Bila dibandingkan dengan serangga - serangga yang lain, kecoa mungkin adalah hewan yang paling banyak diperlakukan secara tidak adil oleh manusia. Kata - kata seperti menjijikan, geli, menakuktan dan sumber bau busuk sering kali disematkan padanya. Ia juga kerap dikaitkan dengan kejorokan, lingkungan yang kotor, biang dari beberapa penyakit seperti alergi atau infeksi tertentu.
Perspektif dan kata - kata berkonotasi negatif ini menciptakan ketidakadilan bagi eksistensi kecoa di muka bumi ini. Â Karena meski ia diperlakukan serta dipandang hina dan menjijikan, disisi lain, manusia justru memakai kecoa untuk berbagai kepentingan. Rata - rata adalah untuk memuaskan keingintahuan mereka tentang cara kerja dunia dan alam semesta, termasuk kecoa itu sendiri. Menggambarkan suatu hal, atau untuk menerangkan suatu konsep dan pemikiran tertentu.
Dalam dunia sains, kecoa sering dijadikan objek penelitian dan kebanyakan berfokus pada  bagaimana membinasakan kecoa, apa dampak kecoa pada kesehatan, serta berbagai sakit dan penyakit yang ditimbulkan karena keberadaan kecoa. Ia ditangkap, dikurung dan perilakunya diamati.Â
Tidak cukup dengan mengamati dan memyimpulkan dari tampilan luar, kecoa juga akhirnya dibunuh dengan begitu sadis untuk sekali lagi diamati dan ditarik satu kesimpulan bagian dalam tubuhnya. Kalau tidak mendapatkan kesimpulan yang berdampak positif dan pro terhadap keberlangsungan hidup manusia, ya semua orang akan menyepakati agar kecoa sebaiknya disingkirkan saja dari kehidupan manusia.
Begitulah kira - kira dari perspektif sains yang boleh saya katakan, sains membuat kecoa tersisih dari kehidupan. Eksistensi kecoa dianggap tidak berguna dan kerap kali dianggap membahayakan dan membawa bahaya bagi kehidupan manusia. Dan sebaiknya, semua kecoa dibinasakan, termasuk serangga yang serupa dengannya.
Namun, jika sains mememberikan kesimpulan kepada manusia untuk membuat kecoa tersisih begitu cepat dari kehidupan, dalam ranah filosofis dan sastra, ia justru mendapatkan tempat khusus dan dirawat sedemikian rupa hingga hari ini. Dan dari perspektif fiolosofis inilah saya melihat kenapa kecoa merupakan salah satu hewan yang diperlakukan secara tidak adil. Loh kok malah dikatakan tidak adil?  Dimana letak ketidakadilannya ?
Ya ,dikatakan tidak adil kaerena keburukan dan kekurangan ditolak, sementara kelebihan dan manfaat lain diterima. Padahal keduanya dapat dipandang sebagai kesempurnaan. Tidak ada negatif, kalau tidak ada positif, tidak ada kebaikan tanpa ada keburukan, kejujuran tidak berdiri tanpa kebohongan dan tidak ada keindahan tanpa keburukan. Menyamakan kedua - duanya, adalah pencampuradukan  yang konyol.
Kalau kita lihat dalam berbagai literatur online, dan beberapa karya sastra, kecoa justru mendapatkan tempat yang istimewa. Wow,, Memang seistimewa apa gerangan satu ini? Apakah dibentangkan karpet merah untuknya berjalan layaknya pejabat elit? Aatau mendapatkan tiket VVIP untuk suatu pertunjukan layaknya keturunan bangsawan dan konglomerat? Mendapatkan hukuman ringan meski merugikan negara ratusan triliun rupiah? Atau jangan - jangan sesuatu yang lebih mewah?Â
Tidak seperti itu, kita sedang membahas dunia perkecoaan, bukan yang lain. Tidak boleh mengad - ada. Dan memang, kecoa tidaklah seistimewa itu. Hanya saja ia, sang kecoa ini sering dijadikan objek atau tokoh utama untuk sebuah cerita atau karya tulisan dalam karya sastra.
Misalnya dalam novel Metamorfosis karya Franz Kafka, salah satu dari jenis kecoa dipakai sebagai alter ego dari sang tokoh utama, Gregor Samsa. Disini Kecoa digunakan untuk menggambarkan keterasingan, kehilangan identitas dan ketergantungan pada lingkungan sekitar yang dirasakan oleh karakter utama.
