tunggu...
made yudistira
made yudistira Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Darah Bali, Badan Jawa, Hati Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Gunung Ijen yang Memukau (Bagian 1)

30 September 2011   18:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:27 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya kita sampai juga di dalam kawah ijen. Tak banyak yang bisa kami lihat selama perjalanan menuruni kawah karena keadaan cukup gelap. Hanya terdengar teriakan-teriakan dan nyanyian sahut menyahut yang dilakukan oleh para penambang untuk mengusir sepi. Serta lampu-lampu temaram sekedarnya hanya untuk dapat melihat jalan setapak yang tidak beraturan.

Akhirnya kami benar-benar sampai di dasar kawah gunung Ijen. Banyak cahaya biru yang tampak menyala, diselingi lalu lalang penambang mengangkut muatan sulfurnya. Sebuah gubuk kecil tampaknya sangat menggoda istri dan teman wanita saya untuk beristirahat di dalamnya, sedangkan yang pria sibuk berkeliling mencari tahu apa yang orang-orang di sini kerjaan.

Takjub dan terperangah saya dengan apa yang saat itu Ijen perlihatkan kepada saya. Kilauan ribuan bintang benar-benar seperti sesuatu yang saya lihat di dongeng, muncul di hadapan saya. Tak lupa kilauan lampu proyek dan nyala api sulfur benar-benar membuat saya takjub keindahaan saat itu

Lama saya terpukau menikmati suguhan alam ini. Lanjut saya berjalan di sekitar area tambang.

Sang penunjuk jalan memperlihatkan bagaimana belerang muncul dari permukaan tanah yang kemudian mengering dan siap untuk diambil. Asap pekat berbau tajam sangat menusuk pernafasan. Tak heran banyak penambang menggunakan masker atau kain seadanya untuk bisa menembus pekatnya asap sulfur. Maka tak heran sangat disarankan para pengunjung membawa kain penutup mulut atau masker yang dibasahi  untuk membantu debu sulfur tidak masuk ke pernafasan.

Seorang penambang tampak duduk sendiri sambil sibuk dengan sesuatu. Selesai menjawab sapaan saya, sang bapak pelan-pelan membuka bungkusan nasinya. Tahu, tempe, sedikit sayur dan nasi jagung isinya. Tak banyak percakapan yang terjadi karena saya tak ingin menganggu si bapak menikmati rejeki kecilnya. Pemandangan yang sangat mengharukan hadir dihadapan saya... sedih dan iba bercampur rasa mengagumi kegigihannya menghadapi cobaan hidup di negara yang katanya sudah merdeka ini

Tak terasa, pagi hampir tiba. Lembayung semburatkan warnanya ke angkasa.

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun