Mohon tunggu...
Nandita Cahyani
Nandita Cahyani Mohon Tunggu... -

Sang Pencinta Hujan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Twitter Sang Pencinta Hujan

14 Januari 2011   18:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:35 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Hujan...hujan...tetesan-tetesan air ini menggugah asaku...menyampaikan rindu dan amarahku untukmu...”

“Hujan, aroma tanah setelahmu ingin kusesap seperti kumenyesap air susu Bundaku...”

“Tanah-tanah becek penuh air hujan melekat di kakiku, tak ingin kubersihkan dan biarkan aku nikmati dinginmu, seperti kunikmati dingin rongga dada ini...”

Kuperhatikan terus time line seseorang yang kufollow beberapa minggu lalu di twitterku. Selalu tentang hujan yang tertulis di sana. Bahkan sejak pertama dia menuliskan status time line twitternya, yang kudapati hanya bercerita tentang hujan. Aku tertarik menjadi followernya ketika menelusuri tag line tentang hujan dan kudapati dia lah orang terbanyak yang menuliskan tentang hujan. Dan, hei...semua yang tertulis di sana tentang hujan, tak kudapati interaksi apapun darinya dengan orang-orang lain.

Hampir dua ratus tulisan dipostingnya dan semua tentang hujan. Dia tak menjadi follower siapapun sementara yang mengikutinya hanya 11 orang termasuk aku, itupun kebanyakan hanya user iklan-iklan pengguna twitter. Aku yakin dia seorang wanita. Dee...hanya nama itu tertulis di sana tak ada info apapun di profilnya, di biografinya pun cuma tertulis “Pencinta Hujan.” Itu saja.

Aku ingat seseorang yang juga begitu mencintai hujan, seperti aku mencintai dia. Orang yang selalu membuatku terus mencari dan mencari apa saja tentang hujan. Orang yang selalu membuatku tertunduk ketika menatap matanya, orang yang selalu membuatku gemetar ketika meraba kulitnya, orang yang selalu kurindukan selama 4 tahun ini. Oh Tuhan, mungkinkah Engkau dapat membawanya turun dari pelangi menemuiku selepas hujan. Ah, aku terlalu berlebihan, mungkin sang pencinta hujanku itu sudah melupakan aku sejak terakhir kali aku mengecup bibirnya.

Biarlah, sang pencinta hujanku sudah pergi 4 tahun lalu. Entah kemana. Entahlah aku harus membenci atau mencintainya yang pasti entah kenapa dia tak menungguku.

Kini aku tengah menikmati seseorang bernama Dee ini. Menikmati time line twitternya yang setiap hari bercerita tentang hujan. Paling tidak dalam satu hari dia akan memposting 3 atau 4 tulisan di twitternya. Dan setiap hari pula aku selalu berdebar menantikan tulisan hujannya itu. Bahkan aku selalu menunggu hingga larut malam.

Pernah beberapa kali aku mencoba berinteraksi dengannya, membalas time linenya, menyapanya dengan sapaan “Hei, hari ini cerah. Tidak ada hujan hari ini, kenapa masih menulis tentang hujan” atau dilain waktu kutulis nada gurauan “Jangan berharap hujan terus, nanti banjir.” Dan hasilnya, tak satupun sapaanku berbalas. Tapi entah kenapa pula tak hendak aku meninggalkan si Dee ini. Unfollow tak pernah terpikir di benakku meski dia tak pernah membalas sapaanku.

Semakin aku mengikuti time linenya semakin aku penasaran dengannya. Aku yakin Dee ini seorang perempuan meski foto profil yang terpajang di sana hanya setangkai anggrek hutan berwarna ungu. Aku mulai berani membayangkan wajahnya. Ugh secantik apakah dia, apakah tubuhnya sintal, lehernya jenjang, matanya elok dan bibirnya membentuk siluet dua undakan yang indah seperti milik kekasihku yang hilang. Ataukah ia seorang perempuan gemuk dengan wajah membosankan dan judes.

Apapun dia aku masih saja berdebar menantikan tulisan-tulisan hujannya. Walau dia seorang perempuan gendut dengan wajah membosankan tapi aku telah terlanjur jatuh cinta pada tulisannya. Tapi bagaimana cara aku bisa menarik perhatiannya. Sengaja aku memposting link tulisan-tulisan dan puisi-puisiku di metion twitternya, aku berharap dia membaca lalu memulai interaksi denganku. Tapi nihil, tetap saja dia tak peduli. Aku tak kecewa, aku masih saja terus me”retweet” tulisannya agar dibaca oleh teman dan followerku yang jumlahnya ribuan.

Aku pewarta muda idealis, penulis beberapa novel, cerpenis dan tulisan-tulisan kritisku sering kali dimuat di berbagai media nasional, wajar saja followerku jumlahnya ribuan. Aku sombong, aku tak akan kembali memfollow orang yang tak kukenal kecuali artis, pejabat atau aktivis-aktivis salah arah itu. Maaf saja, tidak semua pertanyaan atau sapaan kepadaku akan kureply. Hanya puja-puji untukku yang akan ku”retweet” kembali agar semua orang tahu siapa aku.

Seumur twitterku, hanya tulisan Dee ini yang ku”retweet.” Tak pernah sekalipun aku sebarkan tulisan-tulisan orang lewat fasilitas retweet itu, bahkan sekelas budayawan kondang Gonawan Mohammad atau Butet Kertarajasa itu. Bagiku, syair-syairku adalah yang terbaik. Tapi sejak sang pencinta hujan ini hadir, aku merasa bodoh. Bodoh karena aku tak mampu mencerna tulisan dan kiasannya. Kadang aku merasa kecil, ya merasa diremehkan oleh Dee sang pencinta hujan ini. Dia yang tak pernah membalas sapaanku. Padahal ribuan followerku sangat berharap kusapa untuk selanjutnya mereka sebarkan dan pamerkan pada teman-temannya sebagai satu kebanggaan.

Terkadang followerku bertanya, siapakah Dee. Kenapa aku selalu rajin me”retweet” tulisan hujannya itu. Mereka penasaran, kenapa aku begitu tertarik dengan orang yang jenis kelaminnya saja tak jelas. Tak kutanggapi, bagiku Dee ini seperti candu. Setiap aku membaca time line yang dia tulis, semakin terpacu adrenaline dalam darahku. Dan sekali lagi, aku selalu berdebar menantikan tulisannya.

Dalam debaran-debaran adrenaline yang terus terpompa dari jantung lalu mengalir kencang dalam darahku, aku terus mencoba mencari perhatiannya. Namun tetap saja tak digubris oleh orang bernama Dee ini. Semakin aku menunggu, menunggu dan membaca setiap tulisannya semakin aku yakin bahwa sang pencinta hujan ini adalah seorang perempuan.

Suatu kali aku jantungku benar-benar berdebar kencang ketika membaca time linenya. Disana tertulis kepedihan mendalam, kepedihan tentang asa dan harapan yang sirna, kepedihan tentang pengorbanan hati. “Hujan..biarlah hujan ini menghapus jejak langkahnya meski jejak itu tertinggal di dalam sini, tanpamu masih ada hujan yang menemani.” Begitu time line yang kubaca dan sejak saat itu entah kenapa tak pernah lagi ada postingan syair-syair hujannya.

Aku selalu sabar menunggu...terus kutunggu. Setiap pagi rutinitasku berganti dari secangkir kopi dan sebantang rokok menjadi pencarian syair-syair Dee. Selalu dan selalu pertama kali kuraih blackberry itu untuk menyusuri jejaknya di twitter. Dan selalu tak pernah lagi kujumpai. Malampun kunanti kehadiran syairnya, kunanti syair-syair hujan itu melukis langit malam. Wahai kemanakah engkau pencinta hujan. Ada apa denganmu, kemana engkau.

Kususuri time linemu, yang tertulis disana hanya syair kepedihan, syair pengorbanan hati yang ditulisnya terakhir kali. Kucoba beranikan untuk mengirim pesan lewat direct messages. “Selamat malam teman, lama tak membaca syair Anda. Ada kabar apa hingga tak menyempatkan diri lagi untuk menulis?” tanyaku.

Kutunggu berhari-hari tak ada jawaban, tetap saja tak ada jawabnya. Aku mulai jenuh, dan aku mulai melupakan sosok Dee yang kurindukan tulisannya. Hariku kembali seperti biasa, secangkir kopi dan sebatang rokok kembali menjadi awal pagiku. Rutinitas menulis novel yang hampir setiap waktu diingatkan penerbit untuk segera diselesaikan hingga tenggat deadline mulai mengisi hariku lagi. Meski terkadang masih mengingat Dee tapi aku sudah kembali ke dunia nyata. Meski tak pernah bertemu, jujur aku jatuh cinta pada tulisannya. Tapi sekarang khayalanku tentang dia kukubur dalam-dalam. Seperti dalamnya kukubur kisah tentang wanita hujanku yang 4 tahun lalu pergi entah kemana.

“Bung, aku tau kau selalu mengingkutiku, membaca setiap time line yang kutulis disini. Maaf aku tak membalas. Maukah kau bertemu denganku, siapkan dirimu. Senin besok tunggu aku di Vintage Coffe Shop.”

Itu pesan singkat di twitterku malam kemarin yang aku terima, dari Dee. Pesan itu cukup membuat jemariku bergetar tak terkendali. Oh, bertemu dengannya! Seorang lelakikah, tak mungkin. Ahh, aku yakin dia seorang wanita. Cantik, langsing atau gemuk dengan wajah membosankan, apa peduliku. Yang penting aku telah jatuh cinta dengan syair-syairnya.

Dan siang ini aku sudah disini, di tempat yang dijanjikannya. Hampir dua jam aku menunggu, setiap orang yang datang selalu kuperhatikan dari ujung kepala mereka. Masih saja bukan dia yang datang, itu kutahu karena jelas tak ada yang memberikan tanda-tanda mereka mencari seseorang. Kemana dia, ataukah dia sengaja mengerjaiku. Empat cangkir kopi cukup untuk membuatku berpikir untuk meninggalkan tempat ini sebelum tiba-tiba tangan itu menepuk lembut pundakku.

“Wee, aku tau kau pasti datang, karena kau selalu mencari orang-orang yang mencitai hujan bukan? “Ini aku sang pencinta hujan yang memujamu, masih ingat denganku?” suara lembut itu mengguncangku, hampir saja kepalaku membentur sandaran kursi kayu itu sebelum aku bisa menguasai diri.

Oh Tuhanku, perempuan yang berdiri di depanku ini...dia...dia... Dita, yang kucari-cari selama ini. Perempuan yang selalu menghantui tidurku. Tak mungkin aku melupakan wanita terindah yang padanya aku selalu melabuhkan asaku. Dee... bibir itu masih tetap indah, dagu lancip dengan tahi lalat di sudut kanan yang selalu aku rindu masih ada disana. Mata yang jika kau tertawa hanya meninggalkan sebaris garis hitam yang indah. Leher jenjangmu masih seperti dulu, 4 tahun lalu.

“Dita, oh Tuhan, aku mencarimu. Kau tau aku dimana, lalu kenapa tak menghubungiku?” tanyaku. “Apa salahku Dee..?” kutahan air mata yang mulai menggantung.

“Wee, jangan ditanya lagi tentang itu ya. Aku tak meninggalkanmu, aku hanya tak ingin mengganggumu mengejar cita-citamu. Sejak kau pamit bekerja di BBC London, aku sudah berjanji tak hendak mengganggumu. Cita-citamu itu sudah memberi jawaban bahwa aku hanya akan menjadi penghalangmu,” jawabnya tergagap dan kulihat aliran bening mengalir membentuk sungai kecil di pipinya.

“Penghalang? Penghalang apa? Aku memintamu menunggu, 3 tahun bukan waktu yang lama kan?” tudingku.

“Kau tau, BBC waktu itu tak mengizinkan kau menikah dalam masa ikatan kontrak kerjamu kan? Dan aku tak mau kau meninggalkan itu hanya demi aku Wee,” jawabnya pasti.

“Ketika kau pergi, aku tengah mengandung anakmu Wee. Jika aku jujur padamu, pastilah kau tak akan pergi ke London sana kan, Wee? Ini lelakiku Wee, si kecil ini yang selalu menanyakan tentangmu,” matanya beralih pada anak kecil yang sedari tadi mengerling lincah padaku. Oh, matanya...Wee kecil ini memiliki mataku, mata elangku. Oh Tuhan, betapa dosanya aku meninggalkan perempuanku hanya untuk ambisiku yang ambigu. Oh tebus salahku.

Serta merta kuraih tangan anak itu, kupeluk, kucium seperti orang kalap. “Nak ini ayah nak. Panggil aku ayah nak,” ujarku bergetar.

“Dia belum kuberi nama sampai hari ini, aku hanya memanggilnya Wee kecil,” kalimat Dita itu kembali mengguncang jiwaku.

“Dan hari ini, aku datang kesini untuk meminta nama kepadamu Wee. Kuharap engkau mau berbaik hati memberikan nama untuk anak itu, anak kita,” kembali aku terguncang.

“Baik-baik...akan kuberi nama yang perkasa untuk anak kita, sabarlah. Biar kupuaskan rinduku dulu dengannya. Kemudian kita akan berkumpul bersama lagi bukan?” tanyaku.

“Maaf Wee aku tak bisa lama, aku harus pergi. Suamiku menunggu di bawah, dia yang mengantarkanku untuk meminta nama Wee kecil kepadamu,” jawabnya tegas.

Kalimatnya bagi palu yang menghantam dada ini. Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang. Bagaimana ini, tolong aku.

“Baiklah Wee, aku tak bisa menunggumu lagi. Sudah cukup aku menunggumu Wee. Tolong beri nama anak ini, dan aku tunggu nama itu dalam pesanmu di twitterku,” ujarnya.

Dia pergi....dan aku masih disini dengan kucuran darah di nadi kiriku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun