"Setiap apapun yang hadir dalam hidup kita adalah guru. Apakah itu adalah orang lain, pengalaman pribadi ataupun situasi tertentu dalam hidup kita. Anda boleh saja membenci guru dan pelajaran tertentu, tapi Anda tidak boleh berhenti belajar. Sebab hidup  tidak pernah berhenti mengejar".Â
                   FILSAFAT UNTUK PEMALAS
Sebuah cerita menarik datang dari suatu tempat dimana saya pernah merantau dan mengaduh nasib. Tempat ini, sering dijuluki sebagai Pulau Hati Berlian karena memiliki keindahan serta kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah. Mulai dari kelapa sawit, batu bara, emas, kayu hingga rempah - rempah ada ditempat ini. Tidak lain dan tidak bukan, tempat yang saya maksud adalah Pulau Kalimantan atau nama yang paling umum dikenal orang adalah Borneo.
Yaps, saya pernah merantau disini. Lebih tepatnya di Kalimantan Timur, Kabupaten Kutai Timur, kecamatan Muara Wahau. Berjarak sekitar 496 KM dari Balikpapan, salah satu kota terbesar di Kalimantan Timur dengan waktu tempuh sekitar 12 jam ( jalur darat ). Disinilah saya pernah menjajaki diri sebagai kuli sawit di salah satu Perusahaan sawit yang cukup besar di Indonesia dengan jabatan sebagai pemanen. Tidak ada kebanggan dengan jabatan yang saya emban selama kurang lebih 1.5 tahun selain mendapat penghargaan berupa surat peringatan berjilid - jilid karena mendapat  gelar sebagai pemanen terburuk tiga kali berturut - turut selama satu musim. Agak lain, karena  disaat yang sama, orang - orang mendapat gelar pemanen terbaik sementara saya pemanen terburuk. Semua itu karena saya sering melakukan pelanggaran yaitu memanen buah yang masih mentah alias belum layak panen. Parahnya, setiap saya lewat dijalan, teman - teman  saya sering sindir dengan gaya ironi mereka yang khas, " Hebat browww, cuma kamu yang bisa senekat ini. Kerennn". Lah, Hebat apanya?? Dimana letak kerennya??? Tapi meski begitu, seperti yang sudah saya tulis diawal, bahawa ada suatu cerita menarik dari pengalaman yang saya dapatkan selama disana.
Mari saya perkenalkan Anda dengan sorang rekan kerja saya sesama pemanen. Kita sebut saja namanya Kuswono. Ini adalah nama samaran untuk menjaga privasi. Beliau berumur 40 tahun keatas tetapi masih kuat dan powerful untuk jenis pekerjaan yang mengandalkan fisik dan tenaga. Sama - sama berasal dari luar pulau tetapi beliau ini orang yang disiplin, ramah, tekun, ulet dan tentu saja sangat sabar. Beda jauh dengan saya yang memiliki kepribadian yang keras kepala. Suka membantah, nakal dan sering melanggar aturan atau disiplin kerja.
Suatu ketika, Pak Kus - Begitu kami memanggilnya, didapati sedang menyusun buah hasil panen di TPH ( Tempat Pengumpulan Hasil ) oleh seorang mandor. Seperti biasa, para mandor ini bertugas mengecek hasil panenan para bawahannya. Pada saat itu mandor yang membawahi kami, berhenti di TPH Bapak Kuswono dan mengobrol. Mandor itu turun dari motornya dan tampak berbincang dengan Bapak Kuswono sembari mengutak - atik buah sawit yang sudah disusun rapi menyerupai ordo matriks 3 x 3. Naas bagi Pak kus, dalam susunan buah yang berjumlah 9 janjang itu, terdapat 5 janjang yang dianggap masih mentah dan seharusnya tidak dipanen. Terpaksa buah yang akhirnya dihanguskan ( 5 janjang) itu tidak bisa dibukukan oleh mandor untuk kemudian tidak dijadikan uang. Dari jauh, saya melihat raut muka beliau sangat sedih dan kecewa meskipun tampak ia tutup dengan tersenyum.
