Aku menghembuskan nafas berulang kali, sudah hampir sepuluh kali teleponmu pasti berbunyi, tetapi sama dengan beberapa menit yang telah berlalu sebelumnya, Â kau masih saja tidak mau mengangkat panggilan dariku. Aku hanya dapat mendengar bunyi panggilan menunggu, tidak ada lagi terdengar suara manja darimu, yang biasanya terdengar dari telingaku ketika kau menjawab teleponku.Â
Alena, kau dimana sih ? Mengapa rasanya sulit sekali menghubungimu hari ini, pikirku jengkel setengah khawatir.Â
Tentu saja aku tidak mencemaskan keberadaanmu saat ini, kau pasti akan selalu baik-baik saja. Karena kau wanita tangguh dan pemberani yang pernah ku kenal, yang ku takutkan adalah bahwa kau memang sengaja tak ingin menjawab panggilan dariku, sengaja menghilang setelah pertengkaran kecil kita kemarin. Tentu saja itu bukan hal yang bagus, kau tak pernah seperti ini. Sikapmu selalu santai, tak pernah mempermasalahkan hal-hal kecil seperti ini, tentu saja kau tahu, ini adalah hal yang remeh-temeh dalam hubungan kita. Sudah hampir dua tahun kita menjalani hubungan ini, dan semua kita dapat lalui bersama bukan ? Kerikil yang selalu menghambat kita berjalan, dengan mudahnya kau buang dari sepatumu maupun sepatu ku. Tak pernah berniat berhenti sejenak, untuk membuang kerikil di sepatu kita, tetapi kau dengan mudahnya menyingkirkannya, hingga tak membuat langkah kita terhenti.Â
" Sam, kenapa ? Kau terlihat murung ? " tiba-tiba seorang teman menepuk pundakku dari belakang. Aku menoleh kaget ke arahnya, kemudian kembali menatap layar ponselku lekat-lekat. Sudah 15 kali panggilan sekarang, dan ia tak kunjung juga menjawab teleponku.Â
" Ada apa ? " Andrean, temanku yang baru saja mengejutkanku itu, bertanya sambil ikut menatap layar ponselku.Â
" Alena .... dia tidak bisa dihubungi .... aku sudah menelponnya beberapa kali, tetapi dia tidak menjawab teleponku juga ... "Â
" Mungkin sedang sibuk .... " ucap Andrean sambil duduk di sampingku. Aku masih saja sibuk memijit tombol ponselku, kemudian menunggu suara Alena terdengar dari ujung telepon, tetapi sama seperti tadi, sia-sia.Â
" Kalian bertengkar ? " tanya Andrean setelah selesai memesan makanan pada mbok Dar, salah satu pemilik warung kantin di kampus ini.Â
" Aku merasa tidak, mungkin dia merasa iya ... " ucapku lemas, akhirnya menyerah. Ku letakan ponsel genggamku di atas meja panjang kantin. Kantin kampus siang ini nampak sepi, mungkin karena minggu tenang, karena minggu depan akan diadakan ujian akhir semester.Â
" Tentang .... ? " Andrean menatapku, menunjukan rasa penasarannya. Ia mengucapkan terima kasih kepada mbok Dar yang memberikan segelas es teh manis kepadanya, menyeruput es teh manisnya sebentar, lalu menoleh ke arahku lagi.Â
" Kemarin Cindy mampir ke kost ku, hanya di teras rumah ibu kost saja. Kemudian tiba-tiba Alena datang, dan .... hingga sekarang, ia tidak mau mengangkat teleponku ... "Â
" Apa yang ia lihat kemarin, sampai tidak mau mengangkat teleponmu ? "Â
" Tidak ada, hanya Cindy yang mengembalikan buku catatan Sejarah Cina Kontemporerku, itu saja ... "Â
" Tapi tentu dia tahu, Cindy sudah lama mengejar-ngejarmu bukan ? "Â
" Ya, tapi itu hal yang biasa bukan ? Maksudku, Alena tidak pernah mempermasalahkannya ... ia tidak pernah merasa cemburu kepada siapa saja .... "Â
" Tidak pernah mempermasalahkannya, bukan berarti dia tidak pernah merasa cemburu, bukan ? Mungkin saja selama ini ia kesal dengan kelakuan Cindy, yang selama ini berusaha menggodamu, dan kau ... ? Kau nampak terlihat menikmatinya ... " ucap Andrean tersenyum jahil, ia mengucapkan terimakasih lagi kepada mbok Dar, karena pesanan ayam gorengnya sudah tersedia di atas mejanya.Â
" Hah ? Aku ?? Terlihat menikmati ?? Kau gila ! " ketusku sambil menggeleng-gelengkan kepala. Andrean tak menyahut lagi, ia sibuk mengunyah sambil bergumam, bahwa masakan mbok Dar tak pernah gagal membuat perutnya merasa kenyang.Â
Sementara aku, kembali mencoba menghubungi Alena.Â
                                                                      ***
Jager Cafe sore ini terlihat lebih ramai daripada biasanya, karena dari pagi Alena masih tidak bisa dihubungi. Aku memutuskan untuk mencarinya di Jaeger Cafe, tempat ia biasanya bekerja di cafe ini.Â
" Halo kak Sam, mau pesan apa ? " seorang gadis berjilbab cokelat tersenyum ke arahku, begitu aku masuk ke dalam cafe. Aku menebarkan pandanganku ke segala arah, banyak anak SMA yang sedang asik bercakap-cakap sambil menyeruput es kopi dingin nya, ku perhatikan satu-persatu. Tidak ada Alena di sini.Â
" Cari kak Alena ya ? " celetuk gadis berjilbab cokelat itu lagi. Aku hanya mengangguk.Â
" Kak Alena online class di atas, di lantai bawah berisik, makanya dia ke atas, cari tempat yang agak sepi untuk ngajar online class" ucap barista berjilbab cokelat itu menjawab, tanpa perlu ku tanya.Â
" Oh, oke ... yasudah, pesan americano ice satu ya " ucapku sambil lalu, berjalan menuju lantai dua.Â
Di lantai dua, akhirnya aku dapat menghela nafas lega. Gadis bertubuh mungil itu sedang tertawa sambil bercakap-cakap di depan laptopnya. Ia pasti sedang mengajar, hari ini jadwal mengajar dengan siapa ya ? Kok senyumnya ceria sekali, sampai tertawa lepas seperti itu. Berbeda denganku, Alena mempunyai kepribadian yang sangat extrovert. Ia selalu berhasil menghidupkan suasana, selalu menjadi pusat perhatian. Meskipun ia tidak pernah bertemu dengan para murid onlinenya, tetapi ia selalu saja berhasil membuat para murid online nya betah berlama-lama belajar bahasa mandarin dengannya.Â
" Alena ... " aku berusaha membuat suaraku terdengar riang. Padahal sedari pagi perasaanku tak menentu, namun saat ini aku benar--benar merasa lega, akhirnya aku menemukannya disini. Kenapa tidak terpikiran dari tadi ya ?.Â
Gadis bertubuh mungil, berwajah Tionghoa itu nampak terkejut melihat keberadaanku.Â
" Sam ... ? " Mulut Alena ternganga lebar, ia tak pernah memperlihatkan ekspresi seperti itu. Ia selalu menjadi wanitaku yang selalu tenang, ceria, cuek, dan selalu tersenyum. Ekspresinya saat ini benar-benar ekspresi yang baru ia perlihatkan kepadaku.Â
" Kak Sam, ini americano ice nya ... " tak lama barista berjilbab cokelat itu naik ke lantai atas, meletakan kopi pesananku di atas meja, ia tersenyum ke arah ku dan Alena, lalu undur diri.Â
" Siapa sayang .... ? Kok kamu kelihatan kaget gitu ... " hatiku terasa di cubit dengan sangat keras. Jantungku seketika langsung berdetak dengan kencang. Suara laki-laki di dalam laptop itu, aku tak pernah mendengar suara itu sebelumnya. Biasanya aku selalu mendengar suara-suara anak kecil yang heboh, tertawa, atau celetukan-celetukan dari mereka ketika Alena Laoshi --- guru les bahasa mandarin mereka, sedang mengajar online class di laptop.Â
" Itu ... murid kamu yang mana .... ? " aku berusaha mengatur irama jantungku, berusaha tetap terlihat tenang, duduk di hadapannya, tanpa mencoba mencari tahu siapa di balik suara laki-laki yang ada di laptop itu.Â
" Kamu pesan americano ice juga ? Tumben .... biasanya selalu yang manis-manis ... " ucapku lagi, baru sadar, bahwa pesanan kami hari ini sama. Americano Ice. Alena masih membungkam mulutnya, ia seperti maling yang habis tertangkap basah.Â
" Sayang ... kok kamu diam saja ? " ucap laki-laki itu lagi.Â
Aku menundukan kepalaku, menutup rapat-rapat mataku, berusaha tak melihat ekspresi Alena lagi. Meneguk habis americano ice yang ada di hadapanku. Rasa kopi yang selalu ku sukai itu, tak ku sangka saat ini sama persis dengan perasaanku saat ini.Â
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku berjalan menuruni tangga lantai dua, kemudian segera membayar americano ice ku.Â
Jakarta, 8 Juli 2023Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H