Bergeser selangkah dari sastra, dalam kajian filsafat, kecoa dipakai untuk menggambarkan keterkaitan antara etika dan estetika. Disini, sang kecoa disandingkan dengan kupu - kupu. Apabila sesorang membunuh kecoa, ia akan dianggap pahlawan. Tapi jika yang dia bunuh adalah kupu - kupu , maka apapun motifnya, pembunuh akan dianggap sebagai penjahat. Ya, apapun motifnya, sama - sama membunuh tapi mendapatkan dua gelar yang berbeda, penjahat atau pahlan. Ini untuk menjelaskan bagaimana etika dan moral dapat dipengaruhi oleh estetika atau keindahan.Â
Ini juga salah satu alasan kenapa orang dengan tampang yang rupawan kerap dibela orang banyak sekalipun ia melakukan kejahatan berat. Heem, lu akep lu aman kata Ardhianzy, seorang youtuber yang membahas seputar filsafat dan sejarah dalam salah satu videonya.
Memang cukup menyedihkan jadi seekor kecoa. Sudahlah umur tidak sepanjang makhluk hidup lain ( hanya sekitar 2 - 3 tahun ), malah hendak segera dan secepat mungkin dibinasakan pula. Dipandang hina - dina dan menjijikan, punya sayap tapi tidak bisa untuk terbang namun malah dibanding - bandingkan dengan makhluk hidup lain yang memiliki atribut dan kemampuan terbang lebih baik seperti kupu - kupu.Â
Tapi meski begitu, kecoa tidak pernah tampil mengeluh apalagi sampai posting di semua sosial media. Curhat sana - sini dan merasa yang paling tersakiti sejagat raya. Ia mengalami hampir semua yang terburuk dan harusnya kena gangguan mental health seperti gen Z, tapi kecoa memilih untuk tetap semangat, hidup dan terlihat baik - baik saja.
Haruntsaqif yang juga telah menginspirasi saya membuat artikel ini juga pernah menuliskan sesuatu tentang kecoa di akun instagramnya. Contoh ini saya pinjam untuk menambahkan satu tambahan manfaat filosofis dari dunia perkecoaan.Â
Dalam postingan itu, kurang lebih bercerita begini : Kecoa adalah salah satu hewan yang perlu dan patut mendapatkan penghargaan. Dia tidak pernah peduli dengan omongan orang. Ia dianggap hina dan menjijikan namun tetap percaya diri jalan di depan umum.
Ketika kecoa diusir berkali - kali, tetap saja ia balik lagi dengan semangat yang sama. Dilempar sandal, besoknya tetap seperti tidak terjadi apa - apa. Dan kerenya, kecoa bisa bertahan dalam situasi apapun, menjadikannya hewan dengan tingkat resilensi tingkat tinggi. Widih, ngeri kali kan kecoa ini? Dihina tidak membuatnya binasa, dibinasakanpun sepertinya tidak bisa. Dipuji? Wah, jarang terjadi.
Akhirnya dari kecoa kita belajar, meski eksistensi atau keberadaan fisik kita tidak dianggap, tidak memiliki banyak atribut dan kelebihan dan malah justru dianggap membahayakan serta berdampak negatif, toh secara esensi, kita bisa memberikan sesuatu yang positif. Itulah semangatnya.
Kalaupun tidak secara langsung, paling tidak seperti kecoa : Dijadikan pelajaran untuk kehidupan orang lain, sekalipun itu adalah kegagalan, kesalahan, kekurangan atau penderitaan.
Tidak adil memang, tapi orang bijak  adalah orang yang akan belajar apapun dari orang lain. Ia belajar dari kesalahan orang, belajar dari kegagalan orang lain, belajar dari kesalahan orang lain, ia belajar dari penderitaan orang lain. Dengan demikian semakin kecillah kemungkinan ia mendapatkan hal yang sama dalam kehidupannya.Â
Dengan populasi orang bijak di dunia yang semakin banyak, tentu itu merupakan sesuatu yang positif, dan itu akan berdapampak serta kembali kepada kita yang awalnya mungkin merasa tidak mendapatkan keadilan. Ya, kalau bukan kita, mungkin anak - anak dan cucu - cucu kita nanti. Bukankah begitu?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H