Mohon tunggu...
Yohanes Patrio
Yohanes Patrio Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Biasa

Pria Juga Boleh Bercerita. Pegiat Filsafat, Sastra dan Budaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjadi Orang Kecil

4 April 2024   17:30 Diperbarui: 10 Mei 2024   16:42 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Setiap apapun yang hadir dalam hidup kita adalah guru. Apakah itu adalah orang lain, pengalaman pribadi ataupun situasi tertentu dalam hidup kita. Anda boleh saja membenci guru dan pelajaran tertentu, tapi Anda tidak boleh berhenti belajar. Sebab hidup  tidak pernah berhenti mengejar". 

                                      FILSAFAT UNTUK PEMALAS

Sebuah cerita menarik datang dari suatu tempat dimana saya pernah merantau dan mengaduh nasib. Tempat ini, sering dijuluki sebagai Pulau Hati Berlian karena memiliki keindahan serta kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah. Mulai dari kelapa sawit, batu bara, emas, kayu hingga rempah - rempah ada ditempat ini. Tidak lain dan tidak bukan, tempat yang saya maksud adalah Pulau Kalimantan atau nama yang paling umum dikenal orang adalah Borneo.

Yaps, saya pernah merantau disini. Lebih tepatnya di Kalimantan Timur, Kabupaten Kutai Timur, kecamatan Muara Wahau. Berjarak sekitar 496 KM dari Balikpapan, salah satu kota terbesar di Kalimantan Timur dengan waktu tempuh sekitar 12 jam ( jalur darat ). Disinilah saya pernah menjajaki diri sebagai kuli sawit di salah satu Perusahaan sawit yang cukup besar di Indonesia dengan jabatan sebagai pemanen. Tidak ada kebanggan dengan jabatan yang saya emban selama kurang lebih 1.5 tahun selain mendapat penghargaan berupa surat peringatan berjilid - jilid karena mendapat  gelar sebagai pemanen terburuk tiga kali berturut - turut selama satu musim. Agak lain, karena  disaat yang sama, orang - orang mendapat gelar pemanen terbaik sementara saya pemanen terburuk. Semua itu karena saya sering melakukan pelanggaran yaitu memanen buah yang masih mentah alias belum layak panen. Parahnya, setiap saya lewat dijalan, teman - teman  saya sering sindir dengan gaya ironi mereka yang khas, " Hebat browww, cuma kamu yang bisa senekat ini. Kerennn". Lah, Hebat apanya?? Dimana letak kerennya??? Tapi meski begitu, seperti yang sudah saya tulis diawal, bahawa ada suatu cerita menarik dari pengalaman yang saya dapatkan selama disana.

Mari saya perkenalkan Anda dengan sorang rekan kerja saya sesama pemanen. Kita sebut saja namanya Kuswono. Ini adalah nama samaran untuk menjaga privasi. Beliau berumur 40 tahun keatas tetapi masih kuat dan powerful untuk jenis pekerjaan yang mengandalkan fisik dan tenaga. Sama - sama berasal dari luar pulau tetapi beliau ini orang yang disiplin, ramah, tekun, ulet dan tentu saja sangat sabar. Beda jauh dengan saya yang memiliki kepribadian yang keras kepala. Suka membantah, nakal dan sering melanggar aturan atau disiplin kerja.

Suatu ketika, Pak Kus - Begitu kami memanggilnya, didapati sedang menyusun buah hasil panen di TPH ( Tempat Pengumpulan Hasil ) oleh seorang mandor. Seperti biasa, para mandor ini bertugas mengecek hasil panenan para bawahannya. Pada saat itu mandor yang membawahi kami, berhenti di TPH Bapak Kuswono dan mengobrol. Mandor itu turun dari motornya dan tampak berbincang dengan Bapak Kuswono sembari mengutak - atik buah sawit yang sudah disusun rapi menyerupai ordo matriks 3 x 3. Naas bagi Pak kus, dalam susunan buah yang berjumlah 9 janjang itu, terdapat 5 janjang yang dianggap masih mentah dan seharusnya tidak dipanen. Terpaksa buah yang akhirnya dihanguskan ( 5 janjang) itu tidak bisa dibukukan oleh mandor untuk kemudian tidak dijadikan uang. Dari jauh, saya melihat raut muka beliau sangat sedih dan kecewa meskipun tampak ia tutup dengan tersenyum.

Sebuah senyum yang tidak biasa. Saya yakin, ada es dibalik senyuman yang ia berikan kepada sang mandor. Maka ketika sang mandor berlalu, saya  mendatangi Bapak Kuswono untuk menanyakan apa yang  baru saja terjadi. Beliau bercerita  sambil menunjukan buah - buah yang sudah diberi tanda X kepda saya. Menurutnya, buah yang dianggap mentah oleh mandor  itu,  sudah matang dan layak dipanen sebab bagian bahwa dari buah - buah itu sudah mulai digerogoti oleh tupai. Setiap buah yang disilang, terdapat bekas gigitan tupai dibagian pantat buah. " Saya pikir, semua tupai itu sama. Tidak ada tupai yang unik - unik amat. Apa mungkin, hanya tupai didaerah ini yang gemar memakan buah yang masih mentah?". Begitu argumen yang beliau paparkan kepada saya untuk mengukuhkan bahwa sebenarnya ia tidak bersalah. Namun, pada saat yang sama saya tidak bisa berkata banyak karena terbawa suasana kecewa yang dirasakannya. Saya hanya terdiam. Apa boleh buat, karena memang aturan mengharuskan buah yang dipanen haruslah buah yang sudah brondol 13. Maka dengan pasrah namun ikhlas, Pak Kuswono rela untuk terima kenyataan bahwa buah yang diapatkan dengan susah payah itu, harus dihanguskan alias tidak menghasilkan uang.

(Sekedar informasi, brondol adalah sebuah istilah yang sering digunakan di perkebunan kelapa sawit. Ini mengacu pada biji kelapa sawit yang lepas dari tandannya. Dibeberapa perusahaan, terdapat aturan yang berbeda -  beda prihal berapa jumlah brondol yang jatuh ke tanah sebagai indikator bahwa buah tersebut sudah matang).

Setelah berbincang panjang lebar dengan  Pak Kus, saya memutuskan untuk pulang karena selain sudah memenuhi target kerja harian, waktu juga sudah menunjukan pukul 15:30. Dalam perjalanan pulang, setiap langkah yang saya ambil terasa berat. Padahal bebanya ada dikepala tapi beratnya terasa diseluruh badan.  Mengingat- ingat apakah buah yang saya panen hari itu juga ada yang masih mentah. Saya sangat khuatir, sebab jika ketahuan memanen buah mentah lagi, bisa - bisa saya dapat quatrick  sebagai pemanen terburuk.

Singkat cerita, setelah merasakan asin dan pahitnya air keringat sebagai buruh tani selama 1.5 tahun, saya akhirnya memutuskan untuk pulang kampung halaman. Tidak ada alasan yang jelas untuk pulang kali ini. Semuanya mengalir begitu saja seperti air. Dan, meski tubuh bergerak, namun jiwa dan pikiran masih terperangkap dalam kebingungan  dan rasa penasaran yang terus menghantui. " Saya orang kecil mas. Saya hanya bisa bilang iya Pak, baik pak, maaf pak. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi". Sebuah penggalan terakhir yang saya dengar dalam perbincangan dengan Bapak Kuswono kala itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun