Mohon tunggu...
Nandita Cahyani
Nandita Cahyani Mohon Tunggu... -

Sang Pencinta Hujan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Twitter Sang Pencinta Hujan

14 Januari 2011   18:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:35 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Wee, aku tau kau pasti datang, karena kau selalu mencari orang-orang yang mencitai hujan bukan? “Ini aku sang pencinta hujan yang memujamu, masih ingat denganku?” suara lembut itu mengguncangku, hampir saja kepalaku membentur sandaran kursi kayu itu sebelum aku bisa menguasai diri.

Oh Tuhanku, perempuan yang berdiri di depanku ini...dia...dia... Dita, yang kucari-cari selama ini. Perempuan yang selalu menghantui tidurku. Tak mungkin aku melupakan wanita terindah yang padanya aku selalu melabuhkan asaku. Dee... bibir itu masih tetap indah, dagu lancip dengan tahi lalat di sudut kanan yang selalu aku rindu masih ada disana. Mata yang jika kau tertawa hanya meninggalkan sebaris garis hitam yang indah. Leher jenjangmu masih seperti dulu, 4 tahun lalu.

“Dita, oh Tuhan, aku mencarimu. Kau tau aku dimana, lalu kenapa tak menghubungiku?” tanyaku. “Apa salahku Dee..?” kutahan air mata yang mulai menggantung.

“Wee, jangan ditanya lagi tentang itu ya. Aku tak meninggalkanmu, aku hanya tak ingin mengganggumu mengejar cita-citamu. Sejak kau pamit bekerja di BBC London, aku sudah berjanji tak hendak mengganggumu. Cita-citamu itu sudah memberi jawaban bahwa aku hanya akan menjadi penghalangmu,” jawabnya tergagap dan kulihat aliran bening mengalir membentuk sungai kecil di pipinya.

“Penghalang? Penghalang apa? Aku memintamu menunggu, 3 tahun bukan waktu yang lama kan?” tudingku.

“Kau tau, BBC waktu itu tak mengizinkan kau menikah dalam masa ikatan kontrak kerjamu kan? Dan aku tak mau kau meninggalkan itu hanya demi aku Wee,” jawabnya pasti.

“Ketika kau pergi, aku tengah mengandung anakmu Wee. Jika aku jujur padamu, pastilah kau tak akan pergi ke London sana kan, Wee? Ini lelakiku Wee, si kecil ini yang selalu menanyakan tentangmu,” matanya beralih pada anak kecil yang sedari tadi mengerling lincah padaku. Oh, matanya...Wee kecil ini memiliki mataku, mata elangku. Oh Tuhan, betapa dosanya aku meninggalkan perempuanku hanya untuk ambisiku yang ambigu. Oh tebus salahku.

Serta merta kuraih tangan anak itu, kupeluk, kucium seperti orang kalap. “Nak ini ayah nak. Panggil aku ayah nak,” ujarku bergetar.

“Dia belum kuberi nama sampai hari ini, aku hanya memanggilnya Wee kecil,” kalimat Dita itu kembali mengguncang jiwaku.

“Dan hari ini, aku datang kesini untuk meminta nama kepadamu Wee. Kuharap engkau mau berbaik hati memberikan nama untuk anak itu, anak kita,” kembali aku terguncang.

“Baik-baik...akan kuberi nama yang perkasa untuk anak kita, sabarlah. Biar kupuaskan rinduku dulu dengannya. Kemudian kita akan berkumpul bersama lagi bukan?” tanyaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun