Sadar atau tidak, di era modern ini wanita dituntut serba bisa. Bisa mengelola keuangan, bisa menjadi istri super, bisa bekerja multi tasking.Â
Jika ada celah yang terlewati untuk dijalani, bersiaplah ada puluhan ribu mulut yang akan meengomentari. Lingkungan terdekat biasanya ikut andil, misalnya keluarga dari pihak pasangan atau saudara dari ibu/ayah.Â
Wanita yang memilih mengabdikan diri dirumah untuk mengurus anak dan suami, alias full wife sering kali dipandang sebelah mata. Â Padahal percayalah sediam-diamnya wanita dirumah, ia pasti akan tetap memutar otaknya untuk bisa membantu suami atau tetap berpenghasilan.Â
Hanya saja caranya berbeda, ia ingin menyaksikan secara langsung perkembangan buah hatinya. Survey yang saya lakukan ke lingkungan terdekat, selalu menghasilkan bahwa wanita yang memilih berjualan atau freelance dirumah setelah menikah selalu dianggap sebelah mata.Â
Tidak segan orang terdekat, mencemooh "sayang ijazah, malah jualan atau dirumah aja.. ga produktif banget" para ibu muda, hanya bisa menghela nafas panjang. Mencoba tenang, walau hati terguncang.Â
Kemudian saat seorang ibu memilih tetap berkarier dan menitipkan anaknya ke pengasuh, tidak akan lepas dari kenyinyiran. Â Dianggap lebih suka uang dari pada memantau perkembangan anak. Waduh, kalau sudah begitu jadi wanita harus bagaimana?
Wanita harus kuat mental, harus tahan banting dan serba bisa dalam semua hal. Jangan sampai ada salah, nanti diamuk sama para nyinyir.Â
Luar biasa tekanan yang didapatkan wanita, padahal pasangan mereka pasti sudah menyetujui setiap keputusan yang wanita itu pilih. Hanya saja lagi-lagi, seolah wanita tidak bisa memilih dan membuat keputusan. Semua yang dilakukan seolah salah dan tidak tepat.Â
Jika sepasang suami-istri sama-sama bekerja, kemudian keuangan mereka masih terlihat kurang dan tidak wah. Yang akan di hakimi pertama kali adalah wanita "dia boros, masa kerja dua-duanya tapi masih aja kekurangan.. ga bisa atur uang tuh" ringannya mulut menjudge.Â
Jika anak melakukan kesalahan atau kenakalan yang pertama dihujat pasti sang Ibu. Wanita lagi yang disudutkan. Masih banyak pemikiran yang sempit, menganggap wanita itu harus sempurna. Padahal takdir wanita itu adalah haid atau menstruasi.Â
Selebihnya adalah pilihan, pilihan yang diambil tanpa mengesampingkan tugas dan tanggung jawabnya. Wanita dituntut terus bekerja, dirumah atau dikantor. 24 jam seolah tidak cukup, lalu kapan wanita bisa punya waktu untuk menyandarkan kepala nya supaya tenang dan damai?Â
Teruntuk para pasangan sang wanita, bijaksnaa lah sadari bahwa pasangan mu hanya wanita biasa. Bukan bidaari dengan segala kesempurnaan. Rangkul lah, ajak ia bertukar pikiran. Dengarkan keluh kesahnya, sulitnya mengatur keuangan dan menyeimbangkan perannya. Sebagai ibu, istri, wanita, pekerja atau wira usaha.Â
Naluri wanita ingin selalu membantu dan ingin memberikan yang terbaik untuk keluarga tercinta. Jangan terlalu ditekan, ia juga punya mimpi dan cita-cita yang mungkin habya disampaikan dalam doa atau dalam senyap.Â
Ajak bicara dari hati ke hati, luangkan waktu kurangi main gadget dan bertukar cerita lah tentang kesibukan yang menjemukan. Tentang hari-hari penuh kemacetan dan nyinyiran.
Kita semua harus tetap menjaga kewarasan agar mampu memerankan peran secara maksimal. Support system terbaik bagi seorang wanita adalah suami dan anak-anaknya.
Dan berharap orang-orang sekitar pun mengurangi kenyinyirannya. Semangat berjuang para wanita tangguh, berikan yang terbaik namun jangan lupa kosongkan kupong dari nyinyiran yang melukai kalbu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H