Si Benyek di lingkungan komunitasnya tidak mempunyai riwayat hidup, layaknya manusia Indonesia. Tahu-tahu ia sudah berada di lingkungan situ. Dengan satu anak. Anak itu  belum bisa berbicara, bisu atau bagaimana. Tampaknya karena si Benyek tidak mengajarnya , bicara.
Sarang si Benyek, berupa rimbunan pohon bunga bougenvile, kalau hujan diikatkannya selembar plastik --- tampak ia membuat parit di sekeliling rumpun kehidupan itu. Mungkin peninggalan budaya agraris nenek moyang si Benyek. Aman ia dari air musim hujan.
Miskin pangan miskin Budaya !
Setiap pagi ia memberi aba-aba anaknya, berangkat memulung. Ada rute tetap yang dijalaninya. Satu titik yang ia harus dilewati.
Rumah tingkat warna biru. Di atas tembok, pembantu rumah itu selalu meletakkan kotak sisa makanan enak. Itu rumah kos.
Di situ langganan makan pagi anaknya. Ada roti-rotian, kadang tulang ayam dengan secuil sisa dagingnya. Enak sekali di-isap-isap anaknya. Sebelumnya untuk itu ia harus berebut dengan anjing dan kucing di bak sampah rumah itu. Perkelahian ia dengan binatang-binatang itu membuat trenyuh salah satu anak kos. Itu makanya sisa makanan waralaba impor itu sekarang harus diikat dan diberati batu, letaknya di atas tembok.
Diletakkan di atas tembok. Untuk makan orang miskin, yang punya anak kecil itu.
Sedikit terhibur rongga mulut mereka dengan resep makanan sisa, belepotan liur anak kecil itu. Mereka kembali melata-lata berebut sampah buangan. Kerjaan yang menghibur --- dan meletupkan semangat optimisnya, kalau dapat botol plastik dan karton, yang harga jualnya lebih mantap. Ada kaleng, potongan besi, mainan anak-anak --- pokoknya hati happy kalau dapat sampah yang berharga.
Seperti perasaan kita juga kaum kantoran yang dapat bonus, atau birokrat yang menyambar amplop dari dalam map rakyat minta pelayanan.
Atau kaum berpakaian dinas mengutip gulungan duit dari genggaman supir. Itu lagi orang berpakaian dinas mengutip kotak korek api di jalan tol.    Ada mobil patroli mereka di sana. Atau kenek menepi untuk salam tempel. Persis kelakuan dan perasaan si Benyek !
Anak itu seperti tidak punya nama --- karena si Benyek berkomunikasi dengannya, pakai aba-aba atau kontak fisik. Tetapi komunitas pemulung terkadang memanggilnya "Nok-nok". Sepertinya ia tidak bisu. Memang berbahasa anak manusia harus diajari. Anak itu kira-kira berumur tiga tahun --- ia bermain sepanjang jalan, mengais-ngais, turut membersihkan lepotan entah apa dengan tangannya yang mungil.
Ia gembira dan polos. Pohon-pohon di pinggir jalan banyak yang menangis menyaksikan anak manusia itu.
Ia kadang-kadang berlari gembira, ia ceria meng-ontang-anting boneka tanpa baju itu.
Si Benyek dan anaknya menyetorkan temuan hasil memulung pagi sampai siang --- ia dapat duit Rp. 4.500,-- . ia belikan nasi di warteg Rp.3500,-- . dapat nasi sayur dan beberapa potong gorengan, diberi pula seplastik teh tawar. Dengan ceria anaknya bergantung di baju si Benyek --- menuju pohon rindang di tepi jalan . Mangan !
Kalau ada hujan mereka akan mengaso di bawah jembatan tol --- tetapi lebih semilir tidur-tiduran di rimbunan bougenvile rumah mereka.
Sore hari mereka akan mengedar lagi, memulung sampah --- karena siang dan sore ada saja orang kaya yang membuang sampah berguna.
