Mohon tunggu...
Mutmainnah
Mutmainnah Mohon Tunggu... Lainnya - Wanita yang mempunyai banyak mimpi

"Tuhan selalu mempunyai cara terbaik dalam menjawab tadahan doa setiap hambanya dan saya percaya itu"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luka Embun di Rumah Ayah

30 November 2020   10:00 Diperbarui: 30 November 2020   10:26 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pertengkaran antara dia dan ibu tirinya itu kembali terbayang dalam ingatannya. Jelas betul bagaimana ayahnya membela istrinya itu dan menampar wajahnya dengan keras. Embun kembali memegangi pipinya seakan dia kembali merasakan nyeri karena tamparan ayahnya satu bulan yang lalu.

Kini dia sudah tidak bisa menahan genangan air di matanya, akhirnya air matanya tumpah. Embun terisak di dalam mobil itu sambil menutupi wajahnya. Sesungguhnya bukan sakit karena ditampar oleh ayahnya yang masih terasa nyeri sehingga membuatnya menangis. Tetapi, sakit karena luka di hatinya tak jua sembuh karena sikap ayahnya yang membela istrinya yang telah menghina ibunya itu.

Jika saja dia tidak mendapat kabar dari budenya bahwa ayahnya sedang sakit keras, dia tidak akan pernah mau kembali lagi ke desa itu, ke rumah ayah dan istrinya itu tinggal. Karena disana banyak sekali luka yang dia simpan.

 Sejatinya rumah itu adalah rumah nenek embun dari ayahnya. Dimana dulunya di rumah itu banyak menyimpan kenangan bahagia masa kecil embun bersama ibu dan adik-adiknya. Menyimpan kenangan keluarganya yang begitu bahagia, rumah tempat Embun dibesarkan, tapi kini dirumah itu hanya ada kenangan pahit, hanya luka dan rasa sakit yang tersisa dalam ingatan Embun tentang rumah itu. 

Ayahnya menghapus semua kenangan indah di rumah itu dan menggantinya dengan banyak duka. Ayahnya memutuskan rujuk kembali dengan mantan istrinya, sehingga ibu Embun harus mengalah dan memutuskan pulang kerumah orang tuanya dan membawa serta embun dan adik-adiknya yang masih kecil-kecil pergi dari rumah itu.

"Embun, kau tidak apa-apa?". Amar menyentuh pundak embun, berusaha menenangkan wanita yang dikasihinya itu namun Embun tetap terisak.

"Jika kau mau, kita tidak perlu melanjutkan perjalanan ini". Amar mengelus kepala tunangannya dengan penuh cinta.

"Jika kau tak mampu membendung dukamu dan tidak mau kembali ke rumah itu kita pulang saja". Pemuda berkulit putih itu terus berusaha menenangkan Embun.

Embun pun menyeka air matanya dan mulai mengendalikan hatinya. Dia menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya seakan sedang menghempaskan beban berat yang ada di hatinya.

"Tak apa mas.... Aku bisa. Maaf tadi aku hanya terbawa suasana karna teringat pada kejadian di masa lalu, desa ini mengingatkanku pada luka di hatiku, tidak hanya pada lukaku, tapi pada luka ibu dan adik-adikku mas". Embun menatap Amar, matanya masih berkaca-kaca.

"Tak apa mbun... lepaskanlah jika kau sudah tak mampu untuk menanggungnya. Menangislah jika itu membuat hatimu lebih lega. Berbagilah denganku, disini aku tidak hanya sebagai tunanganmu, tapi aku akan menjadi suamimu, teman hidupmu, tempat kau berbagi suka dan duka". Amar memahami perasaan tunangannya yang sedang tidak karuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun