Mohon tunggu...
Lala_mynotetrip
Lala_mynotetrip Mohon Tunggu... Lainnya - Terus berupaya menjadi diri sendiri

Blogger pemula|menyukai petualangan sederhana|penulis amatir|S.kom |pecandu buku|Sosial Media creative|Ide itu mahal|yuk menulis|doakan mau terbitin novel

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekompan Air Vs Mengaji

8 Maret 2018   13:30 Diperbarui: 8 Maret 2018   13:57 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Selamat siang, sobat..

Saya mau sharing sedikit, ini kisah nyata yang sempat saya alami saat masa kanak-kanak saya. Tepatnya saat saya bermukim di Sukabumi, kota nenek dari ibu saya. Ketika itu saya masih berusia 7 tahun tepatnya kelas 3 SD dan adik saya kelas 1 SD. Saat itu kami tinggal didaerah pedesaan, yups mayoritas penduduk disana bermata pencaharian sebagai petani, sebagian lagi bekerja di Kota (Jakarta, Bogor).

Suasana nya masih asri, tanah disana tanah merah. Nenek dan kakek berladang di ladang-ladang yang dibuka oleh Polutan wilayah kami. Juga mengurus beberapa petak sawah yang dimiliki beliau. Ibu saya pun membantu kakek dan nenek, ayah saya bekerja di Cirebon. Beliau pulang satu minggu sekali, untuk makanan bisa dibilang kami sangat dekat dengan buah dan sayur. 

Langsung ke inti cerita ya, sekompan air vs mengaji....Sebagian ibu-ibu pada masa itu masih membeli minyak tanah menggunakan kompan jeligen bekas minyak goreng lima liter. Kegiatan saya dan adik, selain kami bersekolah kami juga mengaji disore hari. Pukul 17:00 kami berangkat, awalnya ibu kami menitipkan kami kepada bapak Kyia Muhammad Memed, guru ngaji kami.

Wajahnya bijak, dan terpancar sinar kebaikan. Agak heran aku sebagai anak yang biasa tinggal di Kota Bogor, yups dari bayi 5 bulan aku tinggal di Bogor. Syarat mengaji disana sangat aneh awalnya bagi ku. "Ngaji yang rajin ya, setiap berangkat ngaji bawa air bersih dalam jeligen.. untuk wudhu isya" ujar sang guru, aku mangut-mangut heran. Bukan disebutkan biaya bayaran malah suruh bawa kompan?? Aku diam sambil berpikir aneh..

Muridnya juga tidak banyak hanya sekitar 20-30 orang, rata-rata usia SD. Sempat terpikir oleh ku, 'kejamnya anak kecil suruh bawa air' hhhehehee.. lumayan berat pada saat itu buat saya dan adik. Tetapi kami berusaha nurut dan memang kami ingin mengaji. Beliau selalu mengajari kami mengaji satu persatu usai itu beliau isi dengan ceramah singkat.

Sehari saya mengaji, saya menemukan jawaban bagi pertanyaan/ teka-teki dan pemikiran saya soal sekompan air bersih. Ternyata dimesjid yang kami gunakan untuk mengaji dan sholat berjamaah itu, tidak ada sumur. Tepat sekitar mesjid tidak ada resapan air, dan rumah Kyiai ke mesjid sekitar 900 meter.

Gunanya sekompan air yang kami bawa adalah untuk wudhu para jamaah dan kami sendiri. Untuk sholat magrib dan isya, kami mengaji setelah sholat magrib sampai isya.

Sebelum magrib kami isi dengan main petak umpet, golasin dan permaiana tradisional lainnya. Bukan tanpa usaha, kyiai dan warga sekitar mesjid sedang berusaha mengumpulkan dana untuk membeli mesin air dan paralon agar dimesjid dapat mengalir air juga. Mungkin pada saat itu belum terkumpul, karena jumlah warga tidaklah banyak.

Berbeda dengan situasi di Kota, kami mengaji hanya wajib bawa air untuk wudhu dan sumbangan sukarela untuk biaya listrik mesjid. Tetapi alhmdulillahnya lagi, para orang tua disana sangat apresiatif (sebagian besar) dihari-hari besar mereka mendatangi rumah kyiai untuk mengantarkan olahan, atau lain-lainya. Padahal kyiai selalu bilang syarat ikut mengaji bawa air bersih satu kompan jeligen, kurang lebih saya dan adik belajar mengaji disana 1,5 tahun.

Kami harus pindah rumah ke Cirebon, ada banyak kenangan manis di mesjid bersama kyiai dan teman-teman mengaji. Sedih juga rasanya saya harus berpindah-pindah saat sudah nyaman pada satu tempat. Kyiai pun berpesan "amalkan ilmu, jangan mengharapkan imbalan. Apalagi ilmu agama, selagi kamu bisa bekerja.. bekerjalah dibidang kamu dan amalkan ilmu agamamu secara gratis" benar beliau mencontohkan kepada kami, untuk bisa mengaji kami tidak dipungut biaya.

Kami hanya diminta membawa air bersih itu pun untuk wudhu kami juga.  Selama kami belajar pada beliau tidak pernah terdengar keluhan-keluhan soal keuangan atau apapun tentang kehidupan beliau. Pemikiran beliau bijak, setiap perkataan beliau mengandung ilmu dan wajah beliau berseri. Terima kasih sang guru masa kecil, mengajarkan nilai moral bahwa dalam menyampaikan ilmu harus dilandaskan niatan lillahita'ala.

Tidak menjadikan hal yang diajarkan sebagai sumber mata pencaharian semata, namun tetap bergerak dan bekerja dibidang yang dikuasai. Mengajar merupakan ladang untuk beribadah, dan menjadikan ilmu yang beliau miliki sebagai ilmu yang bermanfaat.

Sekian cerita saya, sekompan air bersih vs mengaji..

Semoga selalu menjadi remainder bagi diri saya pribadi dan bagi sobat pembaca ya.. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun