"Kaka tidak pernah menghianatiku, dia selalu memperlakukanku dengan baik, dia memberiku keluarga yang luar biasa, tapi aku tidak bahagia. Ada sesuatu yang hilang. Masalahnya, dia terlalu sempurna untuku"Â - Caroline Celico, mantan istri Ricardo Kaka
Terlepas apakah statement itu  hanyalah bumbu media untuk menarik atensi publik jagat maya, atau memang demikianlah persis yang terjadi, namun dari kisah perceraian mereka ini, kita bisa mengambil pelajaran penting untuk diri kita sendiri.
Ricardo Kaka
Siapa yang tidak mengenal Ricardo Kaka? Seorang pesepak bola profesional dari negeri samba, Brazil. Karirnya sangat cemerlang, mulai dari menjuarai serie A, La Liga, Liga Champions hingga piala dunia, berhasil ia raih. Secara individu, Kaka juga berhasil meraih penghargaan bergengsi seperti pemain terbaik FIFA dan balon d'or. Deretan prestasi ini membuatnya layak untuk dikatakan sukses dalam berkarir.
Kesuksesan karir saja masih kurang untuk membicarakannya. Ada satu lagi faktor yang lain, yaitu tampangnya yang bisa dibilang merupakan salah satu pesepak bola paling tampan yang pernah ada. Wanita manapun, akan klepek - klepek ketika berhadapan denganya. Deretan fakta - fakta itu, membuat kita bisa sepakat dengan pernyataan mantan istrinya bahawa Ricardo Kaka adalah pribadi yang mendekati paling tidak, Â "definisi kesempurnaan". Namun, karir yang sukses, tampang luar biasa dan prestasi yang sangat gemilang, ternyata tidak cukup untuk membuat pernikahannya bertahan lama. Pada tahun 2015, eks penggawa AC Milan dan Real Madrid itu diceraikan oleh istrinya, Caroline Celico dengan alasan yang menurut beberapa orang sulit diterima nalar sehat. Ricardo Kaka ternyata terlalu sempurna untuknya.Â
Menjadi sempurna adalah dambaan yang hampir dimiliki setiap orang. Dalam perjalanan menuju kesempurnaan, kita sering kali tertipu oleh keyakinan bahwa menjadi pribadi yang sempurna dari segala aspek akan membawa kebahagiaan abadi. Kita meyakini bahwa segala sesuatu yang kita inginkan akan dapat diraih dengan mudah. Dengan semangat yang membara, kita bahkan rela melampaui batas kewajaran hanya untuk mengubah keadaan dan kondisi saat ini, yakin bahwa dengan begitu, kita akan diterima oleh semua orang, diakui setiap saat, dan hidup dalam kebahagiaan selamanya.
Namun, di balik ambisi untuk mencapai kesempurnaan, dunia ini ternyata menyimpan kisah-kisah yang tidak dapat diprediksi dan penuh misteri. Pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan, dan jawaban yang sulit dicari, mengingatkan kita bahwa realitas seringkali tidak sesuai dengan harapan yang kita impikan.
Siapapun  pasti sepakat dengan statement Caroline Celico bahwa Kaka adalah sosok yang sempurna, setidaknya dari definisi yang selama ini mungkin kita pakai - yang menggunakan parameter visual, entah fisik yang menarik, harta, kesuksesan atau apapun. Tapi, jika kemudian kesempuraan itu justru menjadi alasan untuk menolak orang lain, tidak setia dalam hubungan dan membawa pada rasa tidak bahagia, lalu apakah salah " menjadi sempurna " yang notabene diidamkan oleh setiap insan? Ataukah kita yang keliru memahami hakekat sejati dari " menjadi pribadi yang sempurna " itu selama ini?
Setiap orang tentu boleh memiliki definisi yang berbeda tentang apa arti kesempurnaan. Ada yang menganggap  bahwa kesempurnaan terlihat seperti kesuksesan dalam berkarir, memiliki penampilan menarik, atau memiliki kekayaan material yang melimpah. Namun, bagi yang lain, kesempurnaan justru lebih berkaitan dengan keseimbangan dalam hidup, kebahagiaan dalam hubungan, atau kedamaian batin. Seperti yang terjadi pada kasus perceraian Ricardo Kaka dan Carolina Celico, terkadang kesempurnaan yang tampak dari luar belum tentu menciptakan kebahagiaan yang sesungguhnya di dalam.
Di samping itu, kita juga sering terjebak dalam citra yang dibangun oleh masyarakat tentang apa yang dianggap "sempurna". Terutama dalam era media sosial, di mana kita sering melihat gambaran kehidupan yang diatur sedemikian rupa untuk terlihat sempurna. Namun, di balik layar, seringkali ada perjuangan dan ketidaksempurnaan yang tidak terlihat. Hal ini menimbulkan tekanan pada individu untuk terus mengejar standar yang mungkin tidak realistis.