Indonesia merupakan negara hukum dengan berlandaskan Pancasila dalam setiap pelaksanaan kehidupan bernegara atau pun bermasyarakat. Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang bermakna bahwa segala tatanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan atas hukum yang berlaku.
Seluruh lapisan masyarakat mulai dari pelajar, buruh pabrik, karyawan, aparatur sipil, kepala daerah sampai kepala negara bahkan penegak hukum itu sendiri semuanya wajib tunduk pada hukum yang berlaku, karena setiap orang memiliki kedudukan yang sama dimata hukum. Maka segala perbuatan dan tindakan dalam kehidupan sehari-hari harus dilandaskan pada hukum yang tertuang di dalam peraturan perundang-undangan untuk kemudian mengetahui apa saja yang menjadi hak dan kewajiban setiap orang dimata hukum.
Namun belakangan ini, bangsa kita tengah mengalami suatu krisis kepatuhan hukum akibat kian hilangnya subtansi hukum. Rasanya bukan lagi tiap hari, tiap jam atau tiap menit tetapi tiap detik sekali kita membaca notifikasi pada beranda media sosial atau ketika membaca harian ibu kota, selalu dan selalu saja yang menjadi tajuk rencana (headline) adalah kasus-kasus yang mencederai kewibawaan hukum dan para penegak hukum didalamnya.
Dugaan sabotase terhadap hasil pemilihan umum, diskriminasi terhadap petugas pemungutan suara, penghilangan barang bukti atas kejahatan hak asasi manusia, hak istimewa (privilege) kepada para buronan negara yang menghabiskan kekayaan negara, hingga yang terbaru hilangnya ratusan nyawa penggemar sepakbola saat terjadi kerusuhan di stadion. Istilah hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas menjadi "kicauan" di jejaring media sosial. Nampaknya, istilah tersebut memang sangat layak disematkan untuk menggambarkan betapa kacaunya kiprah para penegak hukum di Indonesia.
Ironi, disaat masyarakat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok akibat pandemi Covid-19 yang melumpuhkan segala kegiatan perekonomian, "orang-orang yang berada di atas" itu justru dapat dengan mudahnya "memperjual-belikan" hukum. Begitu peribahasa yang diungkapkan oleh sebagian besar masyarakat -- termasuk kita, terhadap tingkah polah para aparat dan "orang-orang" yang tersandung hukum itu.
Kritik, ungkapan rasa kecewa dan kemarahan dilayangkan memenuhi kolom komentar akun-akun portal berita online. Protes dan unjuk rasa secara besar-besaran ditujukan, disuarakan kepada penegak hukum untuk menyadarkan mereka bahwa masih adanya ketidakadilan dalam proses penegakan hukum yang seharusnya - menurut amanat UUD 1945 adalah penegakan hukum yang berasas berkeadilan. Penyalahgunaan wewenang dalam proses penegakan hukum atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang amat mudah kita jumpai saat ini.
Ribuan proposal uji materi (judicial review) terhadap sebagian atau keseluruhan dari subtansi pasal-pasal pada peraturan perundangan-undangan -- sebut saja UU Ketenegakerjaan, UU KUHP, UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan peraturan perundang-undangan lain yang masuk ke meja sidang Mahkamah Konstitusi merupakan bukti nyata bahwa selain krisis dalam hal penegakan hukum, Indonesia juga sedang mengalami krisis dalam hal penyusunan produk hukum (undang-undang) atau pun penentuan kebijakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, seperti yang dikehendaki oleh rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Jika situasi dan kondisi ini tidak dapat diatasi tentu saja kata adil hanyalah sekadar topeng belaka dan ini dapat menjatuhkan wibawa hukum dihadapan masyarakat.
Meski pelaksanaan hukum di dalam masyarakat itu tidak hanya ditentukan oleh aparat penegak hukum, melainkan juga tergantung pada kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Namun, bisa kita lihat dan saksikan dengan mata kepala kita sendiri bahwa tidak terlaksananya peraturan hukum lebih banyak disebabkan oleh para penegak hukum yang tidak melaksanakan suatu ketentuan hukum sebagaimana mestinya.
Sebagai seorang warga negara sekaligus pemuda calon penerus estafet pemerintahan negara, upaya yang dapat kita lakukan untuk membantu Pemerintah dalam upaya penegakan hukum yang berkeadilan adalah dengan mempelajari Pancasila dan ilmu kewarganegaraan, agar dapat menumbuhkan sikap positif untuk mencintai tanah air dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sebagaimana amanat dalam Pancasila.
Selain itu, beberapa bentuk upaya kecil yang sedikit banyak dapat membantu Pemerintah dalam upaya mewujudkan hukum yang berkeadilan di Indonesia ialah dengan patuh dan taat terhadap hukum atau aturan yang berlaku serta tidak melakukan tindakan yang dapat merusak penegakan hukum itu sendiri. Misalnya tidak menyuap hakim dengan tujuan agar kita dimenangkan dalam suatu perkara atau tindak pidana kejahatan. Atau menyuap hakim untuk memanipulasi proses dan hasil persidangan.
Sumber :
https://kumparan.com/berita-hari-ini/isi-pasal-1-ayat-3-uud-1945-dan-maknanya-1vMlGB1WkRi
https://www.eramuslim.com/berita/nasional/indonesia-darurat-penegakan-hukum/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H