Mohon tunggu...
Mutmainnah
Mutmainnah Mohon Tunggu... Lainnya - Wanita yang mempunyai banyak mimpi

"Tuhan selalu mempunyai cara terbaik dalam menjawab tadahan doa setiap hambanya dan saya percaya itu"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luka Embun di Rumah Ayah

30 November 2020   10:00 Diperbarui: 30 November 2020   10:26 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mobil sedan hitam  itu berbelok memasuki jalan pedesaan. Kecepatannya pun mulai berkurang. Dua orang yang berada di dalamnya pun hanya diam. Amar berkonsentrasi pada jalanan di belakang kemudi. Sedangkan Embun yang duduk di sampingnya hanya diam menatap hamparan sawah di sisi jalan. Terlihat jelas dari wajah Embun, dia tengah menanggung beban di dalam hatinya. Amar sesekali melihat ke arah tunangannya itu kemudian kembali melihat ke arah jalanan.

"Berhenti dulu mas". Embun meminta Amar menghentikan mobilnya. Amar pun berhenti di sisi kiri jalan. Dia kembali menatap tunangannya tanpa mengucap apapun. Embun pun menurunkan kaca mobil dan melihat keluar, seakan ia ingin lebih jelas lagi melihat hamparan sawah itu. Kadang nafasnya tertahan karena terasa sesak. Genangan air mata pun memenuhi kedua kelopak matanya yang indah.

"Haruskah aku kembali ke tempat ini?" Hening fikir Embun, terasa getir. Ingatannya pun menerawang pada kejadian satu bulan yang lalu.

"Ibuku tidak pernah merebut suami siapapun". Embun membentak wanita itu.

"Ayahmu itu, suamiku". Wanita itu mulai meradang.

"Saat ibuku menikah dengan ayah, kau sudah bercerai dengan ayah tapi saat ayah sudah menikah dengan ibuku kau kembali lagi pada ayah. Jadi kau yang merebut ayah dari ibuku". Embun menatap tajam wanita setengah baya itu.

"Jaga mulutmu". Wanita itu menunjuk wajah embun

"Kenapa? Bukankah semua itu benar? Dulu kau meninggalkan ayah, tapi kenapa kau harus kembali lagi saat ayah sudah bahagia dengan ibuku? Kau yang perebut suami orang, perusak rumah tangga orang lain". Embun kini berteriak pada ibu tirinya itu.

Ayahnya yang mendengar ucapan Embun berteriak dari belakang.

"Embun ........ Anak kurang ajar". Teriak ayahnya. Dan saat Embun berbalik melihat ke arah ayahnya tiba-tiba PRAKKKK........ Ayahnya menampar Embun dengan sangat keras.

"Ayah....." Ucap Embun lirih sambil memegangi pipinya. Karena terasa nyeri, perlahan-lahan air matanya berjatuhan. Dia pun berlari keluar dan meninggalkan rumah itu.

Pertengkaran antara dia dan ibu tirinya itu kembali terbayang dalam ingatannya. Jelas betul bagaimana ayahnya membela istrinya itu dan menampar wajahnya dengan keras. Embun kembali memegangi pipinya seakan dia kembali merasakan nyeri karena tamparan ayahnya satu bulan yang lalu.

Kini dia sudah tidak bisa menahan genangan air di matanya, akhirnya air matanya tumpah. Embun terisak di dalam mobil itu sambil menutupi wajahnya. Sesungguhnya bukan sakit karena ditampar oleh ayahnya yang masih terasa nyeri sehingga membuatnya menangis. Tetapi, sakit karena luka di hatinya tak jua sembuh karena sikap ayahnya yang membela istrinya yang telah menghina ibunya itu.

Jika saja dia tidak mendapat kabar dari budenya bahwa ayahnya sedang sakit keras, dia tidak akan pernah mau kembali lagi ke desa itu, ke rumah ayah dan istrinya itu tinggal. Karena disana banyak sekali luka yang dia simpan.

 Sejatinya rumah itu adalah rumah nenek embun dari ayahnya. Dimana dulunya di rumah itu banyak menyimpan kenangan bahagia masa kecil embun bersama ibu dan adik-adiknya. Menyimpan kenangan keluarganya yang begitu bahagia, rumah tempat Embun dibesarkan, tapi kini dirumah itu hanya ada kenangan pahit, hanya luka dan rasa sakit yang tersisa dalam ingatan Embun tentang rumah itu. 