Anak si Benyek masih tertidur siang bolong itu - si Benyek melihat matahari telah tergelincir, bayang-bayang  pohon di seberang jalan telah menimpa rumah pohonnya. Ia menarik-narik kaki anaknya, membangunkan.
Anak itu menggeliat dan merengek --- terasa badannya hangat, seperti demam pikir si Benyek. Ia merenung dan menatap ke arah komunitas pemulung yang berkemah seperti orang nomad di padang pasir. Kemahnya berupa sampiran lembar plastik dan bekas poster politik atau iklan.  Ia menuju warteg, minta sebotol air putih. Warteg itu sudah paham. Si Benyek terkadang seperti orang pengung, ia tetap berdiri di dekat situ. Orang pengung bagaimana lagi, beri saja biar cepat pergi. Ia meminum sedikit air itu, lantas dimasukkan ke plastk untuk bekal perjalanan. O Rupanya anak si Benyek masih merengek., tiduran --- badannya terasa makin demam.
Demam anak ini, pikir si Benyek --- handuk kumal dibasahi, dikompreskan ke kening anak itu. Memang panas betul demam anak itu.
Si Benyek membasahi rambut dan leher tengkuk anak itu. Panas sekali. Giginya menggeretuk.
Aduuuh, anak ini --- mengapa kejang dan biji matanya putih semua.  Panasnya, suhunya tinggi sekali barangkali. Si Benyek mengipas-ngipas ke permukaan tubuh si anak. Ia kejang mulutnya berdarah --- wah, lidahnya tergigit.
Si Benyek berlari ke arah Bi Gembrot di bawah pohon mahoni ---" Bik, tolong bik, anak-ku matanya terbalik, hitamnya hilang ."
Beberapa ibu pemulung berkejaran ke arah tempat bernaung si Benyek di bawah rimbunan bougenvile. Mengerikan anak itu mengejang seperti orang ayan --- matanya memang mendelik putih semua. Panasnya sangat tinggi. Anak itu digendong ke luar dari sungkupan pohon bougenvile.
Di bawah naungan bayang-bayang pohon mahoni, mulut anak itu dicungkil mbok Mah.  Mulut anak itu berdarah. Rahangnya diganjal sendok.
Kaki tangan anak itu dipijit-pijit. Matanya masih mendelik putih. Putih dua-duanya.  Giginya mengeretuk kembali. Kini terkunci !
Tapak kakinya diberi balsem --- ada yang berlari membeli tablet turun panas. Anak itu kejang-kejang, meronta lemah. Dan game !
Innalillahi wa innailaihi Rajiun. Ia berpulang ke Rakhmatullah. Ia menghembuskan nafas seperti manusia lainnya. Semua panik, ribut.
Ribut clingak-clinguk seperti sekumpulan bebek yang geger, dikejar anjing.
Bebek-bebek pada kwek-kwek-kwek. Â Geger.
Seperti banyak orang berkerumun, ya- pemulung, ya orang lewat. Pak mantri pulang kerja dari Puskesmas, berhenti. Pakaian-nya putih-putih.
Dipegangnya nadi anak itu, didengarkan-nya keterangan perempuan-perempuan kumal di situ. "Anak ini diserang tetanus akut !"
Khalayak melongo --- saling berpandangan, clingak clinguk --- saling tukar keterangan. "Demam Berdarah ?"   Mboh !
Si Benyek tersandar di batang pohon mahoni. Kemana anak itu akan dibuang ? Siapa yang menanam ? Duite sopo ? Otaknya buntu, pasrah.
Tukang ojek dengan kaca mata hitam dan jeket kumal  berhenti karena ada kegegeran, banyak orang berkerumun .
Bertanya pada perempuan gembrot, kumal, yang lagi mengelus kertas koran kumal --- entah bekas apa, akan dikilo lagi. Untuk makan.
"Mbok, ana apa ta ? "Â Â Â Gaya Cirebonan.
"Anakke Benyek sida, dipangan Tetanus !"   Dengan logat perbatasan Cirebon dengan Jawa Tengah (Anak si Benyek mati dimakan Tetanus !).    Ampun Eyang !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H