Hayati kutipan berikut ini : " .........Demikianlah , setelah perundingan-perundingan menemui jalan buntu dan keputusan dari Jakarta belum juga mereka terima, Belanda dengan diam-diam berusaha membangun garis-garis pertahanan-nya dan batas-batas daerah statusquo menurut keinginan-nya sendiri dengan berbagai provokasi dan kekerasan senjata. Dari sehari ke sehari pertentangan semakin meningkat juga, insiden-insiden bersenjata di sana sini selalu terjadi .........     Mula-mula tanggal 21 dan 22 Nopember (pen. 1946 ) mereka melakukan penyerobotan hartabenda penduduk di Pulo Brayan (Medan Utara). Tanggal 27 Nopember kembali menembaki pos-pos lasykar rakyat yang berada di stasion Mabar (masih di Medan Utara) sehingga meniwaskan seorang lasykar rakyat (Jalaluddin), seorang luka (Paiman) Komandan pos, dan seorang lagi ditawan (Ayub) semuanya anggota kompi Bedjo Batalyon -III RLRMA *). Pihak RI membalas tindakan ini sehingga meniwaskan seorang serdadu Belanda. Tanggal 29 Nopember kembali Belanda menteror pos pasukan kita di Padang Bulan (Medan Barat) dengan kekuatan satu seksi, sehingga pasukan RI menderita kerugian seorang tiwas (Roepi), seorang luka (M. Amin) dan dua orang ditawan (Amat Panjaitan dan Jeroes)............"
Kutipan di atas untuk bahan menghayati bagaimana suasana Perang Kemerdekaan berlangsung --- bold oleh penulis untuk mendramatisir --- karena penulis maupun generasi yang lebih muda tidak turut berperang dalam Revolusi Kemerdekaan RI itu.
Tahun 1946 penulis berumur 3 tahun --- di rumah ada dua anggota keluarga yang menjadi pejuang gerilyawan, anggota Lasykar Rakyat --- paman 16 tahun, B. Jusuf; dan Abdul Hamid (lebih tua sedikit dari paman), seorang pelayan keluarga.
Para gerilyawan itu sering datang malam-malam, atau utusan --- karena nenek selalu menyiapkan extravoeding buat mereka di hutan atau perkebunan --- berupa serundeng atau dendeng ragi. Mereka selalu terdengar bercerita atau memuji-muji keberanian dan kecerdasan komandan perang mereka : pak Bedjo !
Penulis selalu merekam dan mem-fantasikan perang kemerdekaan itu --- dari cerita dan bahkan taktik yang dipergunakan mereka. Mencekam, membanggakan, dan sangat ingin terlibat dalam perang dan petempuran sebagaimana dikisahkan para gerilyawan itu. Fantasi-ku bermain-main di benak saat-saat menjelang tidur.
Pak Bedjo adalah idola impian-ku.
Konon, menurut cerita nenek-ku --- di bawah pohon jambu bol (jambu Darsono) saat bunganya berguguran --- memerahkan halaman tanah di depan rumah, tempat aku bermain sendirian ( rumah kami terpencil) . aku sering memetakan pertempuran dengan narasi-ku sendiri --- sehingga hal itu sangat menakutkan nenek --- apabila ada "kaki tangan" mendengar dan mengusut. Kami bisa diciduk bila Belanda menyerang.
Kami saat itu dalam masa pengungsian --- rumah besar itu mungkin rampasan kaum pejuang yang menempatkan kami di sana. Tiga anggota keluarga yang wanita; Busah , Encik dan Bucik, ketiganya adik-adik ibu-ku --- di front sebagai Srikandi. Di rumah itu hanya aku dan nenek --- yang aku panggil Atuk ! Terkadang saja para gerilyawan itu mengunjungi kami di malam hari untuk mengambil bekal. Aku sangat mengangumi senjata yang mereka bawa --- kuingat, senjata itu bernama Sten gun, L.E. ( Lee Einfield ) dan pistol --- juga terkadang ada potongan mesiu sebesar pensil, berwarna coklat tertinggal di sana --- konon kalau disulut dengan api akan terbang seperti mercon. Aku bangga dengan kenangan itu.
Ini satu lagi kutipan, hayatilah : "..........dan sebagai reaksi dalam sekejap mata, musuh memuntahkan semua peluru-peluru lintasan darat, mortar dan artilerinya. Tidak ketinggalan pesawat-pesawat pemburunya mengadakan straffing terhadap pasukan-pasukan kita yang sedang bergerak menuju kubu-kubu musuh.Di tengah-tengah desingan peluru inilah tiba-tiba suatu voltreffer (tembakan tepat mengenai sasaran). Meledak di tengah-tengah kelompok  Komando Mayor Martinus Lubis. Seketika itu juga, kedua ajudannya Sersan Mayor Umar dan Muchtar jatuh terkapar, gugur sebagai kesuma bangsa. Tubuhnya hancur luluh berkeping-keping, sedangkan Mayor Martinus mendapat luka berat pada paha kanannya, remuk terkena pecahan peluru mortar, Letnan Zainuddin kemudian memerintahkan kepada Palang Merah dibawah pimpinan Marpaung untuk menyelamatkan Mayor Martinus ke garis belakang pertempuran. Ia tiwas kemudian sebelum mendapat pertolongan dan gugur sebagai kesuma bangsa . Jenazahnya keesokan harinya tanggal 16 Pebruari 1947 dimakamkan di Makam Pahlawan Pematang Siantar..........."
Serangan udara berkali-kali aku alami --- pesawat Mustang yang ditinggalkan kontingen Inggris untuk Belanda itu --- sangat efektif menjadi andalan Belanda untuk menggempur posisi Lasykar Rakyat. Apabila kami tidak meninggalkan rumah, saat ada serangan udara --- kami berdua telah terlatih untuk masuk ke dalam lubang perlindungan di halaman rumah. Yang paling indah dalam hidupku mengalami perang kemerdekaan itu --- di lubang perlindungan, bila lapar nenek menyediakan nasi dan serundeng udang. Wah bagi bocah seumurku --- perang itu sangat mencekam, menggoda dan sama sekali tidak menakutkan. Heroik !
Kota kecil kami akan direbut Belanda --- lasykar telah membumi hangus bangunan, terutama di perkebunan --- kecuali Rumah Sakit. Kami diperintahkan mengungsi.