Mohon tunggu...
Immanu-EL  Dwi
Immanu-EL Dwi Mohon Tunggu... Reporter -

I am a journalist and I want to share a cup of life with you

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Why Do I Love Psychology"?

15 Oktober 2018   19:11 Diperbarui: 15 Oktober 2018   19:17 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

..................hmmmmmmmmmmmm...................

Karena ada temen suka nulis, tiba -- tiba juga kepikiran nulis. Tapi  awalnya mikir, mau nulis apa ya? Sejarah PKI? Sejarah Renaissance? Sejarah Gereja? Ilmu Komunikasi? Teologi? Atau Cuma nulis bualan aja? (yahh, udah sekolah tinggi2 cuma pinter membual aja).

Finally nemu juga idenya, aku lagi suka sama subjek Psikologi (Mas EL Psikolog? / Of course NOT). Meski aku bukan anak jurusan psikologi, tapi aku cukup tertarik juga sama bidang satu ini. Meski gak dapat ilmu psikologi secara mendalam, setidaknya dapat mata kuliah Psikologi Komunikasi udah sedikit buat aku paham mengenai sejumlah teori di dalamnya.

Well, kenapa aku terarik sama bidang ini? Karena emang dari remaja (emang pernah remaja mas? Bukannya tua dari lahir?) suka sama bidang ini. Waktu SMP pernah kepikiran juga pengen ambil jurusan ini untuk kuliah. Tapi entah kenapa semesta membawaku ke jurusan Ilmu Komunikasi. But, its O.K aku tetap dapat mata kuliah psikologi, meski cuma sedikit banget.

Memang setelah masuk jurusan Ilmu Komunikasi, aku gak terlalu tertarik lebih dalam lagi sama bidang ini. Tapi setelah lulus, lebih tepatnya setelah aku ngelewati proses yang juga dialami manusia lainnya, aku jadi kembali lirik  this subject. Tujuannya buat jelaskin kenapa aku dan semua orang bisa memiliki respon tertentu setelah mendapatkan pengalaman yang "menarik" (WHAT?? MENARIK??? NANTIKAN CERITA DI LAIN HARI kenapa saya bilang ini menarik).

Pengalaman "menarik" inilah yang kemudian buat aku bertanya "Why did I do these things?"  and "Why did others do like that?" Salah satu hal yang "menarik" itu adalah saya pernah minder. And the next question was "Why did I look down to myself?"

Dari sinilah, aku kemudian koreksi diri lewat ilmu psikologi. Salah satunya adalah S-C-T (ayo anak psikologi / komunikasi apa itu S-C-T?) Yess, Social Cognitive Theory. This theory berbicara mengenai "mengapa perilaku seseorang bisa menjadi seperti ini?"

Dari sini, aku terus koreksi diri sendiri, alias introspeksi diri dibantu dengan teori ini. Akhirnya, nemu juga hal -- hal yang buat aku jadi minder. Aku langsung bongkar-bongkar alam bawah sadar, terus sedikit demi sedikit berubah dalam pola pikir. Akhirnya aku sadar, kalau dulu ternyata aku sangat menyebalkan (sekarang masih nyebelin juga kok mas.:p). Yah, sekarang emang masih nyebelin juga, tapi dulu lebih parah lagi nyebelinnya. Ibarat 20 orang nyebelin dijadiin satu itulah aku dulu. Mungkin sekarang masih 5 orang nyebelin dijadiin satu. Masih nyebelin sih tapi udah kurang gpp kan? heheheh

Nah dalam teori ini, dijelaskan bahwa perilaku seseorang menjadi demikian adanya karena diakibatkan oleh banyak faktor. Faktor -- faktor ini yang kemudian dikelompokkan menjadi 2 hal. Faktor dari dalam yang kemudian disebut faktor kognitif, dan faktor dari luar yang kemudian disebut sebagai faktor sosial.

But, wait I'm not telling you about this theory deeper. Cuma, aku akan ngebahas soal hal positif setelah belajar teori ini.  Aku  jadi belajar gimana memahami dan menghargai orang lain. Karena aku jadi tahu, bahwa setiap orang memiliki pengalamannya masing -- masing. Pengalaman itulah yang pada akhirnya membentuk perilaku mereka. Pengalaman mereka bisa senang bisa juga menyakitkan. Pengalaman yang bisa membangun hidup mereka bisa juga pengalaman yang menghancurkan hati mereka. Dari social -- cognitive -- theory inilah aku selalu berpegang sebelum menilai orang lain.

Beberapa waktu ini, akhirnya aku mulai menyadari teori ini membantu untuk sedikit peka terhadap orang lain.  Why? Karena beberapa kali ketemu orang -- orang yang menyebalkan (menurut saya loh ya/ bisa jadi menyenangkan menurut orang lain). Awalnya udah pengen judge mereka kalau mereka tidak menyenangkan dan ga usah deket -- deket lagi sama mereka. But wait,  jangan menghakimi mereka dulu. Aku kan juga dulu (iya sekarang juga masih....) menyebalkan. Aku juga langsung inget lagi sama social -- cognitive -- theory tadi. "dia seperti ini karena dia pasti punya masa lalu yang ga enak" pikirku waktu itu.

Setelah ngobrol beberapa lama, akhirnya mereka juga cerita sendiri pengalaman -- pengalaman mereka. Well, seperti yang sudah kuduga sebelumnya bahwa mereka pasti punya pengalaman buruk. Ternyata dugaanku benar. Bersyukur aku ga jadi langsung menghakimi mereka dan membenci mereka.

Karena kalau aku membenci mereka, aku sebenarnya menambah beban penderitaan buat mereka. Mereka telah mengalami berbagai macam penolakan, lack of love both from their family and their friends. Ketika aku benci mereka, bahkan itu hanya di dalam hati misalkan. Aku tetap menjadi salah satu dari sekian banyak deretan orang yang membuat mereka menderita. 

Meski secara langsung kita semua punya alasan buat tidak menyukai mereka karena perilaku mereka. Tapi jika dilihat secara lebih dalam, perilaku mereka juga memiliki latar belakang. Aku jadi melihat bahwa kebencian kita ga akan pernah merubah mereka sedikitpun menjadi lebih baik. Kebencian kita hanya akan menambah mereka justru lebih parah.  

Dari ilmu psikologi, aku jadi bersyukur bahwa aku mulai belajar untuk tidak menghakimi orang lain dan menyimpan kebencian terhadap orang lain. Saya kemudian belajar melihat orang lain dari sudut yang berbeda, yaitu untuk mengasihi. 

Karena aku percaya yang dikatakan Martin Luther King Jr. (siapa coba? Bukan reformator gereja ya, tapi tokoh kulit hitam di Amerika), beliau berkata "Kegelapan tidak akan pernah bisa melenyapkan kegelapan. Hanya TERANG yang bisa. Kebencian tidak akan pernah bisa meleyapkan kebencian, hanya KASIH yang bisa."

(loh mas, ini nulis psikologi atau curhat atau humanism?) yah,, apalah penilaian kalian soal tulisanku. Intinya aku lagi seneng sama teori psikologi ini, yang dihubungkan dengan humanism, dan pengalaman pribadi. Jadi mau dinilai tulisannya terkait apa terserah. Heheheh. Aku harap tulisan ini berfaedah, kalau unfaedah ya semoga aku bisa nulis lagi lebih baik. Maklum, terakhir nulis ginian 2 tahun yang lalu itupun soal sejarah Hagia Sophia.  Well, I think I'm done. See you next time!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun