Mohon tunggu...
made yudistira
made yudistira Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Darah Bali, Badan Jawa, Hati Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Gunung Ijen yang Memukau (Bagian 1)

30 September 2011   18:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:27 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebenarnya yang akan saya sampaikan sudah setahun lalu (lebih) kejadiannya, tapi apa yang saya alami benar-benar membuat saya makin mengagumiNya. Sekaligus mencoba bikin artikel di kompasiana untuk saling berbagi cerita.

Gunung Ijen yang berada di daerah Jawa Timur tepatnya perbatasan Banyuwangi dengan Bondowoso, merupakan daerah yang masih asing buat saya. Kebanggaan akan danau asam terbesar di dunia yang ternyata ada di Indonesia, membuat saya ingin sekali pergi jalan-jalan ke sana.

Berangkat bersama rekan dan istri dari daerah Kuta, Bali, sampailah kita sampai di pos terakhir dimana mobil dan kendaraan bisa lalui. Pos ini bernama Paltuding.

Di pos ini terdapat beberapa warung, kamar mandi umum, tempat sembahyang dan juga penginapan seadanya. Kita memutuskan menginap di penginapan yang mirip sekali dengan kamar kost. Hanya berukuran 3x3.5m. Jangan berharap ada TV atau AC, di sini tempat tidur tersedia seadanya. Tetapi itulah menariknya berlibur (menurut saya) dimana kita bisa menginap, makan, dan melakukan aktifitas layaknya penduduk setempat lakukan.

Awal perjalanan dimulai sekitar pukul 2-3 dini hari. Diawali dengan jalan mendatar sekitar 1,5 km. 'Baterai' kami semua yang masih penuh membuat jalan datar ini serasa sangat mudah dilalui. Dilanjutkan jalanan yang makin menanjak dan makin menanjak. Di sela-sela penanjakan itu, kami sesekali dilewati oleh orang-orang penambang belerang yang hilir mudik membawa keranjang.

'Nafas-nafas kuda' dari kami mulai terdengar. Suhu badan naik dan keringat mulai membasahi pakaian. Jaket rasanya menjadi barang yang saya ingin tanggalkan, tetapi tiupan angin dingin membuat saya membatalkan niat saya itu.

Di pos penimbangan atau dikenal dengan nama pos bunder, kita bertemu dengan seorang penambang yang menawarkan jasa 'guide'nya kepada kita. Karena suasana yang sangat gelap serta pengalaman dari anggota yang sangat minim, membuat kali mengiyakan tawaran sang bapak.

Berbekal obor berbahan bakar minyak tanah, kita berjalan beriringan layaknya film The Lord of the Ring yang terkenal itu. Hehehe..

Perjalanan yg ditempuh mulai menunjukkan tantangan yang makin ganas. Sudut tanah semakin curam dan stamina benar-benar diuji disini. Gelapnya malam membuat saya terbantu untuk tidak melihat seberapa jauh sebenarnya perjalanan ini. Tiba di puncak gunung, berarti perjalanan belum selesai. Karena sebenarnya kita ingin sekali sampai ke danau asamnya yang artinya perjalanan menuruni kawah mesti dilakukan.

Akhirnya kita sampai juga di dalam kawah ijen. Tak banyak yang bisa kami lihat selama perjalanan menuruni kawah karena keadaan cukup gelap. Hanya terdengar teriakan-teriakan dan nyanyian sahut menyahut yang dilakukan oleh para penambang untuk mengusir sepi. Serta lampu-lampu temaram sekedarnya hanya untuk dapat melihat jalan setapak yang tidak beraturan.

Akhirnya kami benar-benar sampai di dasar kawah gunung Ijen. Banyak cahaya biru yang tampak menyala, diselingi lalu lalang penambang mengangkut muatan sulfurnya. Sebuah gubuk kecil tampaknya sangat menggoda istri dan teman wanita saya untuk beristirahat di dalamnya, sedangkan yang pria sibuk berkeliling mencari tahu apa yang orang-orang di sini kerjaan.

Takjub dan terperangah saya dengan apa yang saat itu Ijen perlihatkan kepada saya. Kilauan ribuan bintang benar-benar seperti sesuatu yang saya lihat di dongeng, muncul di hadapan saya. Tak lupa kilauan lampu proyek dan nyala api sulfur benar-benar membuat saya takjub keindahaan saat itu

Lama saya terpukau menikmati suguhan alam ini. Lanjut saya berjalan di sekitar area tambang.

Sang penunjuk jalan memperlihatkan bagaimana belerang muncul dari permukaan tanah yang kemudian mengering dan siap untuk diambil. Asap pekat berbau tajam sangat menusuk pernafasan. Tak heran banyak penambang menggunakan masker atau kain seadanya untuk bisa menembus pekatnya asap sulfur. Maka tak heran sangat disarankan para pengunjung membawa kain penutup mulut atau masker yang dibasahi  untuk membantu debu sulfur tidak masuk ke pernafasan.

Seorang penambang tampak duduk sendiri sambil sibuk dengan sesuatu. Selesai menjawab sapaan saya, sang bapak pelan-pelan membuka bungkusan nasinya. Tahu, tempe, sedikit sayur dan nasi jagung isinya. Tak banyak percakapan yang terjadi karena saya tak ingin menganggu si bapak menikmati rejeki kecilnya. Pemandangan yang sangat mengharukan hadir dihadapan saya... sedih dan iba bercampur rasa mengagumi kegigihannya menghadapi cobaan hidup di negara yang katanya sudah merdeka ini

Tak terasa, pagi hampir tiba. Lembayung semburatkan warnanya ke angkasa.

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun