Menjelang Oktober 2016, Penyuluh Perikanan daerah terkena syndrome H2C (Harap Harap Cemas). Apakah implementasi UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini cukup sakti mengubah potret buram dunia penyuluhan perikanan ?
Perlu kita pahami, dalam Undang-undang tersebut, bidang Kelautan dan Perikanan merupakan urusan konkuren. Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi serta Kabupaten/Kota. Kemudian urusan konkuren ini dipecah lagi menjadi urusan wajib dan urusan pilihan. Bidang Kelautan dan Perikanan termasuk dalam urusan pilihan. Artinya, urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh daerah sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Pada Juni 2016, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Pada pasal 38 disebutkan bahwa sebagai  implikasi dari urusan pilihan maka urusan Pemerintahannya diwadahi dalam bentuk dinas. Jadi, apakah unit kerja penyuluh perikanan nasional akan berada di dinas, baik Dinas Provinsi atau Kabupaten/Kota?
Tunggu dulu, jangan terburu-buru. Urusan konkuren memang memberikan pembagian kewenangan antara Pusat dan daerah. Namun demikian mengenai Penyuluhan Perikanan, mari kita cermati lampiran Y tentang Pembagian Urusan Bidang Kelautan dan Perikanan pada poin ke 7 (tujuh) sub urusan Pengembangan SDM Masyarakat Kelautan dan Perikanan.
Dalam lampiran tersebut nyata tertulis bahwa penyelenggaraan penyuluhan perikanan nasional; akreditasi dan sertifikasi penyuluh perikanan; serta peningkatan kapasitas SDM masyarakat kelautan dan perikanan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat TANPA memberikan bagian kepada Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika nantinya penyuluh perikanan daerah menginginkan unit kerjanya berada di KKP atau di UPT KKP.
Belajar Dari Pengalaman
Sejak diberlakukannya Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah (Undang-Undang No 22/1999 jo Undang-Undang No. 32/2004) dimana kewenangan penyelenggaran penyuluhan diberikan pada daerah, nasib penyuluh perikanan sangat tragis. Banyak daerah melakukan berbagai perubahan sporadis pada struktur organisasi penyuluhan.
Ada opini liar yang menyudutkan penyuluh dengan dalih bahwa kegiatan penyuluhan tidak memberi nilai tambah bagi keuangan daerah (baca:kekayan daerah), hanya bisa dilihat hasilnya dengan mata batin, dan hanya bisa dieksploitasi jiwa sosialnya saat genting saja, Â sebagai contoh saat terjadi bencana alam atau ketika ada wabah penyakit melanda.
Sumardjo (2006) dalam Oos M. Anwas (2013) menyatakan bahwa permasalahan penyuluhan di era otonomi daerah di antaranya: 1) adanya kesalahan persepsi pada para penyelenggara penyuluhan di daerah; 2) citra penyuluhan dianggap masih kurang baik; 3) apriori di kalangan masyarakat tertentu terhadap penyuluhan; 4) di masa lalu penyuluhan terwarnai oleh muatan politik organisasi politik tertentu; dan 5) di era otonomi penyuluhan ditinggalkan oleh sebagian penguasa di daerah karena tidak jelas hasilnya secara langsung[1].
Berselang dua tahun paska diberlakukannya UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Â Pemerintah menetapkan UU No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K). Namun Undang-undang ini tetap tidak mengubah kondisi penyuluh di lapangan.
Penyuluh semakin termarjinalkan baik dari sisi jumlah, anggaran serta peningkatan kompetensinya. Di beberapa wilayah, SDM penyuluh dimutasikan untuk mengisi jabatan struktural tertentu. Memang betul, tidak semua daerah memperlakukan penyuluh di luar tupoksi yang diamanatkan UU No. 16 tahun 2006. Namun sejak kewenangan penyelenggaraan penyuluhan diberikan pada kabupaten, mayoritas daerah meminggirkan penyuluhnya. Sebagai akibatnya, pelaku utama dan pelaku usaha yang menjadi sasaran kegiatan penyuluhan tidak terlayani dengan baik.
Meski begitu, dalam kondisi serba minim, kegiatan penyuluhan tetap berjalan. Tanpa amunisi program. Penyuluh perikanan hanya mengandalkan kreativitas dan swadaya dengan kelompok binaannya. Maka jangan berharap hasilnya akan maksimal apalagi menuntut kinerja setinggi langit. Sebab kinerja adalah fungsi dari motivasi dan kompetensi. Salah satu sumber motivasi adalah reward yang diberikan oleh pimpinan. Bukan satu-satunya, tapi salah satu, karena ada kemauan yang menjadi sumber motivasi dari diri sendiri. Penyuluh perikanan memiliki kompetensi, karena tanpa kompetensi seseorang tidak mungkin diangkat dalam jabatan Penyuluh Perikanan.
Menguji Kesaktian Undang-undang No. 23 tahun 2014
Kini Undang-undang No. 32/2004 telah dicabut dan digantikan oleh Undang-undang No. 23/2014. Tak dapat dipungkiri, penyuluh perikanan di seluruh Indonesia sangat berharap bahwa implementasi aturan yang baru akan menjadi momentum perbaikan pada penyelenggaraan penyuluhan perikanan nasional, apakah dari sisi kelembagaan; ketenagaan; pembiayaan; metode penyuluhan; sarana dan prasarana; maupun pembinaan dan pengawasannya.
Bukankah sejarah telah membuktikan, swasembada beras selain didukung oleh input sarana produksi yang memadai juga didukung oleh massifnya kegiatan penyuluhan? Walaupun kita tak dapat menutup mata bahwa terdapat kekurangan pada masa itu dimana faktor kelestarian lingkungan hidup belum diperhatikan.
Bola panas kini berada di tangan BPSDMP-KP. Sekitar 3200 an orang Penyuluh Perikanan hasil rekruitmen daerah membutuhkan kepastian dimana mereka akan ditempatkan, bagaimana dukungan anggaran untuk kegiatan penyuluhannya, bagaimana indikator capaian kinerjanya serta bagaimana mekanisme pembinaan serta pengawasannya.
Tak muluk-muluk, hanya menginginkan berada dalam satu garis komando, berada di tempat yang hak-haknya bisa terpenuhi dan mampu berbuat banyak dengan berkarya di tengah masyarakat dengan dukungan penuh Pemerintah. Jika penyuluhan dianggap penting untuk membangun SDM kelautan dan perikanan yang berkualitas, maka inilah momentum tepat melakukan perubahan.
Dan jika penyuluh perikanan dipandang sebagai asset, maka meski dalam situasi sulit dimana anggaran terbatas, KKP akan tetap concern untuk mengurusinya. Namun sebaliknya, jika penyuluh perikanan dianggap sebagai beban, jangan terlalu berharap Undang-undang No. 23 tahun 2014 akan dilaksanakan sesuai mandatnya. Semoga Undang-undang ini sakti dalam upaya mengembalikan fungsi penyuluh perikanan sebagai agent of change dalam pembangunan masyarakat Kelautan dan Perikanan.
Bravo Penyuluh Perikanan.
Anda, Kami, Kita semua bergerak untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.
Referensi :
1. Anwas, Oos M. 2013. Pengaruh Pendidikan Formal, Pelatihan dan Intensitas Pertemuan terhadapKompetensi Penyuluh Pertanian. Jurnal. Pustekkom kemdikbud. Banten.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H