Sebuah drama lanjutan kembali hadir dalam ajang pilgub Jabar 2018. Setelah sebelumnya Partai Golkar menarik dukungan mereka kepada Ridwan Kamil, karena dinilai lambat dalam memutuskan calon wakil gubernurnya, kemarin giliran PKS dan PAN yang hengkang dari Koalisi Zaman Now, dan menerima pinangan Partai Gerindra, yang mengusung Mayjen (Purn) Sudrajat sebagai Cagub.
Meski dalam politik, segala seuatunya adalah mungkin, dan selalu mengikuti adagium tak ada pertemanan dan permusuhan abadi, melainkan hanya kepentingan abadi, namun keputusan PKS dan PAN untuk tidak mendukung Demiz, cukup membuat banyak pihak terkejut.
Duet Deddy Mizwar (Demiz) dan Ahmad Syaikhu, digadang-gadang sebagai pasangan yang akan menjadi penantang serius Ridwan Kamil - yang hingga saat ini masih belum punya calon wakil gubernur. Demiz dan Saikhu diyakini akan mampu menandingi superioritas Ridwan Kamil yang menurut beberapa survey, unggul dari sisi elektabilitas dan popularitas. Keduanya, juga dinilai sebagian kalangan sebagai pasangan yang cukup pas mewakili postur nasionalis-religius.
Keputusan PKS dan PAN, yang tidak lagi mengusung Demiz, boleh jadi mengecewakan sebagian kader dan tentu saja Partai Demokrat, yang sedari awal mendukung pasangan ini. Terlebih poster dan baligo sosialisasi Demiz-Saikhu sudah banyak tersebar hingga ke berbagai pelosok di Jawa Barat.
Tak hanya soal poster dan perangkat sosialisasi pasangan yang sudah banyak tersebar. sebagian orang menilai pencabutan dukungan ini sebagai tidak istiqamahnya PKS terhadap komitmen yang sudah dibuat sejak awal untuk mendukung Demiz. Meski, patut diakui bahwa PKS sebenarnya belum membuat SK definitif untuk mendukung Deddy Mizwar di pilgub Jabar 2018.
PKS juga dinilai selalu berusaha untuk cari aman, dan bersikap oportunis agar senantiasa berada di jalur kemenangan. Terlebih, di Jawa Barat, PKS selalu unggul dalam dua kali pilgub, dan tentu ingin mencetak hattrick pada pilgub tahun 2018 mendatang.
Pilihan untuk kembali bersanding dengan Gerindra, juga dinilai sebagai sebuah keinginan mengulang romantisme kemenangan, saat mereka mengusung pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, di pilgub Jakarta beberapa waktu lalu. Selain itu, langkah ini jika merujuk pada rumus yang berlaku umum di sepakbola, PKS setuju untuk tidak mengubah komposisi tim pemenang.Dont change the winning team. Begitu mungkin yang ada di benak petinggi partai ini
Ternyata, Ini memang sejalan dengan apa yang disampaikan salah seorang petinggi PKS Hidayat Nurwahid, dalam tweetnya terkait pilihan politik di pilgub Jabar ini. "Sikap kami (Gerindra & PKS & PAN) istiqamah dengan pola koalisi pilgub di DKI". Tak hanya di Jabar, PKS, Gerindra dan PAN juga berkoalisi untuk empat provinsi lainnya.
Meski begitu, sebagai partai yang mengerti adab dan tatakrama, PKS ditambahkan Hidayat juga menjaga kesantunan sebelum pada akhirnya memutuskan meninggalkan Demiz. "Presiden PKS berkomunikasi positif dengan Demiz, yang tidak lama kemudian langsung membangun koalisi baru dengan Golkar, dan akan mengajukan duo DM itu," ungkap Hidayat. "Kami dg Bang Demiz selalu saling menghormati dan menghargai. Alhamdulillh" jelas Hidayat, masih dalam rangkaian cuitannya di twitter.
Demiz sendiri, meski galau, namun terkesan santai dan elegan menyikapi dinamika ini. Dalam postingan di akun twitter @Deddy_Mizwar_, Demiz menyebut keputusan PKS dan PAN sebagai dinamika yang biasa dalam politik. Setelah sebelumnya menyebut bahwa keputusan Allah adalah yang terbaik, Demiz menyebut selama berlangsungnya kesepakatan koalisi sebelumnya, komunikasi antara dirinya dan PKS berjalan sangat baik.
Tak lupa, Demiz pun menyampaikan salam hormat untuk seluruh jajaran pengurus dan kader @PKSejahtera yg selama ini telah membersamai dirinya dalam perjalanan menuju Pilkada Jabar 2018 ini; rekan-rekan PKS telah banyak mewarnai dirinya dengan integritas nilai-nilai yang Islami. Sebuah ungkapan yang tulus dan menyentuh.
Nah, pertanyaan berikutnya, Kok bisa-bisanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan PAN mendukung Mayjen (Purn) Sudrajat, yang ujug-ujug diusung Gerindra, seolah tanpa reserve? Tentu keduanya punya segudang alasan, saat pada akhirnya memutuskan mendukung mantan Dubes RI di Cina ini, meskipun elektabilitas CEO maskapai penerbangan Susi Air ini belum menjanjikan. Terlebih, jika dibandingkan dengan elektabilitas RK, sepertinya Mayjen Sudrajat harus lari sprint agar bisa menyusul.
Menurut Sohibul, setidaknya terdapat empat syarat calon pemimpin di Jawa Barat, dan keempat syarat ini semuanya sudah dimiliki Sudrajat. Persyaratan itu seperti nyunda, yakni calon tersebut harus orang asli Sunda, nyakola atau pendidikan bagus, nyantri itu bermaksud dekat dengan agama, dan nyantrika itu memiliki tata krama.
"Sudrajat ini asli Sunda perilakunya nyunda bener, untuk pendidikan enggak bisa diragukan karena pernah sekolah di Amerika. Sudrajat mungkin bukan santri, insyaallah diterima, dan untuk tata krama Pak Sudrajat itu luar biasa sopan, santun bicara teratur," jelas Sohibul, saat memberikan keterangan di kantor DPP PKS, seperti dikutip laman liputan6.com (27/12).
Apapun itu, bagi seluruh kader PKS dan PAN, pilihan partai untuk mendukung pasangan Sudrajat dan Ahmad Syaikhu, layaknya keputusan komando di hirarki militer. Sebagai sebuah keputusan yang harus ditaati dan dijalankan. Para kader, pun dituntut untuk istiqomah dan mendukung sepenuh jiwa dan raga keputusan ini.
Meski, seorang teman yang juga dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung, berseloroh bahwa pilihan PKS untuk meninggalkan Demiz dan mendukung Sudrajat, sangat jelas merupakan keputusan "PKS". PKS dalam tanda kutip. Â
"Memang ada PKS yang lain?" tanya saya.
"Bukan. PKS yang ini adalah "Prabowo Ketua Syuro" katanya.
Aya-aya wae(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H