Sebuah senyum yang tidak biasa. Saya yakin, ada es dibalik senyuman yang ia berikan kepada sang mandor. Maka ketika sang mandor berlalu, saya  mendatangi Bapak Kuswono untuk menanyakan apa yang  baru saja terjadi. Beliau bercerita  sambil menunjukan buah - buah yang sudah diberi tanda X kepda saya. Menurutnya, buah yang dianggap mentah oleh mandor  itu,  sudah matang dan layak dipanen sebab bagian bahwa dari buah - buah itu sudah mulai digerogoti oleh tupai. Setiap buah yang disilang, terdapat bekas gigitan tupai dibagian pantat buah. " Saya pikir, semua tupai itu sama. Tidak ada tupai yang unik - unik amat. Apa mungkin, hanya tupai didaerah ini yang gemar memakan buah yang masih mentah?". Begitu argumen yang beliau paparkan kepada saya untuk mengukuhkan bahwa sebenarnya ia tidak bersalah. Namun, pada saat yang sama saya tidak bisa berkata banyak karena terbawa suasana kecewa yang dirasakannya. Saya hanya terdiam. Apa boleh buat, karena memang aturan mengharuskan buah yang dipanen haruslah buah yang sudah brondol 13. Maka dengan pasrah namun ikhlas, Pak Kuswono rela untuk terima kenyataan bahwa buah yang diapatkan dengan susah payah itu, harus dihanguskan alias tidak menghasilkan uang.
(Sekedar informasi, brondol adalah sebuah istilah yang sering digunakan di perkebunan kelapa sawit. Ini mengacu pada biji kelapa sawit yang lepas dari tandannya. Dibeberapa perusahaan, terdapat aturan yang berbeda - Â beda prihal berapa jumlah brondol yang jatuh ke tanah sebagai indikator bahwa buah tersebut sudah matang).
Setelah berbincang panjang lebar dengan  Pak Kus, saya memutuskan untuk pulang karena selain sudah memenuhi target kerja harian, waktu juga sudah menunjukan pukul 15:30. Dalam perjalanan pulang, setiap langkah yang saya ambil terasa berat. Padahal bebanya ada dikepala tapi beratnya terasa diseluruh badan.  Mengingat- ingat apakah buah yang saya panen hari itu juga ada yang masih mentah. Saya sangat khuatir, sebab jika ketahuan memanen buah mentah lagi, bisa - bisa saya dapat quatrick  sebagai pemanen terburuk.
Singkat cerita, setelah merasakan asin dan pahitnya air keringat sebagai buruh tani selama 1.5 tahun, saya akhirnya memutuskan untuk pulang kampung halaman. Tidak ada alasan yang jelas untuk pulang kali ini. Semuanya mengalir begitu saja seperti air. Dan, meski tubuh bergerak, namun jiwa dan pikiran masih terperangkap dalam kebingungan  dan rasa penasaran yang terus menghantui. " Saya orang kecil mas. Saya hanya bisa bilang iya Pak, baik pak, maaf pak. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi". Sebuah penggalan terakhir yang saya dengar dalam perbincangan dengan Bapak Kuswono kala itu.
Beberapa bulan berlalu. Kini saya mulai memikirkan kembali makna dari ucapan Bapak Kuswono itu yang selalu saja terngiang - ngiang dalam benak ketika saya menghadapi situasi serupa. Seandainya pada saat itu yang mendengar ungkapan  Bapak Kuswono ini  bukan saya, barangkali kalimat terakhir beliau itu bukan apa - apa, tanpa makna. Orang mungkin akan menimpalnya dengan tawa bahak karena dianggap lelucon belaka. Tidak ada makna mendalam bahkan mungkin bagi Pak Kuswono sendiri. Bisa saja beliau memang sudah sering mengucapkan kalimat itu setiap saat ketika menghadapi situasi yang sama seperti saat diprogoki oleh mandor. Jadi semacam kebiasaan saja. Tapi bagi saya yang mungkin terlalu sering memikirkan hidup, ungkapan "Saya orang kecil mas. Saya hanya bisa bilang iya Pak, baik Pak, Maaf Pak. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi", memiliki arti yang cukup dalam. Setidaknya saya bisa gunakan ini sebagai salah satu pegangan atau moto dalam menjalani hidup. Bukan hanya saya, kita semua mungkin bisa menerapkannya. Baik dalam keluarga, lingkuan kerja maupun didalam kehidupan bermasyarakat atau saat bersosialisasi dengan orang lain.
Pertama dalam keluarga. Dengan memposisikan diri sebagai yang terkecil ( anak ), kita akhirnya bisa menghormati yang lebib besar ( orang tua dan saudara ). Terlepas apapun jabatan atau bagaimana status sosial mereka, kita harus menjadi contoh yang baik bagi orang lain dengan bersikap sopan, nurut dan memathui nasehat mereka.
Kedua dalam lingkungan kerja. Dengan berpegang pada prinsip "orang kecil", maka niscaya kebencian dan sikap iri hati terhadap atasan dan rekan kerja bisa disingkirkan. Karena toh, kita ini bukan siapa - siapa, hanya orang kecil. Kita akan terhindar dari sikap acuh tak acuh dengan hak dan kewajiban kita sebagai pekerja atau karyawan. Terutama kita - kita yang merupakan bawahan, mau bagaimanapun tidak enaknya aturan ditempat kerja, sadarilah bahwa kita bekerja dengan orang, maka aturan yang dibuat orang itu diharapkan untuk ditaati. Kita melakukan pelanggaran ( terlambat misalnya ), maka bersiaplah menerima konsukensinya dan bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi. Sebagai orang kecil, negara tentu saja sudah mengatur undang - undang sedemikan rupa agar perusahaan menentukan hak - hak kita. Maka ketika hak kita tidak terpenuhi, jangan ragu untuk menyuarakannya.
Terakhir dalam kehidupan sosial masyarakat. Dengan memposisikan diri sebagai orang kecil, kita diharapkan bisa melepaskan ego dalam diri kita. Bertutur kata yang baik dan sopan terhadap siapa saja dan selalu minta maaf ketika berbuat salah, serta bersedia menerima teguran atau pandangan  orang lain ketika apa yang kita lakukan atau kita yakini ternyata tidak sesuai sebagaimana yang baik dan benar dalam masyarakat. Contoh kecilnya budaya antri, dijalan nabrak orang bertanggung jawab  dan bukan lari, pinjam uang orang dibayar tepat waktu, serta masih banyak contoh - contoh yang lain.
Ah Pak Kus...Sungguh suatu perjumpaan yang sangat berkesan. Mengingatkan saya akan suatu sabda bahwa barang siapa yang memposisikan dirinya seperti seorang anak kecil, maka besarlah ia dalam kerajaan Surga. Tidak perlu muluk - muluk membayangkan surga yang dimaksud adalah suatu tempat yang indah, sebuah singgasana yang segala sesuatunya sudah tersedia. Makanan, minuman dan hiburan tersedia secara gratis sebagaimana yang kebanyakan kita bayangkan selama ini. Tapi surga itu adalah ketika kita mencapai kehidupan yang tenang dan bahagia di alam semesta ini dengan segala prinsip, hukum dan cara kerja yang telah diprogram oleh  penciptaNya.
Saat kita memposisikan diri sebagai orang kecil dalam segala situasi, baik itu yang menguntungkan maupun yang merugikan, senang atau bahagia, susah ataupun sedih maka saat itu juga alam semesta dengan segala kebijaksanaanya akan merespon kondisi dan perbuatan kita.  Saat Kita memposisikan diri sebagai orang kecil dihadapan semesta, namun apabila semesta merasa tidak seharusnyalah kita kecil, maka dengan sendirinya kita akan dibesarkan. Ini tentu lebih baik daripada ketika kita terlebih dahulu merasa diri  lebih besar dihadapan semesta, kemudian dengan segala kebesaran itu kita mulai congkak,  namun ternyata Ia berkata bahwa bahwa, " kamu itu orang kecil mas, kamu seharusnya hanya bisa bilang baik pak, iya pak, maaf pak dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi". Dan kitapun akhirnya dikecilkan dengan sendirinya, sebagaimana yang seharusnya alam semesta inginkan, yaitu berjalan secara adil dan seimbang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H