Mohon tunggu...
Nandita Cahyani
Nandita Cahyani Mohon Tunggu... -

Sang Pencinta Hujan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Twitter Sang Pencinta Hujan

14 Januari 2011   18:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:35 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku pewarta muda idealis, penulis beberapa novel, cerpenis dan tulisan-tulisan kritisku sering kali dimuat di berbagai media nasional, wajar saja followerku jumlahnya ribuan. Aku sombong, aku tak akan kembali memfollow orang yang tak kukenal kecuali artis, pejabat atau aktivis-aktivis salah arah itu. Maaf saja, tidak semua pertanyaan atau sapaan kepadaku akan kureply. Hanya puja-puji untukku yang akan ku”retweet” kembali agar semua orang tahu siapa aku.

Seumur twitterku, hanya tulisan Dee ini yang ku”retweet.” Tak pernah sekalipun aku sebarkan tulisan-tulisan orang lewat fasilitas retweet itu, bahkan sekelas budayawan kondang Gonawan Mohammad atau Butet Kertarajasa itu. Bagiku, syair-syairku adalah yang terbaik. Tapi sejak sang pencinta hujan ini hadir, aku merasa bodoh. Bodoh karena aku tak mampu mencerna tulisan dan kiasannya. Kadang aku merasa kecil, ya merasa diremehkan oleh Dee sang pencinta hujan ini. Dia yang tak pernah membalas sapaanku. Padahal ribuan followerku sangat berharap kusapa untuk selanjutnya mereka sebarkan dan pamerkan pada teman-temannya sebagai satu kebanggaan.

Terkadang followerku bertanya, siapakah Dee. Kenapa aku selalu rajin me”retweet” tulisan hujannya itu. Mereka penasaran, kenapa aku begitu tertarik dengan orang yang jenis kelaminnya saja tak jelas. Tak kutanggapi, bagiku Dee ini seperti candu. Setiap aku membaca time line yang dia tulis, semakin terpacu adrenaline dalam darahku. Dan sekali lagi, aku selalu berdebar menantikan tulisannya.

Dalam debaran-debaran adrenaline yang terus terpompa dari jantung lalu mengalir kencang dalam darahku, aku terus mencoba mencari perhatiannya. Namun tetap saja tak digubris oleh orang bernama Dee ini. Semakin aku menunggu, menunggu dan membaca setiap tulisannya semakin aku yakin bahwa sang pencinta hujan ini adalah seorang perempuan.

Suatu kali aku jantungku benar-benar berdebar kencang ketika membaca time linenya. Disana tertulis kepedihan mendalam, kepedihan tentang asa dan harapan yang sirna, kepedihan tentang pengorbanan hati. “Hujan..biarlah hujan ini menghapus jejak langkahnya meski jejak itu tertinggal di dalam sini, tanpamu masih ada hujan yang menemani.” Begitu time line yang kubaca dan sejak saat itu entah kenapa tak pernah lagi ada postingan syair-syair hujannya.

Aku selalu sabar menunggu...terus kutunggu. Setiap pagi rutinitasku berganti dari secangkir kopi dan sebantang rokok menjadi pencarian syair-syair Dee. Selalu dan selalu pertama kali kuraih blackberry itu untuk menyusuri jejaknya di twitter. Dan selalu tak pernah lagi kujumpai. Malampun kunanti kehadiran syairnya, kunanti syair-syair hujan itu melukis langit malam. Wahai kemanakah engkau pencinta hujan. Ada apa denganmu, kemana engkau.

Kususuri time linemu, yang tertulis disana hanya syair kepedihan, syair pengorbanan hati yang ditulisnya terakhir kali. Kucoba beranikan untuk mengirim pesan lewat direct messages. “Selamat malam teman, lama tak membaca syair Anda. Ada kabar apa hingga tak menyempatkan diri lagi untuk menulis?” tanyaku.

Kutunggu berhari-hari tak ada jawaban, tetap saja tak ada jawabnya. Aku mulai jenuh, dan aku mulai melupakan sosok Dee yang kurindukan tulisannya. Hariku kembali seperti biasa, secangkir kopi dan sebatang rokok kembali menjadi awal pagiku. Rutinitas menulis novel yang hampir setiap waktu diingatkan penerbit untuk segera diselesaikan hingga tenggat deadline mulai mengisi hariku lagi. Meski terkadang masih mengingat Dee tapi aku sudah kembali ke dunia nyata. Meski tak pernah bertemu, jujur aku jatuh cinta pada tulisannya. Tapi sekarang khayalanku tentang dia kukubur dalam-dalam. Seperti dalamnya kukubur kisah tentang wanita hujanku yang 4 tahun lalu pergi entah kemana.

“Bung, aku tau kau selalu mengingkutiku, membaca setiap time line yang kutulis disini. Maaf aku tak membalas. Maukah kau bertemu denganku, siapkan dirimu. Senin besok tunggu aku di Vintage Coffe Shop.”

Itu pesan singkat di twitterku malam kemarin yang aku terima, dari Dee. Pesan itu cukup membuat jemariku bergetar tak terkendali. Oh, bertemu dengannya! Seorang lelakikah, tak mungkin. Ahh, aku yakin dia seorang wanita. Cantik, langsing atau gemuk dengan wajah membosankan, apa peduliku. Yang penting aku telah jatuh cinta dengan syair-syairnya.

Dan siang ini aku sudah disini, di tempat yang dijanjikannya. Hampir dua jam aku menunggu, setiap orang yang datang selalu kuperhatikan dari ujung kepala mereka. Masih saja bukan dia yang datang, itu kutahu karena jelas tak ada yang memberikan tanda-tanda mereka mencari seseorang. Kemana dia, ataukah dia sengaja mengerjaiku. Empat cangkir kopi cukup untuk membuatku berpikir untuk meninggalkan tempat ini sebelum tiba-tiba tangan itu menepuk lembut pundakku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun