Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mini Cerpen (31) Sri Amethyst Al-Tuhra

20 Mei 2010   03:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:06 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gadis ABG ini mempunyai karater yang sangat baik --- ia belajar teratur dan terencana, pergaulannya pun sangat terukur, yang istimewa ia telah mempunyai rencana hidup ke depan. Umurnya 16 tahun, anak SMU kelas II. Karena ia mampu mengapresiasi seni --- gejolak remajanya pun tergoda untuk bergabung dengan komunitasnya --- hura-hura dalam acara TV.

Teman-teman sebayanya berjingkrak-jingkrak, bersorak-sorak --- mereka senang bernyanyi dan bergoyang dengan para presenter dan penyanyi pujaan. Wajar mereka ingin menampilkan dirinya di tengah komunitas --- seumur dan bisa mengaktualisasikan diri mereka.

Di teleponnya ada fotonya dengan penyanyi pop --- yang lelaki ada, yang perempuan pun ada --- ini yang istimewa dengan penyanyi cilik idola. Memang anak remaja membutuhkan ruang dan komunitas yang ceria dan dihargai.

Ayahnya mendengar kalau Tiis --- panggilannya, sudah ada kawan dekatnya. Ayahnya adalah pemilik Pesantren Al-‘Arifiah di Ciawi --- perguruan itu selain Madrasah Diniyah juga menyelenggarakan Sekolah Umum dari Play Group sampai SMP. Itulah mengapa tiis bersekolah di SMA Negeri, karena di perguruan ayahnya belum ada tingkat SMU --- juga ada maksud Kyai Ramli Arifiansyah agar Tiis menghayati cara pendidikan di sekolah negeri. Karena ada maksud ayahnya agar dikemudian hari Perguruan itu akan dikelola Sri Amethyst.

Kegiatan luar sekolah Tiis memang dibimbing untuk bebas ke luar pesantren --- walaupun Tiis juga hidup di asrama bersama santri putri lainnya --- kegiatannya mengikuti hura-hura bersama para ABG di acara TV, telah terdengar oleh ayah ibunya. Ayahnya telah memiliki rekaman videonya --- di acara itu Tiis menampilkan sosok yang samalah dengan anggota komunitasnya --- ber-sorak-sorak, riang gembira, bergoyang dan turut beramai-ramai menyanyi dengan penyanyi pujaan mereka. Happy !

"Tiis, abah ingin mengingatkan batas pergaulan Tiis --- kegiatan seni, apresiasi seni abah mendukung. Tetapi kalau berjingkrak-jingkrak dengan busana muslim-mu --- kok rasanya tidak pantas, Is. Dengan jilbabmu kamu boleh menghayati irama, tetapi harus dalam batas goyangan yang wajar. Kalau pun gembira, sebagai muslimah --- jangan angkat suara-mu sampai tidak sadarkan diri. Dan satu lagi. Ayah ingin tangungjawabmu terhadap pelajaran tidak boleh terganggu, berkurang perhatian --- UAN harus kamu menangkan. Itu target !"

"Iya-bah" Amethyst menunjukkan kepatuhan dan pengertiannya.. Tiis memang anak yang patuh dan taat pada orang tua --- ia sudah menangkap apa batasan yang ditetapkan ayahnya. Amethyst adalah anak bungsu dari empat bersaudara --- tetapi ia mempunyai jarak umur yang sangat jauh dengan kakaknya Usman.

Usman kini 28 tahun, seorang insinyur yang kini bekerja di Petronas, yang beroperasi di Yaman.. Pasangan Kyai Ramli dan Ustadzah Siti Hafsah tidak menyangka akan hamil lagi setelah lebih sepuluh tahun melahirkan Usman. Anak pertamanya Siti Fatimah, kini telah berkeluarga, profesinya wartawati. Mereka tidak tinggal di lingkungan pesantren. Anak kedua Salahuddin, kini menjadi dosen di Papua, juga sudah berkeluarga.

"Yang mana pemuda itu, yang kau katakan kawan akrab si Tiis ? tanya Kyai kepada Ridwanul Arifin, keponakannya yang menjadi informan Sang Kyai. Mereka sedang memutar video acara Hura-Hura Wow-wow ."Itu Bi, pemuda gondrong yang berbaju kotak-kotak dengan topi baret itu "

"Sampai di mana pergaulannya, kau lihat ?"

"Acara itu ‘kan tiap saat Minggu pindah dari satu mall ke mall lain --- makanya si Tiis selalu minta ijin main keluar setiap Minggu siang setelah kuliah subuh. Terakhir ‘kan saya antar ke mall PGC --- pulangnya Tiis, katanya tidak usah ditunggu. "

"Mereka berboncengan motor !"

Informasi terakhir itu merisaukan Kyai. Ia berunding dengan isterinya. "Bagaimana mi, abah pikir umi harus mulai bertindak."

Mereka memang menghargai apresiasi seni --- memang Amethyst juga turut dalam kegiatan drama dan deklamasi puisi. Kegiatannya di internet juga dibimbing. Bebas dalam koridor !

"Bapak lihat model anak muda itu, berandal, bergajul juga tampangnya" Mereka memutar video itu lagi. Mereka amati satu persatu tampang anak-anak ABG dalam film itu --- ya model pakaiannya macam-macamlah --- tetapi yang berjilbab juga banyak. Mereka hura-hura bergembira. Ibu memperhatikan body language "si pemuda", yang menurut informan, kawan dekat Tiis.

Selesai sholat Isya, ibu memanggil Tiis, berbicara empat mata --- ibu dan anak puterinya, yang ABG.

"Is, pergaulan di acara TV, semacam yang Tiis ikuti --- bunda kurang setuju, banyak kegiatan seni yang lebih sehat. Dan acara itu bunda lihat memakan waktu --- lantas audiensinya bermacam-macam coraknya. Kamu telah mengalaminya, bunda pikir sudah cukup-lah. Carilah komunitas lain yang lebih merangsang kepintaran dan mendorong kreatifitas senimu."

"Umi, bunda --- acara itu memicu kegembiraan, dan Iis ingin mempelajari seluk beluk acara itu, yang menyangkut bisnis --- bisnis iklan bunda. Memang anak-anak di sana pada umumnya mencari hiburan, mencari penghargaan batinnya, mencari pengakuan kelompok mi --- mereka anak-anak baik mi --- mereka ingin mendapat pengakuan dari komunitasnya. Mereka sedang mencari bentuk pengakuan yang lain, lain dari komunitasnya di sekolah atau di rumah. "

"Iya, tetapi ragamnya ‘kan tidak dapat dikontrol --- umi lihat macam-macam temperamennya, dari pakaian dan penampilannya. Umi dan Abah kuatir Tiis terpengaruh dengan pergaulan negatif "

"Enggak mi --- kami hanya menikmati acara itu, lantas pulang. Mi, saya ingin menulis tentang peranan Artis dalam industri iklan, mi"

"Bolehlah, tetapi ..........tetapi apakah Tiis telah mempunyai teman yang spesial di sekolah atau di komunitas acara TV itu ? Kedua ibu dan puterinya saling berpandangan. Segera kedua mata yang beradu itu memancarkan kebijaksanaan seorang ibu dan kepasrahan seorang anak puteri. "Hati-hati ya Is --- pergaulan jaman sekarang banyak ancaman yang merugikan kaum putri, kaum perempuan."

"Mi, ada ...............si Boy, anak SMA negeri Jakarta Timur --- dia anak baik, mi. Dia pemain band di sekolahnya".

"Kenal di mana dengannya ?"

"Di acara Hura-hura itu mi, waktu di Cawang --- dia anak bagus mi, dia pengurus majalah dinding, mading di sekolahnya mi. dia pintar mengarang mi ". Tiis mencoba menerangkan prihal si Boy "

"Namanya siapa, nama lengkapnya siapa ?"

"Boy Rangkong mi"

"Boy Rangkong, anak orang apa itu --- Islam ?"
"Muslim mi, dia ikut pengajian di sekolahnya mi"

Abah dan Umi (memang kadang-kadang si Tiis, sebagai anak ragil yang manja --- memanggil "bunda") menonton acara semacam di berbagai stasiun TV untuk mengevaluasi pra - selama acara - dan pasca acara, untuk mengantisipasi pergaulan anaknya. Kesimpulannya Tiis dilarang untuk mengikuti acara semacam itu, sudah cukuplah--- kompensasinya agar menggiatkan pergaulan internet dan apresiasi seni di pesantren.

Tujuannya membatasi pergaulan dengan si Boy, yang tidak sesuai dengan tingkat umur si Amethyst.

Setiap Minggu subuh di Mesjid pesantren diadakan kuliah subuh --- membahas Tafsir Al Qur'an, Hadist, dan Fikih --- acara terakhir tanya jawab dengan Kyai --- Kyai tidak menyadari bahwa pekan ini ada seorang anggota jemaah baru di sana --- memang seperti lazim pengajian dan kuliah di pesantren --- bersifat terbuka. Siapa saja, tingkat pengetahuan mana saja --- umur dan jenis kelamin --- terbuka dan bebas untuk mengikuti, hadir atau absen. Bebas dan merdeka. Banyak para santri dan hadirin --- kyai tidak dapat memperhatikan satu per satu. Biasa acara penutup adalah menyanyikan salawat Rasul, bersalaman dengan kyai --- banyak yang mencium tangannya --- dan kalau ada rejeki boleh menyisipkan sumbangan untuk pesantren.

Kyai Ramli terbayang kembali --- seperti adegan film --- ia sadar setelah pemuda itu lewat dalam kerumunan hadirin. Pemuda gondrong dengan kemeja jeans berkopiah.

Minggu ini pun kyai tetap memberikan tausiah dan kuliahnya --- acara itu diawali dengan sholat Subuh berjemaah. Sewaktu memberi ceramah kyai tidak mengingat kesan pemuda minggu lalu. Tetapi saat istirahat menjelang tanya jawab --- kyai mencoba memandang sekitar hadirin --- tidak terlihat pemuda gondrong yang spesifik itu. Ia melanjutkan acara.

Waktu salaman kembali sosok pemuda itu terlewat.

Siang, sang informan mengabarkan bahwa, setelah habis kuliah subuh, terlihat Tiis bertemu dengan pemuda gondrong di bawah pohon palm di taman pesantren. Pertemuan sebentar saja, kemudian dengan berboncengan pemuda itu meninggalkan mesjid. Abah dan umi bersikap status quo, abstain.

Minggu berikutkan, kyai melihat ada dua tiga motor, pemuda berboncengan mengikuti sholat berjemaah di mesjid --- diantaranya si pemuda gondrong --- pemuda-pemuda itu rata-rata gondrong --- pemuda spesifik itu memakai celana jeans dengan baju koko putih.

Seperti biasa kyai memberi ceramah --- tetapi kali ini matanya mencoba mencari di mana duduknya kelompok pemuda tadi ---- O, mereka di tengah saf mesjid ............dan mereka mencatat isi ceramah. Mereka pemuda yang aktif !

Kyai mencoba memperhatikan tiap hadirin yang menyalaminya. Tiba rombongan pemuda-pemuda itu --- kyai ingin mengawasi sikap dan wajah para pemuda itu. Bagus ( mana si Boy Rangkong ?)

Boy Rangkong telah mencium tangan kyai --- entah telah berada kalinya. Saat itu Kyai kecewa !

Satu per satu para santri, hadirin tua muda --- banyak mencium tangan kyai. Hati kyai sedang bergolak. Walaupun kumandang salawat tetap terucap dan terdengar.

Kyai dan umi berunding sambil sarapan pagi --- kyai kecewa. Kyai Ramli mengutarakan kekecewaannya.

"Mi, tangan anak itu ber-tattoo mi --- entah gambar apa di antara jempol dan jari telunjuknya" tampak kyai sangat kecewa dari raut wajahnya. Ibu Tiis memandang wajah suaminya..

"Itu anak berandalan mi --- panggil si Tiis, umi bicarakan dengan si Tiis ".