Ayahnya menghapus semua kenangan indah di rumah itu dan menggantinya dengan banyak duka. Ayahnya memutuskan rujuk kembali dengan mantan istrinya, sehingga ibu Embun harus mengalah dan memutuskan pulang kerumah orang tuanya dan membawa serta embun dan adik-adiknya yang masih kecil-kecil pergi dari rumah itu.

"Embun, kau tidak apa-apa?". Amar menyentuh pundak embun, berusaha menenangkan wanita yang dikasihinya itu namun Embun tetap terisak.

"Jika kau mau, kita tidak perlu melanjutkan perjalanan ini". Amar mengelus kepala tunangannya dengan penuh cinta.

"Jika kau tak mampu membendung dukamu dan tidak mau kembali ke rumah itu kita pulang saja". Pemuda berkulit putih itu terus berusaha menenangkan Embun.

Embun pun menyeka air matanya dan mulai mengendalikan hatinya. Dia menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya seakan sedang menghempaskan beban berat yang ada di hatinya.

"Tak apa mas.... Aku bisa. Maaf tadi aku hanya terbawa suasana karna teringat pada kejadian di masa lalu, desa ini mengingatkanku pada luka di hatiku, tidak hanya pada lukaku, tapi pada luka ibu dan adik-adikku mas". Embun menatap Amar, matanya masih berkaca-kaca.

"Tak apa mbun... lepaskanlah jika kau sudah tak mampu untuk menanggungnya. Menangislah jika itu membuat hatimu lebih lega. Berbagilah denganku, disini aku tidak hanya sebagai tunanganmu, tapi aku akan menjadi suamimu, teman hidupmu, tempat kau berbagi suka dan duka". Amar memahami perasaan tunangannya yang sedang tidak karuan.

"Kalau saja dulu perempuan itu tidak kembali pada ayahku mas... kalau saja dia tidak merusak kebahagiaan keluargaku, mungkin ibuku tidak akan pernah terluka seperti sekarang dan tidak akan pernah di sebut dengan istri muda ayah yang sudah merebut suami orang, karena sebenarnya ibuku tak seperti itu, ibu menikah dengan ayah saat ayah telah bercerai denga istrinya dulu. Namun saat keluarga kami sedang bahagia perempuan itu kembali datang dan rujuk dengan ayah, sehingga ibuku yang harus mengalah dan tersakiti. Tidak hanya itu mas... adik-adikku pun yang menjadi korban". Embun kembali menangis dan menghentikan kata-katanya. Setelah diam beberapa saat, dia kembali berkata.

"Seandainya bukan karena tugas untuk menjadi tenaga pengajar di desa ini, dulu aku tak akan pernah mau tinggal di sini lagi dan satu rumah dengan istri ayah yang kejam itu, karena sudah tidak tahan mendengar hinaanya terhadap ibuku. Satu bulan yang lalu aku memutuskan untuk pulang pada ibuku dan meninggalkan ayah di sini". Mata Embun masih berkaca-kaca.

"Jika kau mau, kita bisa pulang Embun". Amar kembali meyakinkan Embun.

"Tidak mas... aku ingin melihat keadaan ayah. Kita lanjutkan perjalanan mas". Embun kembali menyeka air matanya.

Amarpun kembali menghidupkan mesin mobilnya dan melanjutkan perjalanan. Beberapa menit kemudian mereka sampai di sebuah rumah yang halamannya cukup luas. Embun dan Amar tak langsung turun. Mereka berdua masih diam dan menatap rumah itu lekat-lekat. Terlihat ada beberapa kerabat yang keluar masuk di pintu rumah itu, ada beberapa orang pula yang sedang duduk-duduk di teras rumahnya, nampaknya ayah Embun memang benar-benar sedang sakit keras. Kini dadanya semakin terasa sesak, dia tidak menyangka berada di rumah itu lagi.

"Kita turun". Ucap Amar pada Embun. Embun pun mengangguk dan membuka pintu mobil, kemudian turun.

Dengan langkah ragu-ragu Embun berjalan dari halaman menuju rumah, Amar mengikuti dari belakang, beberapa orang menyambut kedatangan Embun dan Amar dengan menyalami mereka, Budenya yang saat itu keluar dari pintu rumah menghambur pada pelukan Embun sambil menangis .

"Akhirnya kau datang juga nak. Dimana ibu dan adik-adikmu? Ayahmu selalu menanyakan kalian". Budenya terisak dalam pelukan Embun, pelukan dan pertanyaan yang cukup membuat air mata Embun kembali berlinangan.

"Mereka tidak ikut bude. Bagaimana keadaan ayah?". Embun kembali menyeka air matanya.

"Ayahmu sudah tidak berdaya nak... Dia ada di dalam". Budenya membawa Embun dan Amar masuk ke dalam kamar dimana ayahnya berada.

Saat itu di dalam kamar Embun melihat istri ayahnya sedang duduk di samping tubuh ayahnya yang terbaring lemah. Matanya tampak sayu, terlihat jelas kesedihan di wajahnya. Saat ibu tirinya itu melihat Embun, dia berdiri dan memeluk Embun, serta menangis di dalam pelukan Embun meminta maaf atas sikapnya selama ini.

Tentu hal ini membuat Embun merasa aneh. Sejak kapan hatinya melunak? Sejak kapan dia sadar? Apa sejak ayah sakit? Dan dia sekarang menjadi baik? Seribu pertanyaan muncul di hati Embun. Namun itu tidak dia hiraukan, kini dia dapati ayahnya sudah terbaring lemah tidak berdaya. Bahkan ayahnya sudah tidak bisa berbicara. Namun dari tatapan mata ayahnya, Embun menyadari bahwa tatapan itu adalah tatapan penuh cinta dan kasih serta tatapan kerinduan dan penyesalan yang teramat dalam terpancar dari sinar mata ayahnya yang mulai redup. Keadaan itu cukup membuat hati Embun merasa perih.

"Ayah, maafkan Embun. Embun sangat mencintai ayah". Embun menghambur memeluk ayahnya. Sambil terisak dia tak mampu berkata apa pun lagi. Mata ayahnya pun ber kaca-kaca dan perlahan-lahan terpejam dengan tenang, tangis Embun dan seisi ruangan itu pun pecah manyadari ayahnya berpulang ke rahmatullah.

"Innaalillaahi wainnaa ilaihi raaji'uun". Ucap Embun sambil terus memeluk dan menciumi jasad ayahnya yang sudah tak bernafas itu. Embun terus memandang wajah ayahnya yang kini tampak pucat. Air matanya berderai, sesekali dia menyekanya. Namun air matanya tak mau berhenti keluar.

"Aku turut berduka cita sayang, tabahkan hatimu , ikhlaskan kepergian ayah". Amar berbisik pada Embun sambil memegang pundak tunangannya itu, berusaha menguatkan hati wanita yang dicintainya.

Embun melihat ke sekelilingnya. Satu persatu kerabat yang baru dikabari berdatangan. Hanya ibu dan adik-adiknya yang tak ada di sana. Dia tahu, sekalipun dia telah mengabari tentang kepergian ayahnya mereka tidak akan pernah datang ke rumah itu, apalagi di rumah itu ada istri ayahnya. Karena sudah terlalu banyak luka yang telah ayah dan istrinya berikan terhadap ibu dan adik-adiknya, begitu pula pada Embun sendiri. 

Namun meskipun demikian Embun telah memaafkan ayahnya. Karena dia melihat ada penyesalan pada diri ayahnya sebelum meninggal. Tapi entah dengan ibu dan adik-adiknya. Apakah mereka bisa memaafkan semua perbuatan ayahnya itu? Hanya tuhan dan mereka yang tahu.

Sekalipun luka di hati Embun tak sepenuhnya sembuh, apa lagi ditambah luka dengan kepergian ayahnya. Embun mulai berlapang hati memaafkan ibu tirinya itu, karena dia berfikir sejahat-jahat ibu tirinya selama ini dia yang telah merawat ayahnya ketika sakit. Namun, tetap saja Embun tak bisa sepenuhnya menghapus luka dan kenangan pahit di rumah itu. Sehingga dia memutuskan tidak akan pernah datang ke rumah itu lagi setelah kepergian ayahnya. 

Sekalipun dia datang ke makam ayahnya, dia tak pernah mampir ke rumah itu dan langsung pulang. Dia berharap suatu saat nanti luka hatinya akan sembuh dan bisa berlapang hati untuk menyambung silaturrahmi dengan ibu tirinya itu. Namun untuk saat ini Embun masih berusaha melatih hatinya untuk melupakan semuanya sekalipun itu begitu sulit baginya. Karena luka akan tetap menjadi luka yang tetap berbekas di hatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun