Ini juga salah satu alasan kenapa orang dengan tampang yang rupawan kerap dibela orang banyak sekalipun ia melakukan kejahatan berat. Heem, lu akep lu aman kata Ardhianzy, seorang youtuber yang membahas seputar filsafat dan sejarah dalam salah satu videonya.
Memang cukup menyedihkan jadi seekor kecoa. Sudahlah umur tidak sepanjang makhluk hidup lain ( hanya sekitar 2 - 3 tahun ), malah hendak segera dan secepat mungkin dibinasakan pula. Dipandang hina - dina dan menjijikan, punya sayap tapi tidak bisa untuk terbang namun malah dibanding - bandingkan dengan makhluk hidup lain yang memiliki atribut dan kemampuan terbang lebih baik seperti kupu - kupu.Â
Tapi meski begitu, kecoa tidak pernah tampil mengeluh apalagi sampai posting di semua sosial media. Curhat sana - sini dan merasa yang paling tersakiti sejagat raya. Ia mengalami hampir semua yang terburuk dan harusnya kena gangguan mental health seperti gen Z, tapi kecoa memilih untuk tetap semangat, hidup dan terlihat baik - baik saja.
Haruntsaqif yang juga telah menginspirasi saya membuat artikel ini juga pernah menuliskan sesuatu tentang kecoa di akun instagramnya. Contoh ini saya pinjam untuk menambahkan satu tambahan manfaat filosofis dari dunia perkecoaan.Â
Dalam postingan itu, kurang lebih bercerita begini : Kecoa adalah salah satu hewan yang perlu dan patut mendapatkan penghargaan. Dia tidak pernah peduli dengan omongan orang. Ia dianggap hina dan menjijikan namun tetap percaya diri jalan di depan umum.
Ketika kecoa diusir berkali - kali, tetap saja ia balik lagi dengan semangat yang sama. Dilempar sandal, besoknya tetap seperti tidak terjadi apa - apa. Dan kerenya, kecoa bisa bertahan dalam situasi apapun, menjadikannya hewan dengan tingkat resilensi tingkat tinggi. Widih, ngeri kali kan kecoa ini? Dihina tidak membuatnya binasa, dibinasakanpun sepertinya tidak bisa. Dipuji? Wah, jarang terjadi.
Akhirnya dari kecoa kita belajar, meski eksistensi atau keberadaan fisik kita tidak dianggap, tidak memiliki banyak atribut dan kelebihan dan malah justru dianggap membahayakan serta berdampak negatif, toh secara esensi, kita bisa memberikan sesuatu yang positif. Itulah semangatnya.
Kalaupun tidak secara langsung, paling tidak seperti kecoa : Dijadikan pelajaran untuk kehidupan orang lain, sekalipun itu adalah kegagalan, kesalahan, kekurangan atau penderitaan.
Tidak adil memang, tapi orang bijak  adalah orang yang akan belajar apapun dari orang lain. Ia belajar dari kesalahan orang, belajar dari kegagalan orang lain, belajar dari kesalahan orang lain, ia belajar dari penderitaan orang lain. Dengan demikian semakin kecillah kemungkinan ia mendapatkan hal yang sama dalam kehidupannya.Â
Dengan populasi orang bijak di dunia yang semakin banyak, tentu itu merupakan sesuatu yang positif, dan itu akan berdapampak serta kembali kepada kita yang awalnya mungkin merasa tidak mendapatkan keadilan. Ya, kalau bukan kita, mungkin anak - anak dan cucu - cucu kita nanti. Bukankah begitu?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H