Alam tempat kita hidup memang sangat akrab dengan nenek moyang dan kita---kita bisa mengenal nya dari budaya lisan dan tulisan, bahkan peninggalan yang terbenam---begitu pula jejak alam di dalam tanah, di dinding patahan, dan pinggir sungai. Memang bencana itu ada kalanya menghampiri dan menyambangi kita. Berapa ratus tahun diperlukan untuk menenggelamkan candi dan bangunan, kota dan hutan dan sawah ladang ? Kalau kawasan ini tidak ramah---manalah mungkin nenekmoyang, anak cucunya bertahan di tanah yang ramah ini. Banyak gunung berapi di tanah air menenggelamkan kota dan desa. Mungkin beratus atau beribu kali tsunami menyapu pantai dan kampung. Tetapi nenek moyang , anak cucunya---sampai kita canggah dan cicitnya, masih menyintai tanah air ini !
Bukan hanya alam mengancam hidup nenekmoyang dan kita. Kerajaan dan feodalisme tidak selamanya menguntungkan sesama kita---secara politik kerajaan, kesultanan, dan suku bangsa kita takluk dalam penjajahan kolonialisme dan imperialisme---nenekmoyang kita tidak berdaya secara militer, politik, ekonomi dan, kebudayaan. 350 tahun pula nenekmoyang, dan anak cucunya menderita dalam hisapan manusia atas manusia---l'exploitation l'homme par l'homme. Itu juga bencana ! Apakah masih diperlukan bangsa Indonesia masa 350 tahun dalam pertikaian---saling menghisap. Dalam intaian neo imperialisme, kapitalisme dan liberalisme untuk menjadikan cicit canggah, budak-budak konsumen hasil industri bangsa yang hegemonis ?
Bencana datang tidak sekonyong-konyong, semua ada tanda-tandanya---baik secara empiris maupun spiritual. Bencana Batara Kala datang dengan segenap syarat dan firasat---bahkan setelah mendekat bencana itu masih membawa aba-aba di keningnya : Rajah Kalacakra Sastra Bedati. Bencana Politik, Bencana Ekonomi, Bencana Emperialisme dan seluruh jaringan jahanam bencana ada tanda-tandanya. Bacalah tanda-tanda itu dengan kemampuan Budaya---inilah segi pertahanan yang harusnya bersinambungan diolah dalam diri bangsa ini. Kekuatan dirinya---Budaya Kekuatan Kemandirian. Budaya yang Progresif.
Banyak Hikmah dan Kebijaksanaan nenekmoyang yang harus dipelajari, dibaca, dan dikembangkan secara kontemporer. Bacalah Mantera ini---mantera yang puitis yang dibacakan oleh Ki Dalang Kanda Buwana---Ki Dalang Sejati---hingga para Dalang masa kini---dan maunya dibacakan pula oleh Dalang Politik di negeri ini. Perhitungkanlah bencana !
AÂ UÂ M
ya maraja  jaramaya
Ya midosa sadomiya
Ya dayuda dayudaya
Ya siyata tayasiya
Ya sihama mahasiya
Hai kamu, segala sesuatu
Atau apa, atau siapa pun juga
Yang dapat menyebabkan suatu bencana, kecelakaan, malapetaka
Hentikan kegiatan dan hasrat-mu
Hai kamu yang datang menyerang, hapuskanlah kelebihan kekuatan-mu
Hai kamu yang menyebabkan kelaparan, berilah segala sesuatu yang mengenyangkan
Hai kamu yang menyiksa hentikanlah penganiayaan-mu
Hai kamu yang melakukan perlawanan, hilangkanlah rasa kekhawatiran-mu
Hai kamu yang tidak teguh setia, utamakanlah rasa belas kasihan-mu
Hai kamu yang menjadi lawan sejati, semoga lekas diresapi rasa kasih sayang !
Ini mantera yang indah filosofis, yang juga dibacakan Ki Dalang :
"Ya Tuhan, nyala lampu ini hendaknya menyinari seluruh semesta alam. Lampu atau api itu kadang-kadang bernyala-nyala, laksana bergelora, bergolak. Kadang-kadang tenang dan tenteram, laksana bersifat belas kasihan. Kadang-kadang laksana bersifat suka-duka. Kami memohon agar segenap penonton yang ada sekarang terikat hendaknya kepada ceritaku"
Lantas Ki Dalang akan mengetokan cempala satu kali ke kotak wayang di kirinya , seraya membaca mantera ; "Gunung-gunung tempat duduk-ku. Gempa bumi adalah di bawah pengaruhku, sampai kepenguburan-nya !"
Bencana Batara Kala, Bencana Alam, Bencana Ekonomi, Bencana Politik---dan semua bakal bencana kelolalah dengan Bijaksana. Tobat !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H