"Is, abah senang, kawanmu itu mengikuti kuliah subuh di sini --- dan ia juga telah membawa rombongan. Tetapi janganlah bergaul lebih jauh dengannya --- kawan biasa saja ya. Abah dan umi tidak mau pelajaran Tiis terganggu. UAN harus dimenangkan sekali jalan ya. " Abah memalingkan wajahnya ke umi.

"Is, abah melihat si Boy itu mempunyai tattoo di punggung tapak tangannya. Iis tahu nak ?"

"Abah tidak suka tattoo itu " ditambahkan umi.

"Iya mi ada tattoo burung Rangkong di situ"

"Ha ? gambar burung rangkong ?" disambar Sang Kyai

"Di mana lagi ?" kejar Sang Kyai

"Enggak tahu Bah " jawab Tiis sambil bergantian memandang wajah ayah ibunya.

"Pemuda brandalan biasa juga kulihat mentattoo dengan gambar kawat berduri di leher dan lengannya"

"Itu tanda brandalan --- hati-hati Is. Abah dengar kamu ketemu dengannya di taman --- apakah di sekolah, di luar masih berjumpa khusus dengannya ?"

"Is tidak pernah mengikuti acara TV itu lagi Bah --- tapi kami pernah berjumpa di acara panitia maulid nabi di mesjid Al Falah Jakarta Timur --- Tiis akan mengisi pembacaan puisi Maulid --- deklamasi dengan drama penyambutan masyarakat Mekah atas kelahiran Rasul --- pembawa akhlak karimah. Berjudul " Bu'istu Lil Karimal Akhlak" --- Muhammad Rasulullah dilahirkan untuk membangun Kemuliaan Akhlak".

Kyai dan umi termangu.

Kyai pernah ingin merazia handphone dan facebook si Tiis, untuk mengetahui sampai di mana intensitas hubungan anaknya dengan si Boy tetapi kyai dan umi tidak sampai hati.

"Is, abah dan umi tidak mau prestasi belajar Tiis menurun ya --- pusatkan saja perhatian pada UAN --- Is ‘kan ingin menjadi orang sukses --- wanita sukses. Kesuksesan dimulai dengan prestasi di sekolah. Itu tanggungjawab Tiis ya " petuah umi. Sri Amethyst Al Tuhra mengangguk patuh.

"Apa acara Tiis ini hari ?" tanya Abah.

"Menulis dan mengirim tulisan ke redaksi majalah remaja yang dipimpin si Boy Rangkong --- mengirim via internet Bah. "

"Jadi tidak ke luar rumah ?"

"Setelah itu, Tiis dan kawan-kawan akan mengunjungi Pameran Buku, Abah "

"Okay !"

Tinggal-lah Abah dan umi berbincang tentang pergaulan anaknya, pemuda bertattoo --- dan kegiatan remaja di bidang dakwah. Terdengar adzan Zuhur --- Kyai berangkat ke Mesjid Al ‘Arif di halaman pesantren. Tergambar pemuda dengan pakaian muslim --- gondrong, sebenarnya gagah pemuda itu --- di benaknya tergambar tattoo burung Rangkong, Orang Melayu di Sumatra dan Kalimantan menyebutnya Burung Enggang --- di Jawa disebut burung Rangkong. Kyai memandang ke puncak Menara Mesjid ...........orang Jawa menyebut burung rangkong, di mana burung rangkong Jawa --- mengapa tinggal nama ?

Hati Kyai Ramli masgul --- bukan hanya masalah pergaulan remaja masa kini --- di mana salah satu anaknya, anak bungsunya berada --- tetapi mengapa terlalu banyak kekayaan alam di Jawa dan di Indonesia --- lenyap. Tanpa kesedihan yang mendalam di hati penduduknya.

Mengapa budaya kita begitu lemah, lembek, tak mempunyai karakter. Kyai berlinang air mata --- tergambar di pelupuk matanya, burung enggang yang terbang melintas di pantai Pulau Bengkalis --- menuju ke pulau kecil di seberangnya. Masih adakah ? Apakah anak dan cucu si Amethys bisa melihat burung liar alamiah seperti yang dialaminya dulu. Airmata Kyai berlinang. Terharu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun